Masa kehidupan sejarah Indonesia Kuno mencerminkan pengaruh mendalam yang diperoleh dari kebudayaan Hindu yang tiba dari India sejak Abad I.
Di Indonesia, termasuk di wilayah Bojonegoro, dipengaruhi oleh kebesaran Majapahit hingga abad ke-16. Pada saat Kesultanan Demak berdiri pada abad ke-16, Bojonegoro menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Demak.
Selama perkembangan Islam sebagai budaya yang semakin kuat, pengaruh Hindu mulai surut, menyebabkan pergeseran nilai dan tata masyarakat dari nilai Hindu ke nilai Islam yang baru.
Proses ini juga melibatkan pertempuran dalam upaya merebut kekuasaan Majapahit di wilwatikta. Peralihan kekuasaan ini, yang seringkali disertai oleh ketidakstabilan dan pergolakan.
Hal tersebut membawa Bojonegoro ke dalam lingkup Kerajaan Pajang pada tahun 1586, dan kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Mataram pada tahun 1587.
Tanggal dan tahun yang sangat penting dalam sejarah Bojonegoro adalah 20 Oktober 1677, ketika status Jipang, yang sebelumnya merupakan kadipaten, diubah menjadi kabupaten.
Saat itu, Wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Tumapel, yang juga menjabat sebagai Bupati I, memegang peranan penting di Jipang.
Peristiwa ini menjadi tonggak bersejarah, dan hingga saat ini, tanggal tersebut diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Bojonegoro.
Pada tahun 1725, saat Pakubuwono II naik tahta di Kasunanan Surakarta, pusat pemerintahan Kabupaten Jipang dipindahkan dari Jipang ke Rajekwesi, yang terletak sekitar 10 km selatan dari kota Bojonegoro yang kita kenal sekarang.
Perpindahan ini juga mencerminkan perubahan penting dalam sejarah administratif dan pemerintahan daerah Bojonegoro. Dan, di masa kini Bojonegoro telah memiliki beberapa julukan yang populer.
Julukan Kota Bojonegoro
Kota Ledre
Bojonegoro terkenal dengan julukan Kota Ledre, hal ini dikarenakan di wilayah Bojonegoro terdapat makan Ledre yang sangat khas dan menjadi buah tangan saat orang mengunjungi kota ini.
Ledre, salah satu makanan khas Bojonegoro, memiliki sejarah unik dalam penamaannya. Nama “ledre” merujuk pada proses pembuatan, yaitu melalui pengolahan pisang Raja menjadi lembaran-lembaran pipih yang dikenal sebagai “Ngeledre.”
Terdapat beragam varian rasa ledre, seperti original, cokelat, durian, dan stroberi, yang menawarkan variasi rasa yang menarik.
Hal yang menarik adalah harga oleh-oleh ini relatif terjangkau, sehingga dapat menjadi pilihan yang ramah di kantong bagi pengunjung Bojonegoro.
Kota Minyak
Lapangan Banyu Urip Blok Cepu di Bojonegoro telah menjadi salah satu produsen minyak terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 210 ribu barel per hari.
Selain itu, di Bojonegoro, terdapat juga pengelolaan minyak di Lapangan Minyak Sukowati, serta sumur tua di Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, yang dikelola oleh warga.
Desa Wonocolo bahkan telah dikenal sebagai destinasi wisata migas yang terkenal dengan julukan “Teksas Wonocolo.” Itulah mengapa Bojonegoro dijuluki sebagai Kota Minyak.
Bumi Angling Dharma
Bojonegoro memiliki sejarah yang unik, terutama dalam hubungannya dengan Prabu Angling Dharma. Pada suatu masa, Prabu Angling Dharma menjalani masa hukuman di Kecamatan Kalitidu, yang sekarang dikenal sebagai Petilasan Angling Dharma.
Di tempat tersebut, terlihat ciri khas arsitektur yang unik, mencerminkan sejarah pentingnya. Kawasan ini juga terasa sunyi dan mendalam, menambah suasana mistis dan bersejarah dari tempat tersebut. Hal itulah mengapa Bojonegoro dikenal dengan julukan Bumi Angling Dharma.