“Harus kuat mental dan bisa apa-apa sendiri untuk jadi konten kreator,. Kata-kata itulah yang dipegang Djoko Prastio, konten kreator asal Bojonegoro.
Djoko lebih dikenal dengan branding Anak e Mak Kar. Dalam perannya ia kerap kali ditodong pertanyaan “Mau jadi apa?” oleh sang Mak Kar.
Kepada mastumapel.com, Djoko bercerita, saban malam di teras rumah sembari menikmati panorama langit pada tahun 2017, ia rutin menulis skrip untuk konten komedi. Konten kemudian diunggah di akun Instagram @djokoprastiio. Setiap malam pula, ibunya yang ia panggil Mak Kar itu melontarkan pertanyaan yang sama, “Mau jadi apa? Mbendino nulis-nulis ra jelas. (Setiap hari nulis-nulis nggak jelas).”
Membandingkan anak sendiri dengan anak tetangga, menurut Djoko, sudah menjadi hal lumrah bagi orangtua di Bojonegoro. Bagaimanapun, kata Djoko menirukan sang ibu, seorang ibu tentu menginginkan masa depan yang baik untuk sang anak.
Djoko kemudian bertekad untuk serius sebagai konten kreator. Ia memproduksi foto-foto estetik hingga belajar mengcover lagu. Dirasa belum ada kemajuan karena belum pernah fyp, ia mencoba inovasi baru dengan membuat konten komedi.
Djoko melakukan pra produksi konten hingga publish secara mandiri dan belajar sendiri. Dimulai dari menentukan tema, menulis skrip, take video, sampai editing. Dalam satu minggu, setidaknya ia harus memposting 5-10 konten.
Ternyata keinginan menjadi konten kreator membawa Djoko menghadapi berbagai macam komentar, guyonan sampai olokan.
“Ngeneki lo mek opo to? (Sebenarnya kaya gini ngapain?)” ucap Djoko menirukan komentar teman-temannya.
Meski begitu, Djoko sudah menempa mentalnya agar tetap tenang menghadapi keluarga, tetangga dan temannya sendiri. Menjadi konten kreator pada tahun itu, menurut Djoko, masih menjadi sesuatu yang asing untuk masyarakat Bojonegoro.
“Kerja bagi orang-orang ya yang berangkat pagi pulang sore,” ucapnya.
Sembari menunggu kontennya viral, Djoko mencoba bekerja di salah satu toko buku di Bojonegoro pada tahun 2018. Namun, ia hanya mampu bertahan hingga tiga hari.
Berhenti bekerja di toko buku, Djoko mendapatkan pekerjaan di sebuah warung kopi untuk bersih-bersih, utamanya mencuci gelas-gelas kopi.
“Aku nak korah-korah tok yo bakal ngene-ngene tok,” ujarnya bahwa jika hanya menjadi tukang cuci gelas, hidupnya akan seperti itu saja.
Djoko menambah pengalaman dengan mengikuti program pelatihan komputer yang diadakan LPIKOM. Subuh ia bekerja di warung kopi, lanjut ikut pelatihan, dan kemudian menambah penghasilan dengan berjualan es ikut seseorang.
“Setiap satu gelas yang terjual, aku dapat upah lima ratus perak,” ungkapnya.
Sambil terus memproduksi konten meski belum membuahkan hasil, Djoko mencoba mendaftar kuliah dengan meminjam dana ke salah satu koperasi. Mendapat pinjaman Rp 3 juta, ia pun mulai berkuliah di Universitas Bojonegoro (Unigoro) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Dirasa konten komedi belum juga membuatnya naik daun, ia beralih memproduksi konten keseharian warga Bojonegoro seperti ngarit dan nguli. Baju partai warna orange perpaduan hitam dengan celana pendek membuat kontennya akhirnya viral juga.
Pada tahun 2020, untuk pertama kali, Djoko menerima endorse dengan tarif Rp 250 ribu. Setahun kemudian, ia baru menerima endorse lagi dengan tarif lebih tinggi dan mengalami endorse yang lancar jaya hingga sekarang.
“Sekarang sebulan bisa 5-7 endorse,” tuturnya.
Mak Kar pun hatinya luluh bahkan sampai mau diajak ngonten bareng. Para tetangga pun sering menjadikan Djoko sebagai obrolan hangat seperti “Anak e kae lo kerjone ngene saiki (anaknya si itu lo kerja seperti ini sekarang).”
Djoko berhasil membuktikan bahwa di kota mungil Bojonegoro, bekerja sebagai influencer juga bisa. Kuat mental yang selama ini menjadi benteng Djoko akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah menerima segala macam endorse seperti jersey Persibo, endorse makanan, bahan pokok seperti kopi, sampai sepeda motor.
Djoko berpikir, jika ia tidak bisa bekerja pada seseorang atau perusahaan, maka ia harus memiliki kelebihan yang bisa ia jadikan sebagai pekerjaan.