Penulis: Kajar Alit Djati
Darussalam berarti rumah kedamaian. Ya, siapa yang berada di dalamnya, memang hati menjadi damai. Banyak orang yang datang ke sini pada sepertiga malam lalu duduk iktikaf mengingat kebesaran Tuhan. Yakni di Masjid Agung Darussalam Bojonegoro. Masjid di barat alun-alun kota yang menyimpan sejarah Panjang.
Keberadaan masjid di sekitar alun-alun memang telah menjadi sesuatu yang ‘wajib’ bagi tata ruang kota di Jawa. Hampir semua daerah akan memiliki alun-alun. Dan di samping alun-alun kota, akan berdiri gedung pemerintahan juga. Alun-alun, masjid, pasar, dan pendopo menjadi satu kesatuan.
Masjid Agung Darussalam Bojoneoro mempunyai sejarah panjang, sepanjang sejarah Bojonegoro yang sebelumnya bernama Rajekwesi. Dan mungkin tak banyak yang tahu jika masjid Darussalam berhubungan dengan laskar Pangeran Diponegoro dalam perang selama 1825-1830 atau biasa dikenal dengan Perang Jawa.
Jika Anda sedang berkunjung ke Bojonegoro kurang afdhol jika tidak masuk ke ‘Rumah Damai’ ini. Selain sebagai tempat ibadah, keberadaan masjid kini juga berlabel ‘wisata religi’. Dan jika berkunjung ke masjid untuk menunaikan ibadah atau sekedar menikmati keindahan bangunan, tak keliru jika Anda juga membaca sejarah berdirinya masjid tersebut.
Tak banyak literatur atau studi tentang sejarah Masjid Agung Darussalam Bojonegoro. Dari sedikit itu, studi yang dilakukan Dwi Sri Wijayanti dari IAIN Sunan Ampel Surabaya perlu mendapat apresiasi. Dengan tekun, Dwi merangkai sejarah, menafsirkannya dan melengkapinya dengan data-data tambahan. Sebagian besar tulisan ini didasarkan pada hasil studi di atas.
Dibangun oleh Laskar Diponegoro
Masjid Darussalam Bojonegoro mulai dibangun pada tahun 1825, tepat ketika Pangeran Diponegoro memulai Perang Jawa. Pangeran Diponegoro memang mempunyai banyak pengikut di wilayah timur, membentang dari Lasem, Rembang, hingga Rajekwesi (kini Bojonegoro). Pengikut Diponegoro yang mengobarkan perang yang kemudian menjadi Bupati Rajekwesi adalah Tumenggung Sasradilaga, yang tak lain adik ipar sang Pangeran.
Alkisah, seseorang bernama Pangrehing Projo yang menjabat sebagai patih di Rajekwesi atau biasa dikenal dengan nama Patih Pahal mewakafkan tanahnya untuk pendirian masjid. Pada tahun 1825 bangunan masjid mulai didirikan oleh masyarakat sekitar. Mereka diantaranya laskar Diponegoro dan pedagang pasar. Mereka gotong royong membangun masjid.
Konon setiap hari, masyarakat bahu membahu membangun dan sebagian menyumbangkan apa saja yang bisa disumbangkan, seperti batu, kayu, pasir dan batu bata juga makanan bagi pekerja. Pada saat itu bangunan masjid masih sangat sederhana. Pondasinya batu tapi semua bagian bangunannya dari kayu termasuk pilar dan dindingnya.
Ada dugaan, pembangunan tidak dilanjutkan lantaran laskar Pangeran Diponegoro yang di wilayah Rajekwesi dipimpin oleh Tumenggung Aria Sasradilaga terdesak dan perang perakhir 1830 dengan kemenangan di pihak Belanda.
Pembangunan Dimulai Lagi Tahun 1925
Bangunan sederhana itu kemudian sudah bisa digunakan sebagai masjid. Namun, tidak tersentuh pembangunan lagi hingga 100 tahun kemudian, yakni tahun 1925 Masjid Agung Darussalam Bojonegoro baru ada penyempurnaan fisik.
Setelah pembangunan tahun 1925, penyempurnaan bangunan kembali dilakukan pada tahun 1955 yakni ketika Republik Indonesia sudah merdeka dan berusia 10 tahun. Pembangunan kembali dilanjutkan tahun 1963 dengan renovasi serambi dan lantai masjid. Waktu itu Bupati dijabat oleh H.R. Tamsi Tedjosasmito.
Penyempurnaan demi penyempurnaan terus dilakukan. Tahun 1983 dilaksanakan beberapa penambahan dan perluasan tempat Sholat. Tahap ini juga ada renovasi tempat wudlu, sumur dan jamban. Lokasi menara yang pada awalnya berada di samping kanan masjidpun juga ikut mengalami perubahan yaitu dipindah ke bagian halaman depan masjid.
Gaya Arsitektur Diubah Total
Tahun 1993 dilaksanakan renovasi total pada semua bangunan masjid. Waktu itu Bupati dijabat oleh Drs. H. Imam Supardi. Yang dilakukan adalah renovasi bangunan induk, pilar-pilar, pintu-pintu masjid, ornamen dan asesorisnya juga diperbaiki.
Masjid Agung Darussalam kemudian direhab total lagi tahun 2014 ketika bupati dijabat H Suyoto. Bangunan masjid dan menara diubah total desain arsitekturnya. Dana APBD digelontorkan sebanyak Rp 40 miliar. Kini arsitektur mirip gaya Timur Tengah dengan banyak ornamen warna-warni. Di bagian dalam, terutama atap diberi kristal sehingga mengubah image menjadi makin modern.
Nah, jika anda ke Bojonegoro jangan lupa ke Masjid Agung Darussalam.