Penulis: Kajar Djati
Dari mana asal usul masyarakat Bojonegoro? Menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Butuh penelitian mendalam agar bisa memperoleh jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan.
Membincang asal usul masyarakat Bojonegoro ini memunculkan banyak pertanyaan. Apa ada keterkaitan antara masyarakat Bojonegoro kini dengan Wong Kalang di zaman dulu? Atau apakah Wong Kalang ini berkaitan dengan Wong Samin di Dusun Jepang Kecamatan Margomulyo? Lalu darimana asal usul wong Bojonegoro sebenarnya?
Untuk sedikit mengurai pertanyaan-pertanyaan sulit itu, penelitian yang dilakukan Ita Fajar April Liani (dkk) yang dipublikasikan di Jurnal Historia: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah (Juni 2021) cukup membantu. Penelitian tersebut mengurai Asal Muasal Wong Jonegoro: Tinjuan Historis Hubungan Wong Kalang dan Masyarakat Samin Bojonegoro.
Menurut hasil penelitian ini, terdapat dua persepsi sejarah. Pertama menyatakan adanya keterikatan berdasarkan budaya, ajaran, dan cara hidup di antara wong kalang dan wong samin. Sebaliknya, asumsi kedua menolak hubungan ini, berlandaskan perbedaan sistem religi pemakaman.
Asumsi pertama merinci bahwa budaya, ajaran, dan gaya hidup menjadi dasar keterikatan antara Wong Kalang dan Masyarakat Samin. Mereka memiliki persamaan dalam karakteristik masyarakat, seperti kecintaan pada memelihara anjing untuk berburu di hutan, kekompakan keluarga, dan kepedulian terhadap alam dan lingkungan karena hidup yang sangat mengandalkan alam.
Ajaran Samin yang mengusung nilai gotong royong, sabar, kejujuran, dan menjaga alam juga sejalan dengan perilaku Wong Kalang. Tempat tinggal keduanya, yang mayoritas di pedesaan tepi hutan atau pedalaman hutan, juga menjadi kemiripan lain yang mencolok.
Di sisi lain, asumsi kedua menyangkal adanya hubungan, mengutip perbedaan dalam sistem religi pemakaman antara Makam Wong Kalang dan Makam Masyarakat Samin. Penelitian arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta menunjukkan bahwa proses penguburan pada kubur Kalang sangat berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Samin, menjadi dasar untuk menyatakan bahwa tidak ada keterikatan antara keduanya.
Meskipun demikian, setiap asumsi didukung oleh bukti dan argumen masing-masing. Wong Kalang dan Masyarakat Samin dianggap sebagai cikal bakal masyarakat Bojonegoro, namun keterikatan di antara keduanya bisa dinilai secara pribadi dengan mempertimbangkan bukti dan landasan yang ada. Sejarah dan kehidupan masyarakat Bojonegoro yang kaya akan budaya tetap menjadi cerminan dari dua pandangan berbeda ini.
Sejarah Wong Kalang
Wong Kalang, sekelompok masyarakat yang tersebar di Pulau Jawa, memiliki akar sejarah yang dalam. Nama Wong Kalang muncul dalam kitab Negarakartagama sebagai Atuha Kalang, artinya orang yang tugasnya mengelola hutan. Dalam bahasa Jawa Kuno, Kalang merujuk pada “batas” atau “lingkaran,” sering diidentifikasi sebagai masyarakat tukang kayu dan juru angkut di hutan.
Dalam prasasti Piagam Tambang (1358 M), Raja Hayam Wuruk menggambarkan pentingnya golongan Kalang dalam kerajaan. Mereka memiliki peranan dan kedudukan yang signifikan, menunjukkan keberadaan dan kontribusi mereka dalam struktur sosial pada masa itu.
Wong Kalang diyakini telah ada sejak masa Kerajaan Majapahit, dan kisah mereka berserak di pedalaman, gugusan gunung Kendeng Utara, Tengah, dan Selatan, serta pantai selatan Pulau Jawa. Temuan arkeologis di beberapa lokasi, seperti di Bojonegoro dan Kedewan, memberikan gambaran kehidupan Wong Kalang melalui senjata besi, gerabah, cincin emas, dan manik-manik.
Keberadaan Wong Kalang yang membentang sejak abad ke-8 tercermin dalam Prasasti Harinjing (804 M) di Kediri, Jawa Timur. Prasasti ini mencatat Tuha Kalang, pemimpin golongan Kalang bernama Daman Wanua. Meski tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti di Bojonegoro, Blora, dan Kendal, keberadaan mereka saat ini tidak dapat dipastikan.
Beberapa kelompok masih mempertahankan tradisi Wong Kalang, meskipun sebagian besar telah beralih ke Islam. Wong Kalang tetap menjadi potongan sejarah yang menarik, merekam perjalanan panjang mereka dalam mengelola hutan dan memberikan warna unik pada sejarah masyarakat Pulau Jawa.
Sejarah Singkat Masyarakat Samin
Masyarakat Samin adalah pengikut tokoh Samin Surosentiko. Masyarakat samin merupakan sebuah komunitas kaya budaya, telah mengalami perkembangan di berbagai wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Desa Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro, khususnya di Dusun Jepang, keberlanjutan budaya Masyarakat Samin masih terjaga hingga hari ini.
Komunitas Samin dikenal sebagai kelompok sosial yang mengidentifikasi diri mereka sebagai penganut ajaran Surosentiko. Surosentiko, dianggap sebagai “Ratu Adil” dalam komunitas, lahir di Randubelatung-Blora Selatan, Jawa Tengah, dengan nama kecil Raden Kohar atau Surowijoyo. Ajaran Samin, dikenal sebagai Saminisme, mengalir dari ajaran dan budaya Surosentiko.
Selama era kolonial Belanda, Masyarakat Samin memprotes dengan cara yang unik dan tanpa kekerasan. Dengan sikap lugu, mereka menolak patuh terhadap peraturan dan kebijakan kolonial. Hingga Januari 1903, pengikut Saminisme sudah mencapai 772 orang, tersebar di desa-desa di sekitar Blora Selatan hingga Bojonegoro.
Gerakan Saminisme menonjol karena tindakan perlawanan mereka tanpa kekerasan. Meskipun menentang kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda, Masyarakat Samin memprotes dengan sikap dan tingkah laku, terutama terkait dengan “Politik Etis.” Dengan keunikan gerakan ini, Masyarakat Samin telah meninggalkan jejak sejarah yang memperkaya warisan budaya di daerah mereka.