Penulis: Kajar Djati
Pagi masih melingkupi desa dengan kegelapan. Derap ringkik kuda menghiasi udara dari beberapa rumah terpencil. Di ujung desa, dekat belokan, seorang lelaki paruh baya dengan hati-hati memijat punggung kudanya. Dengan lembut, kuda diikat di bawah rindangnya pohon, sementara lelaki itu menginjak-injak punggungnya. Aroma khas dari kandang kuda menyelinap dari jalan.
Matahari mulai menyingsing, warga membawa kuda berkeliling desa. Saat melihatnya, waktu itu, bayangan diriku menunggang kuda seperti para pendekar dalam sandiwara radio Tutur Tinular terbayang.
Tetapi itu terjadi sekitar tiga dekade lalu, pada era 90-an, ketika warga Kampung Banteran mencari nafkah dengan menarik kereta kuda penumpang, yang mereka sebut bukan delman, melainkan dokar. Dokar menjadi moda transportasi favorit, terutama untuk perjalanan singkat.
Di antara pepohon kelapa, sebuah bangunan sekolah berdiri. Pada malam hari, anak-anak tak berani mendekatinya. Kisah-kisah seram merayapi pikiran mereka, dan cerita-cerita seram itu selalu dinikmati oleh anak-anak. Ketakutan namun selalu menjadi bahan cerita.
Paling tidak, ada dua tempat yang sangat ditakuti oleh anak-anak. Pertama, pohon mangga di tengah sawah, yang meskipun berbuah lebat, tak ada yang berani mengambilnya karena dianggap angker. Kedua, sendang atau sumber air di dusun lain yang terkenal angker. Cerita perempuan penunggu sendang yang menikah dengan kiai masjid setempat menjadi cerita yang melekat di telinga anak-anak.
Kampung ini dikenal sebagai Banteran, namun arti sebenarnya kurang jelas. Mungkin merujuk pada tradisi balapan atau aktivitas masyarakat yang memelihara kuda untuk menarik penumpang.
Namun, zaman telah berubah. Rumah-rumah bambu telah digantikan oleh bahan bangunan modern. Kandang-kandang kuda pun lenyap, dan dokar digantikan oleh becak motor. Pemilik kuda bermetamorfosis menjadi pengemudi becak motor. Dan waktu terus berjalan, becak motor pun lenyap. Sebagian warga sudah berpulang.
Cara hidup baru menggantikan tradisi lama, orang-orang baru mengambil alih peran dari generasi sebelumnya. Namun, kenangan tidak hilang begitu saja.
Gardu panggung yang menjadi tempat berkumpul anak-anak, yang lokasinya di ujung gang, dekat jalan raya, sekarang hanya tinggal kenangan. Di situ dulu ada kentongan besar. Gardu itu pernah roboh akibat kecelakaan bus Rajawali jurusan Bojonegoro-Surabaya, dan pertigaan itu kini dikenal sebagai Telon Rajawali.