Jika Anda mendengar kata Bojonegoro, apa yang pertama kali terlintas? Satu diantaranya banyak pertanyaan itu, mengemuka dalam Diskusi Ilmiah di auditorium Hasyim Asyari Unugiri yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa Kabinet Bara Brahma Unugiri dengan Kelompok Bumi Budaya, Kamis (10/10). Acara tersebut sekaligus menyongsong Hari Jadi Bojonegoro (HJB) ke 347.
Membahas Bojonegoro, yang pada 2024, jumlah penduduknya mencapai 1.365.109, memang selalu menyenangkan. Diskusi ilmiah yang mengambil tema “Peran Sejarah dan Budaya dalam Arah Kemajuan Pembangunan Bojonegoro” ini menghadirkan empat narasumber dengan materi yang berbeda. Sedikit disayangkan, masing-masing pemateri hanya dibatasi 15 menit saja karena keterbatasan waktu. Namun, setidaknya, ada beberapa poin yang tersampaikan.
Berikut saya coba catat beberapa hal tentang Bojonegoro yang dikaji dalam Kajian Ilmiah tersebut:
Dander, Bedander dan Majapahit
Achmad Satria Utama yang merupakan tim pendata objek diduga cagar budaya Jawa Timur wilayah Bakorwil 8 Bojonegoro menyampaikan beberapa fakta terkait Dander. Dander merupakan salah satu kecamatan di Bojonegoro yang terletak di bagian selatan, sekitar 12 kilometer dari pusat kota.
Dander banyak diceritakan sebagai tempat persembunyian Raja Majapahit, Raja Jayanagara. Gajah Mada adalah tokoh yang membawa Raja Jayanegara ke Bedander. Raja Jayanegara terpaksa diungsikan, lantaran ada pemberontakan Ra Kuti. Hanya pasukan Bhayangkara mengiringi. Begitulah yang diceritakan dalam kitab Pararaton.
Menurut Satriya, Dander atau Badander terbentuk dari kata ‘ba’ dan ‘dander’. Kata ‘ba’ jika dalam Bahasa Indonesia adalah awalan ‘ber’ yang berarti memiliki atau melakukan. Sedangkan ‘dander’ lahir dari dua kata, yakni dana dan dhara. Dana memiliki makna hadiah, pemberian, derma, kemurahan hati (Mardiwarsito 1986: 147; Zoetmulder 1992, 1: 192). Sedangkan dhara mempunyai arti sikap, pemegang, atau pembawa (Mardiwarsito 1986: 170; Zoetmulder 1992, 1: 196).
Gabungan kata dana dan dhara ketika diucapkan menjadi dandhara. Dandhara diringkas menjadi dandhar lalu disederhanakan lagi menjadi dander yang dapat diartikan sikap murah hati. Sedangkan kata Badander bisa diterjemahkan sebagai “bersikap murah hati” atau “mempunyai sikap murah hati”.
Sikap murah hati tersebut berhubungan dengan Prasasti Adan-adan yang ditemukan terkubur tanah sedalam 0.5 meter pada 1992 di Mayangrejo Kalitidu. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh raja pertama Kerajaan Majapahit, yakni Nararryya Sanggramawijaya (Krtarajasa Jayawarddhana) atau yang dikenal dengan nama Raden Wijaya pada tahun 1223 saka (1301) M. Ia bergelar Sri Jayakatyengrajatiripujaya (pembinasa Raja Jayakatyeng).
Desa Adan-adan ditetapkan sebagai tanah Sima (bebas pajak) yang dihadiahkan Raden Wijaya kepada Sri Paduka Rajarsi yang merupakan figur Brahmana yang memperjuangkan dan mempertahankan Kerajaan Majapahit. Disebutkan bahwa resi sebagai Walkaladhari atau selalu menyertai duka nestapa (nirakati) Sang Raja. Ia juga bertingkah laku susila yang baik (Sasilasuddhacara), selalu taat beragama (Satatadharmmacintana) dan berbakti pada Tuhan (Dewarccana).
Adapun tanah Sima tersebut meliputi Desa Tinawun, Kawengan, Jajar, Patambangan, Tambar, Padasan, Punten, Rakameng, Kubwan, Paran, Panjer dan Sanda.
Prasasti berikutnya yang menjadi bukti bahwa Bedander merupakan tempat istimewa dan penuh sejarah adalah Prasasti Tuhanyaru yang dikeluarkan Jayanagara pada 1323. Prasasti tersebut ditemukan di Sidoteko Mojokerto. Disebutkan bahwa Desa Tuhanyaru dan Kusambiyan ditetapkan sebagai tanah Sima untuk dihadiahkan pada Dyah Makaradwaja yang telah berbakti kepada Jayanagara tanpa pamrih.
Tuhanyaru berhubungan dengan Badander yang disebutkan dalam kitab Pararaton. Tuhanyaru yang terbentuk dari kata tuha dan nyaru memiliki arti pemimpin yang menyaru. Tuhanyaru juga bisa terdiri atas kata tuhan dan nyaru yang bermakna orang yang dihormati yang menyamar. Bisa diartikan, Tuhanyaru adalah pemimpin yang dihormati yang sedang menyamar atau menyaru.
Tuhanyaru dalam prasasti yang sebenarnya mengacu pada peristiwa Jayanagara yang menyamar dan bersembunyi di Badander.
Tentu, Dander menjadi tempat persembunyian Raja Jayanagara karena banyak pertimbangan. Seperti aman, tidak terlacak, adanya sumber air, makanan, penerimaan warga, dan adanya tempat sakral sebab Jayanagara tidak mengungsi semata, tapi juga meminta kekuatan dari leluhur terdahulu agar dapat mempertahankan kedudukannya.
“Kita tahu di Dander ada Kayangan Api yang merupakan sumber titik api. Sumber titik sentelnya para resi melakukan ibadah. Identik dengan Dewa Brahma,” terang Satria.
Selain itu, Dander juga memiliki sumber air yang saat ini terkenal dengan nama Growgoland. Gro dan go yang merupakan Bahasa Jawa Kuno memiliki arti melenguh. Dalam hal ini melenguh berarti tempat sapi yang identik dengan Dewa Siwa.
Tempat sakral di Dander yang terakhir adalah di kali dekat pemandian yang saat ini dikenal dengan Kokobo Dander Forest. Disebutkan bahwa Jayanagara melakukan peribadatan Rangyang Iwak sebagai penghormatan kepada Dewa Ikan yang identik dengan nama Wisnu. Bahkan prosesi penyebaran benih-benih ikan juga terus dilestarikan hingga sekarang. Seperti ketika sedekah bumi atau manganan tiap tahun. Pada 2024 diadakan pada Jumat (23/8).
Sebuah fakta sejarah yang bisa ditarik kesimpulan bahwa Dander dan seluruh wilayah Bojonegoro merupakan tempat dengan sumber daya alam yang melimpah, juga tokoh-tokoh yang kiranya bisa dijadikan bahan refleksi. Bagaimana masyarakat lebih baik memanfaatkan, melindungi dan memelihara alam sekitar.
Bojonegoro dari Kacamata Peneliti Blora
Setelah mengetahui bukti Dander dan hubungannya dengan Kerajaan Majapahit, lalu bagaimana Bojonegoro dikenal oleh peneliti sejarah dari Kabupaten Blora? Totok Supriyanto, peneliti sejarah asal Blora banyak mengungkap Bojonegoro dari sudut pandang sejarah kebudayaan.
Bojonegoro, menurut Totok, adalah separuh dari lembah bengawan yang semuanya berhulu di Gunung Pandan. Salah satu dari hulu tersebut ada di Dander. Bengawan Solo juga merupakan jalur utama kerajaan Majapahit pada waktu itu. Letak geografis ini menjadi salah satu alasan mengapa Jayanagara pegi ke Dander. Tentunya ia melewati jalur bengawan karena dianggap sangat mudah bahkan sampai pada abad 19 di mana sumber minyak pertama kali ditemukan di perbatasan antara Blora dan Bojonegoro.
Tentu, minyak bukan pertama kali ditemukan oleh Belanda. Di Desa Dandangngilo, masyarakat sudah menggunakan minyak bumi, tapi hanya sebagai bahan penerangan. Berbeda dengan saat ini, minyak bumi dijadikan sebagai tonggak ekonomi Bojonegoro.
Antara bengawan dan minyak bumi dari fungsinya dulu berbanding terbalik dengan fungsinya sekarang.
“Apa yang terjadi sekarang? Bengawan Solo malah seperti buangan sampah saja,” ujarnya.
Nama Bojonegoro mulai digunakan pada 1827. Meski hari jadinya ditetapkan pada 20 Oktober 1677. Yakni hari di mana ada perjanjian Giyanti. Perjanjian tahun 1677 merupakan kekalahan politik berat bagi Mataram terhadap VOC. Oleh karena itu, status kadipaten pun diubah menjadi kabupaten dengan wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Toemapel yang juga merangkap sebagai Bupati I yang berkedudukan di Jipang pada tanggal 20 Oktober 1677. Maka tanggal, bulan dan tahun tersebut ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Bojonegoro.
Saat itu, wilayah Jipang terhitung dari Panolan sampai Baureno. Sayang, wilayah Panolan harus dikurangi saat perjanjian tersebut.
“Kebudayaan sejarah kita sadari seperti menghirup udara, tidak kelihatan. Karena itu kita perlu mencari cara agar nilai-nilai sejarah menjadi bermanfaat,” pungkasnya di akhir penyampaian.
Tata Kelola Arsip di Bojonegoro
“Menurut kalian, Bojonegoro itu dikenal sebagai apa?”
Pertanyaan itu dilontarkan oleh Nanang Fahrudin sebagai narasumber ketiga. Ada peserta menjawab: minyak dan banjir.
Nanang yang merupakan penulis dan founder Penerbit Nuntera memiliki harapan Bojonegoro tidak hanya dikenal dengan minyak dan banjirnya saja. Bojonegoro harus dikenal dengan budaya-budayanya, manusia-manusianya dan pemikiran-pemikirannya.
“Mengeksplor budaya-budaya kecil menjadi tanggung jawab bersama,” ujarnya.
Diketahui, Bojonegoro memiliki tokoh-tokoh luar biasa dalam catatan sejarah. Contohnya Tumenggung Aria Sasradilaga, adik ipar dari Pangeran Diponegiro. Ia merupakan pahlawan sekaligus bupati pada tahun 1827.
Ia juga yang memimpin perlawanan dari Bojonegoro sampai Lasem pada pertengahan perang Jawa dari tahun 1825-1830. Konon, ialah yang menyatukan 3 wilayah yakni Baureno, Rajekwesi dan Dander.
Ada yang menyebut Sasradilaga dimakamkan di Desa Sewulan Madiun. Namun, ada juga yang menyebut ia dimakamkan di Sambirejo, Kotagede. Sayang sekali, terkait makamnya masih kurang literatur yang menjelaskan secara pasti. Bahkan juru kunci tidak ada yang tahu. Lebih disayangkan lagi makam tersebut dikenal sebagai tempat pesugihan.
“Kadang kita ngenes, makam-makam jadi tempat pesugihan, dan nilai-nilai sejarahnya tidak diangkat,” terang Nanang.
Tokoh lain adalah Tirto Adi Suryo, Bapak Pers Indonesia yang merupakan cucu bupati Bojonegoro bernama Tirtonoto.
Melihat dari sisi sejarah, Bojonegoro dari dulu memiliki alam yang melimpah dengan tokoh-tokoh yang luar biasa. Hal tersebut menjadi sebuah penyemangat tersendiri.
Dalam catatan sejarah, ada yang menyebut orang Bojonegoro berasal dari Orang Kalang dan Samin. Orang Kalang dikenal memiliki kemampuan perkayuan. Mereka tidak hanya membuat peralatan dari kayu, mereka membuat kapal-kapal yang dikirim ke Tuban.
Selain berasal dari Kalang dan Samin, menurut catatan sejarah, ada satu kemungkinan masyarakat Bojonegoro sebagian merupakan keturunan Arupalaka dari Bugis yang memiliki karakter kuat, dan mudah marah. Ketika Mataram diserang oleh Trunajaya lewat Bengawan Solo, sehingga prajurit-prajut Arupalaka didatangkan untuk membantu mengusir Trunajaya. Pasukan itu menetap selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, menyebabkan mereka menikah dengan masyarakat pinggiran bengawan dan beranak pinak.
Nanang juga mengingatkan perlunya mencatat sejarah-sejarah kecil, seperti alat-alat dapur, permainan tradisional, dan lainnya. “Pencatatan sejarah yang kita lakukan sekarang adalah untuk arsip di masa mendatang. Jadi, kita tidak boleh menyepelekan sejarah-sejarah kecil.” papar Nanang.
Kebijakan Publik Kebudayaan di Bojonegoro
Dilihat dari prespektif undang-undang kebudayaan, menurut Achmad Taufiq selaku Dekan FISIP Unigoro, sebenarnya ada banyak sekali bidang yang dikaji tentang Bojonegoro. Salah satu contohnya adalah tradisi lisan Bojonegoro yang sedang berkembang yakni Jonegoroan.
Di bagian Bojonegoro barat yakni Kalitidu, Padangan dan setersunya cenderung menggunakan dialek ‘leh’ untuk mengakhiri sebuah kalimat, contohnya “Aku yo ra roh, leh.”
Sedangkan Bojonegoro bagian timur cenderung dipengaruhi dialek Surabaya dengan tambahan “rek” di penghujung kalimat. Contohnya “Gak ngunu, rek.”
Contoh yang lain yakni kajian manuskrip kuno dengan pendekatan prespektif kitab agama kuno. Kajian seperti ini akan menarik jika terus dilakukan secara konsisten
Contoh lainnya lagi adalah adat istiadat, ritus pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, dan seni. Salah satu yang dapat dikaji dari seni adalah seni musik seperti oklik, jedor, karawitan, kentrung, antereret, dan lain sebagainya.
Jika oklik masih dimainkan meskipun jarang, jedor hampir tidak lagi dimainkan. Penelitian tentang jedor pun juga tidak ada. Padahal, jedor merupakan simbolisasi kutub agama dan kultur.
Dalam seni pertunjukan, Bojonegoro mempunyai wayang thengul, krucil, sandur, dan lain-lain. Dalam permainan rakyat, Bojonegoro punya gobak sodor (kesetaraan).
Dari banyaknya bidang di atas, Bojonegoro baru mempunyai satu regulasi yang mengatur tentang kesenian saja. Bojonegoro belum memiliki regulasi yang mengatur tentang sejarah dan budaya dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu kendala terbesar pemangku kementingan di Bojonegoro adalah menganggap seni, budaya, dan sejarah sebagai bagian dari masa lalu dan belum bisa berkontribusi banyak dalam pembangunan.
Demi mewujudkan komitmen regulasi yang mengatur tentang sejarah dan budaya, setidaknya ada 4 aspek yang menjadi tanggung jawab bersama sebagai berikut:
- Perlindungan Aset Budaya
Perlindungan aset budaya dapat dilakukan dengan inventarisasi yang meliputi penelitian, riset, pencatatan, pendokumentasian, verivikasi dan validasi yang melibatkan semua pihak.
Aset budaya juga perlu pengamanan yang meliputi pembuatan sistem data base. Selain itu, aset budaya juga perlu dipelihara dengan implementasi nilai keluhuran kearifan budaya. Penyelematan aset budaya juga penting dilakukan seperti dengan reputalisasi dan retorasi.
Perlindungan aset budaya juga bisa dengan menyajikan wisata budaya lokal pada setiap kegiatan di pemerintahan, menyelenggarakan festival budaya, menginisiasi lembaga independen, serta memberikan apresiasi kepada orang yang fokus dalam bidang budaya dan sejarah.
Di Bojonegoro, yang dilakukan baru sebatas inventarisasi, penyajian wisata budaya lokal, penyelenggaraan festival budaya, dan inisiasi lembaga independen. Selain itu, poin-poin pada perlindungan aset budaya masih menjadi PR bersama.
- Pengembangan Aset Budaya
Pengembangan aset budaya bisa dilakukan dengan penyebarluasan aset budaya ke berbagai bentuk penghargaan, pendirian museum dan gedung budaya.
Di Bojonegoro, aset-aset budaya diperlakukan kurang baik. Dulu aset-aset tersebut berada di pojok parkir Dinas Pendidikan di Jl. Pattimura. Lantas beberapa tahun kemudian dipindah ke SMT, dan sekarang berada di Dimas Persibo.
“Cara kita memperlakukan artefak atau manuskrip yang ada di museum itu sungguh-sungguh tidak manusiawi,” ujar Taufiq.
Museum atau gedung kebudayaan tentu sangat dibutuhkan untuk penelitian lebih dalam dan penyimanan serta perawatan aset-aset budaya yang lebih baik. Juga untuk menghindari aset-aset tersebut rusak, dicuri, dan lain-lain.
- Pemanfaatan Aset Budaya
Dalam prespektif kebijakan publik, semua kebutuhan regulasi untuk budaya dan sejarah bisa terlaksana dengan kolaborasi semua pihak, yakni pemerintah, akademisi, NGO, perusahaan, komunitas, dan pelaku-pelaku seni, budaya, dan sejarah untuk menyusun rencana jangka panjang menyatukan seni, budaya, dan sejarah dalam satu bingkai hingga bisa menghasilkan energi untuk pembangunan Bojonegoro yang lebih baik.
- Pembinaan Aset Budaya
Bojonegoro dikenal karena keramahan penduduknya dan indahnya seni, budaya dan tradisinya. Terlebih, hampir semua aktivitas dilakukan di kota ledre tersebut. Menemukan teman-teman yang hangat, komunitas yang menyenangkan, dan orang-orang baik yang bersedia mengajari banyak hal terutama tentang kepenulisan dan seni hidup menyenangkan. Bojonegoro adalah kota mungil yang menyenangkan.
Menurutmu, sebagai apa Bojonegoro dikenal?