Belum banyak yang tahu, jika di Dusun Bringan, Desa Ngraho, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, banyak warga pembuat tempe. Di RT 13 RW 01, terdapat empat keluarga yang memproduksi tempe. Bahkan, sudah berlangsung puluhan tahun.
Dusun Bringan berada pinggir aliran sungai Gandong dan Bengawan Solo. Warganya, tak pernah kekurangan sumber air bersih. Termasuk kebutuhan air untuk membersihkan kedelai sebelum diolah menjadi tempe.
Pengrajin tempe paling tua adalah Mbah Marijah yang meneruskan usaha orangtuanya. Mbah Marijah sudah mempunyai tiga cucu danmemroses tempe dengan cara manual. Tempe hasil produksinya dijual di pasar Tobo-Purwosari.
Tak jauh dari rumah Mbah Marijah, Tohari (42) juga memproduksi tempe. Ia memulai usahanya sejak 2011. Kini rata-rata menghabiskan 120 kg kedelai. Sedang Masrum (45), yang masih bertetangga, menyusul memproduksi tempe. Kini rata-rata mengolah 1 kuintal kedelai setiap hari. Kesuksesan usaha tempe kemudian ‘menular’ ke adiknya yang juga memproduksi tempe.
Jarak rumah yang berdekatan menjadikan mereka membeli kedelai dari penjual kedelai yang sama. Uniknya, mereka pun tak terhambat persaingan, lantaran mempunyai pembeli masing-masing. Mereka membeli kedelai dengan sistem ambil dulu dab bayar ketika kedelai sudah habis. Penjualan tempe dipasarkan ke pasar yang berbeda-beda.
“Dulu banyak warga di RT 013 yang jualan tempe,” kata Sukristiana, salah satu pengrajin tempe. Ia istri dari Masrum.
Awal Agustus 2024, saya melihat langsung proses produksi tempe. Suara nyaring alat penggiling kedelai terdengar setiap pagi. Jika kita perhatikan, suara itu bersahut-sahutan, dari rumah produksi yang satu ke rumah produksi yang lain.
Jika saya sederhanakan, sebagaimana penuturan Sukristiana, beginilah proses produksi tempe.
Kedelai direbus menggunakan dandang besar yang pesan khusus dengan api pawon. Rebusan kedelai diamkan semalaman. Setelah itu disaring dipisahkan dari air endapannya yang disebut air leri. Air leri biasa diambil para tetangga untuk minum binatang ternak di pagi hari sebelum kedelai digiling untuk memisahkan kulitnya. Selain air leri, tetangga juga mengambil air sisa rebusan kedelai di sore harinya.
Mesin penggiling kedelai dipesan khusus dari pengrajin. Penggiling kedelai terbuat dari besi berbentuk corong sebagai tempat masuknya kedelai, di bawahnya terbuka tempat keluarnya kedelai. Penggiling kedelai diletakkan di atas drum berbahan plastik yang dipotong atasnya.
Penggiling kedelai dengan dinamo listrik mengeluarkan suara nyaring. Setelah proses penggilingan kedelai dicuci bersih dipisahkan sebagian kulitnya yang mengambang ketika dicuci. Setelah itu diberi ragi tempe, baru dibungkus menggunakan plastik. Tempe yang masih rupa kedelai diberi campuran mentega yang dicairkan. Selain itu jika biasanya tempe setelah direbus dan digiling lalu dikukus, maka untuk tempe Bringas tidak. Cukup kedelai satu kali direbus tanpa dikukus setelahnya.
Terakhir tempe kedelai ditata di papan persegi panjang yang terbuat dari triplek dan anyaman bambu. Ditaruh di tundakan yang terbuat dari bambu. Proses penumbuhan selama dua hari hingga menjadi tempe.
Sementara itu, Fatimah (42) istri dari Tohari, bercerita jika dulu produksi tempe di Bringan, berawal dari Radun asal Pekalongan (Jawa Tengah). Ia mengontrak di depan rumah Masrum dan memproduksi tempe. Lalu, Tohari dan Masrum belajar membuat tempe darinya. Namun kemudian, Radun pindah tinggal di Padangan. Tohari dan Masrum kemudian tetap melanjutkan memproduksi tempe.
Tempe yang diproduksi keluarganya dijual ke pasar di pagi hari sekitarpukul 04.00 WIB. Kendaraan angkutnya motor tossa. “Awalnya jualan keliling, tapi kini menetap di pasar Tobo dan mendapat pelanggan,” terang Fatimah.
Proses pembuatan tempe dimulai pagi hari hingga siang menjelang sore sekitar pukul 14.00 WIB. Jumlah tempe yang diproduksi terusbertambah, menjadikan proses pembuatan tempe menggunakan mesin dan dibantu oleh salah satu tetangganya.
Masrum (45) bercerita untuk tempe dengan harga eceran Rp 1.000 dan Rp 2.000 dijual 14 biji an. Setiap pukul 02.00 pagi, ia berangkat dari rumah ke Pasar Cepu. Tempe-tempe sepaket sudah dibungkus plastik seharga Rp 10.000.
“Kadang ketika harga kedelai naik, ya dikurangi isinya tapi harganya masih tetap,” jelasnya.[nf]
_____________
Eni Puspita Sari adalah peserta magang jurnalis, mahasiswa Unugiri, Bojonegoro