Dulu Bengawan ramai anak-anak kecil bluron. Warga juga sering nyarah, mencari kayu yang hanyut di Bengawan Solo.
Kabupaten Bojonegoro dilintasi Bengawan Solo, mulai Kecamatan Margomulyo di barat hingga Kecamatan Baureno di timur. Bagi masyarakat yang berada di pinggiran Bengawan Solo, sungai terpanjang di pulau jawa itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan mereka.
Kini, Bengawan Solo tak lebih sekedar sungai besar saja. Padahal, dulu masyarakat sangat akrab. Mandi, mencuci, mencari ikan, dan anak-anak bermain lepas. Saya pun terlintas tanya, bagaimana warga bercerita tentang Bengawan Solo di masa lalu?
Sore itu, Kamis 22 Agustus 2024, saya berada di Desa NgrahoKecamatan Gayam Kabupaten Bojonegoro. Desa ini berada di pinggir Bengawan Solo. Sore itu, tampak petani sedang mengairi sawah yang diambilnya dari Bengawan, dan di sudut lain perahu tambangan sedang menyebrangkan warga.
Pandanganku beralih ketika melihat seorang bapak duduk di pinggiran Bengawan Solo. Ia mengambil sesuatu dari air. Ada tenda sederhana dari kayu yang di atasnya ditutup sak, sebagai tempatnya berteduh. Waktu itu sinar matahari begitu panas.
“Tambangan itu sudah ada ketika saya masih kecil,” ujar lak-laki paruh baya yang mengairi sawahnya. Sambil menunjuk ke temannya di bawah yang dipayungi sak tadi, ia menjelaskan bahwa temannya itu sedang mencari bukur dan ikan. “Anak zaman sekarang mana tahu bukur,“ teriaknya setelah mendengar percakapan kami. Bukur adalah semacam kerang kecil yang biasa di pinggiran bengawan. Terik matahari semakin menyengat, laki-laki paruh baya ini melanjutkan pekerjaannya.
Tak jauh dari situ, tepatnya di wilayah RT 13 RW 01 Desa Ngraho, terdapat jalan kecil menuju dasar pinggiran Bengawan Solo. Untuk sampai ke sana, harus melewati jalan menurun yang lumayan curam. Tampak perahu yang sedang mengangkut pasir di tengah bentangan air Bengawan solo. Tanah di pinggiran Bengawan tampak mengering. Bengawan Solo sedang surut.
Nur Jannah, salah satu warga pinggiran Bengawan Solo menuturkan, keadaan Bengawan Solo kini dalam dan berlumpur. “Dulu ketika siang menuju sore, Bengawan ramaisama anak-anak kecil yang sedang bluron dan bermain. Apalagi mendekati lebaran makin ramai. Banyak orang-orang tua dulu yang juga ke Bengawan,” jelasnya. Tapi kini, tak ada anak-anak bermain di tanah berpasir saat Bengawan surut.
Langit sore masih memerah, saya masih penasaran dengan cerita Bengawan Solo di masa lampau. Saya pun bertemu Masringah, perempuan berusia 70 tahun. Ia bercerita, dulu waktu kecil, ia pergi ke Bengawan Solo untuk mandi, mencuci baju dan mencuci peralatan masak, serta mengambil air.
Dia menjelaskan, masyarakat dahulu biasa menyeberang Bengawan Solo tanpa perahu ketika musim kemarau, peristiwa ini disebut bak an. Bak an adalah kondisi air Bengawan yang surut. Air Bengawan hanya setinggi paha. Masyarakat berjalan bersama-sama menerjang air Bengawan yang sedang bak an menuju desa seberang.
Warga juga sering mencari kayu yang hanyut di Bengawan Solo. Kegiatan seperti ini disebut nyarah. Para perempuan mencari kayu di pagi hari sedangkan laki-laki di malam harinya. Setelah kayu dikumpulkan kemudian dikeringkan terlebih dahulu sebelum dimasukkan rumah untuk kayu bakar memasak. Tidak jarang para bapak-bapak mencari ikan, bukur dan semacamnya.
Mencuci baju di Bengawan Solo menjadi kebiasaan warga dulu, apalagi bagi masyarakat yang memiliki bayi. Mereka akan mencuci baju bayi di Bengawan Solo. Karena lebih mudah dan kotoran-kotoran bayi yang menempel disukai ikan-ikan kecil di Bengawan Solo sebagai makanannya. Masyarakat menggunakan rinjing sebagai wadah baju ketika mencuci. Rinjing adalah wadah seperti bak namun terbuat dari anyaman bambu. Tidak hanya baju, masyarakat juga mencuci peralatan masak di Bengawan. Peralatan masak yang dicuci salah satunya wadah berbentuk corong agak besar terbuat dari anyaman bambu yang dulu digunakan untuk memasak nasi. Peralatan seperti itu sekarang jarang ditemui sebagai alat memasak.
Ketika Bengawan pasang, biasanya warga akan mengambil air dari kali yang lokasinya juga dekat. Kali Gandong namanya. Kali itu mengalir melewati Dusun Bringan. Dulu, warga membuat lubangan kecil di tanah pinggiran kali, yang disebut belik. Belik dipagari menggunakan bambu, supaya tidak tertimbun tanah didekatnya. Dari belik ini akan keluar sumberan air. Air yang keluar dari sumberan berwarna lebih jernih karena belum tercampur apapun. Di tempat ini masyarakat mengambil air untuk dibawa pulang. Air diambil kemudian ditaruh di tempat yang terbuat dari tanah yang disebut kendil. Aktivitas dan kebiasaan masyarakat di Bengawan dilakukan sebelum masyarakat banyak memiliki sumber air di rumah.
Masringah menceritakan Bengawan Solo dahulu yang masih terlihat pasirnya, airnya bersih dan tidak berlumpur. Bengawan sekarang tampak berlumpur karena kebanyakan diambil pasirnya.
“Dulu belum banyak bangunan, beda dengan sekarang banyak bangunan. Jadi makin banyak pasir yang diambil,” tuturnya.
Mbah Katemi, yang juga sudah sangat sepuh dan tinggal di Dusun Bringan bercerita bahwa kebiasaan masyarakat desa zaman dulu menyeberang Bengawan Solo bersama-sama. Jika musim hujan, menyeberang dengan nambang perahu bersama-sama.
Aku menyimak cerita itu sambil mengangguk. Dengan pelan mencerna setiap kata dan membayangkan kehidupan masyarakat pinggiran Bengawan Solo di masa lampau. Di masa akan datang, generasiku yang akan menggantikan posisi Masringah. Akankah generasiku sekarang mampu menjaga alam, dan hidup tenteram bersama Bengawan Solo?