Siang itu, Rabu (18/9/2024), Nur Hayati di teras rumahnya. Iamemasukkan kerecek mentah kering-juga biasa disebut rengginang- ke dalam wadah plastik. Membuat kue tradisional itulah kesibukan Nur sehari-hari.
Perempuan berusia 44 tahun ini sudah lama, yakni lebih dari 20 tahun, memproduksi kerecek di rumahnya di RT 14, Desa Ngraho Kecamatan Gayam Kabupaten Bojonegoro. Nur memulai semua dari nol.
Saya pun tertarik mengetahui, bagaimana awal merintis usahanya. Nur kemudian menceritakan bahwa inisiatif memproduksi kerecek berasal dari para saudaranya yang lebih dulu membuat kerecek. Berawal untuk menambah pemasukan keluarga, akhirnya Nur belajar secara otodidak dengan melihat saudaranya ketika membuat kerecek. Awalnya ia membantu saudaranya dalam proses pembuatan kerecek.
Maklum saja, empat saudaranya yang memproduksi kerecek yang tempatnya tidak jauh dari rumah Nur. Dan semua telah memiliki pasar sendiri-sendiri.
Nur pun mencoba keberuntungannya. Setelah dirasa mampu memproduksi sendiri, ia mencoba memasarkan kereceknya dari toko ke toko. Berkat ketekunannya, sekarang Nur sudah memiliki pelanggan tetap, yakni menyetok kerecek kepada pelanggan di Kecamatan Dander, untuk kemudian dijual lagi olehnya.
Nur setiap hari membuat kerecek dan baru disetor ke pelanggan setelah tiba pasaran pon. Kerecek yang telah dicetak, dikeringkan selama dua hari. Untuk hari-hari biasa, Nur menghabiskan ketan beras sekitar 20 kg. Dan saat ramai bisa sampai sekitar 50 kg beras ketan. Tantangannya adalah ketika musim hujan, karena harus bolak -balik memasukkan dan mengeluarkan kerecek. Kerecek harus kena panas, jika tidak, maka kerecek bisa hancur dan jamuran.
“Paling tidak, dimulainya setelah subuh sampai siang. Karena negjar panas.” jelasnya.
Nur menjelaskan, pemesanan kerecek meningkat ketika musim hajatan (ewoh) dan mendekati lebaran. Di waktu seperti itu, Nur sampai perlu meminta bantuan tetangganya.
Kerecek milik Nur Hayati bisa dibilang sudah modern, mengikuti perubahan zaman. Dia memproduksi kerecek dengan berbagai varian rasa, ukuran dan bentuk. Bentuk kerecek yang dibuat seperti bunga, dengan campuran warna pink dan hijau. Jika dijemur, tampak indah terkena sinar matahari.
“Variannya ada yang rasa bawang, gula merah, terasi, ketan hitam. Ketika mendekati lebaran membuatnya yang seperti ini, kerecek yang ukuran kecil. Sedangkan yang besar libur. Kebanyakan kerecek besar dipesan untuk orang hajatan (ewoh),” tuturnya.
Nur menjual kerecek sesuai beratnya. Dia mematok Rp 30.000 perkilogram untuk kerecek ukuran kecil dengan varian rasa. Dedangkan yang ukuran besar rasa original dipatok Rp 27.000 perkilogram. Kerecek besar dipatok harga Rp 6.000 – 7.000 per biji.
Dia menjelaskan, ketika harga beras ketan naik, harga kerecek disesuaikan. Nur memberi tahu dahulu ke pembelinya bahwa beras ketan sedang naik.
“Beras ketan 50 kg ketika sudah dimasak, beratnya mati (jadi berkurang) 3-4 kg,” kata Nur.
Kini, kereceknya dipasarkan dengan menyetok toko-toko di pasar. Selain itu dia juga melayani masyarakat sekitar yang ingin membeli. jika pembeli ingin kerecek yang matang akan digorengkan dadakan. Kerecek yang biasa disetorkan Nur dalam keadaan masih mentah kering.
Perempuan yang memiliki empat anak ini, boleh dibilang sehari-hari disibukkan dengan kerecek. Ketika sore, ia merendam beras ketan dengan air. Pagi sebelum subuh, ia melanjutkan proses dengan memasak beras ketan sama seperti beras putih yang dijadikan nasi.
Proses berhenti sebentar, karena Nur melanjutkan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga: mengurus anak-anak dan keluarga. Ia mengantarkan dan menjemput anaknya di sekolah. Anakragilnya masih duduk di kelas TK. Dulu sebelum menekuni usahanya membuat kerecek, Nur sempat membuat ledre selama dua tahun, namun tidak dilanjutkannya. Dia merasa cocok dengan usahanya sekarang.
“Usaha ibu rumah tangga, dilakukan sambil nyambi- nyambi. Bersyukur bisa digunakan untuk keperluan apa saja, termasuk uang saku anak-anak sekolah,” tuturnya.
Melihat Langsung Proses Pembuatan Kerecek
Kamis pagi (19/09/2024) saya Kembali datang ke rumah Nur Hayati untuk melihat proses pembuatan kerecek. Beras ketan yang sudah matang ditaruh Nur ke dalam wadah bak berbentuk lingkaran besar. Tampak ketan diratakan supaya tidak terlalu panas. Ketan yang masih sedikit hangat, diambil sedikit-sedikit menggunakan piring plastik ke papan persegi panjang yang terbuat dari anyaman bambu.
Dia mengatakan kesulitan mencari orang pembuat anyaman bambu. Ketika ada yang bisa membuatkan anyaman dia harus menunggu lama.
Kemudian, Nur dengan cekatan mengambil ketan dan dibentuk kecil-kecil. Tanpa cetakan, dia sudah bisa memperkirakan besar kereceknya. Sebagian kerecek dicetak menggunakan cetakan berbentuk lingkaran dari plastik yang dibuatnya sendiri.
Nur dalam mengolah kereceknya masih menggunakan cara-cara tradisional. Ketika ditanya pandanagn kedepan tentang usahanya, dia hanya berharap diberikan kelancaran menjalankan usaha rumahannya.
“Mungkin Jika kerecek dijual di Indomaret akan laris, jajanan yang langka banyak dicari,” pungkas Nur disertai senyuman.[nf]