Dulu, Desa Beged Kecamatan Gayam Kabupaten Bojonegoro dikenal sebagai desa penghasil kerajinan anyaman bambu. Dulu, warganya berlomba-lomba adu cepat membuat tampah atau rinjing. Tapi kini, warga yang membuat kerajinan anyaman bambu bisa dihitung dengan jari.
Pertengahan Oktober 2024 lalu, aku berkunjung ke Beged, di rumah Tasmi, perempuan berusia 60 tahun. Ia merupakan tengkulak kerajinan anyaman bambu di Beged. Yakni tampah, tumbu, dan kukusan. Tasmi menjualnya ke Pasar Ngambon. Kerajinan itu dijual dengan harga Rp 10 ribu hingga Rp 17 ribu.
Perempuan yang telah mempunyai tiga cucu ini, tidak hanya membawa anyaman bambu ke pasar. Namun juga dagangan lain, karena baginya, yang penting dapat menghasilkan uang.
Tasmi bercerita kesehariannya. Setelah subuh, dia akan berangkat ke pasar naik angkutan umum bersama pedagang-pedagang lain dan baru pulang pada siangnya. Dia mengakui dulunya pernah membuat anyaman bambu namun tidak dilanjutnya dan akhirnya hanya berdagang saja, yakni mengambil anyaman bambu dari para tetangganya lalu dijual.
Aku pun penasaran, bagaimana proses menganyam bambu dan menjadi berbagai alat kebutuhan dapur rumah tangga? Aku mengunjungi beberapa pengrajin bambu yang masih aktif. Tidak jauh dari rumah Tasmi, ada perempuan bersama laki-laki di depan rumah sibuk dengan anyaman bambu di tangannya. Aku berhenti dan menghampiri. Perempuan ini bernama Sudarmi (60) yang sedang membuat anyaman bambu jenis rinjing. “Membuatnya rumit, pekerjaan orang zaman dulu,” tutur suami Sudarmi ramah menyambutku.
Dia mengaku menganyam untuk mengisi waktu senggang ketika tidak sedang bekerja di sawah. Sudarmi belajar menganyam dari ibunya, dulu ketika masih muda. Satu bambu bisa menjadi 10 biji rinjing kecil. Satu biji rinjing kecil dijual dengan harga Rp 7-8 ribu kepada tengkulak.
Dijelaskan Sudarmi, proses membuatnya, pertama bambu dirajang atau diliningi (dipotong rapi sesuai ukuran), diirati (liningan yang sudah dibelah tipis-tipis), diongoti (dihaluskan), dinam (dianyam) kemudian terakhir dijejet (diikat).
“Anyamnya langkah dua. Ini pakai druna (letaknya di tengah-tengah pola anyaman), kalau tidak ada, tidak bisa dipojoki (dibentuk sudut),” jelas Sudarmi sambil menunjukkan caranya. Dia menambahkan bambu yang digunakan adalah bambu jenis apus.
Lain halnya dengan Marmi, warga RT 03 RW 02 Desa Beged. Marmi mengaku menganyam karena kesukaan. Ia berkata, menganyam dilakukan untuk mengisi waktu luangnya daripada tidur. Selama 24 tahun sudah Marmi menganyam bambu jenis tampah. Satu tampah dijual dengan harga Rp 15 Ribu. Ibu satu orang anak ini, bisa memproduksi 5 tampah dengan waktu tiga hari. Karena kesukaan, dia menganyam sesuai keinginan, tidak ada aturan waktu kaku. “Pembuatannya butuh kesabaran,” tutur Marmi.
Dijelaskan, langkah pertama yang dilakukan membuat tampah adalah sebelum bambu menjadi tampah yakni bambu diliningi (dipotong rapi sesuai ukuran), kemudian diirati ( liningan yang sudah dibelah tipis-tipis), diongoti (dihaluskan), dinam (dianyam), dititiki (dirapatkan anyamannya supaya tidak bocor ketika digunakan menampi atau tapen), baru terakhir dicetak (dibentuk lingkaran). Jika menginginkan hasil lebih halus, maka tampah diwedaki (ditaburi) menggunakan tepung tapioka dan kunyit.
Perempuan 44 tahun ini membuat tampah menggunakan cara-cara manual. Sehingga ditakutkan oleh Marmi, tangan yang akan kebeler (tersayat) bambu.
Marmi kemudian menjual tampah ke tangkulak, atau kadang dititipkan ke pedagang bawang merah keliling. Selain itu Marmi juga membuat anyaman bambu lain yang disebutnya dengan tedok. Tedok sama dengan tampah, yang membedakan adalah ukurannya. Tedok lebih kecil namun fungsinya masih sama.
Pengrajin lain yang kutemui adalah Sukini. Perempuan usia 30 tahun ini juga membuat anyaman bambu jenis tampah. Rumahnya berada di RT 05 RW 03. Ketika aku temui pada Kamis (7/11/2024) ia tidak sedang menganyam bambu. Sukini mengaku membuat tampah tidak rutin, membuat ketika sedang sepi pekerjaan. Biasanya pada musim kemarau.
Dia mengaku sudah menganyam selama 25 tahun. Dijelaskna Sukini, bahwa membuat tampah membutuhkan dua orang, perempuan dan laki-laki. Perempuan bagian yang menganyam sedangkan laki-laki bagian yang membuat wengku (pinggiran tampah yang berbentuk lingkaran). Dia belajar menganyam dengan cara melihat orang yang membuat anyaman.
“Zaman sekarang anak-anak sudah sekolah tinggi semua dan akan bekerja di luar (kota). Orang tua-tua sudah malas buat. Dulu ketika anaknya kecil masih buat, sekarang anaknya sudah besar lulus sekolah, gantian anaknya yang mencari uang,” pengakuan Sukini.
Dulu Sukini setiap hari rutin bisa membuat tampah. Seminggu sekali atau lima hari sekali akan mencetak tampah. Dia bercerita, ketika tahu beras dan bahan pangan sudah habis maka akan cepat-cepat mencetak tampah agar dapat uang belanja.
“Tinggal lihat kebutuhan, ketika sudah habis bahan pangan, cepat-cepat mencetak untuk belanja,” jelasnya.
Bambu yang digunakan Sukini merupakan bambu milik sendiri. Dulu ketika masih sering membuat anyaman, bambu miliknya sendiri kurang sehingga dia membeli bambu. Sedangkan sekarang, bambu jarang dibuat anyaman, sehingga masih cukup banyak.
“Dulu semua warga se Desa Beged membuat anyaman. Ketika orangtua membuat, anaknya juga ikut buat,” ungkap Sukini.
Dulu, orang tua dan kakak perempuan sukini juga merupakan pedagang tampah. Sekarang yang masih jualan tampah tinggal kakak perempuannya.
Sukini mengisahkan di lingkungan sekitar rumahnya dulu masih banyak yang membuat anyaman. Bahkan mertua Sukini, juga merupakan pembuat anyaman bambu. Dia menjual tampahnya sendiri ke Pasar Kalitidu. satu tampah dijual dengan harga Rp 15 ribu.
“Kalau ada yang pesan tampah, saya beri harga Rp 30 ribu. Tapi itu sudah pilihan. Pilihan yang lebih halus, bagus kualitasnya,” terangnya .
Sukini bisa menghasilkan 10-15 tampah dari satu bambu. Jika dulu dia bisa membuat tampah dengan waktu seminggu sekarang bisa sampai berbulan-bulan.
Menurut ceritanya, dulu membuat tampah seperti orang lomba, adu cepat. Sedangkan sekarang diakui Sukini tidak ada teman dan lakunya juga tidak seperti dahulu. Dahulu banyak orang yang membutuhkan tampah untuk menampi (napeni) beras, sekarang orang masak tidak perlu menampi beras.
Dia berkata, menganyam sudah tidak se-semangat dulu, karena pekerjaan lain yang lebih cepat menghasilkan uang sudah banyak. “Dulu ketika membuat tampah, setelah habis masak sampai sore. Duduk terus. Prosesnya lama, jika sudah duduk ya sudah. Mungkin berdirinya ketika butuh sesuatu saja,” pungkas Sukini.[nf]