Kami mengobrol di kafe di kompleks Bakorwil Bojonegoro. Dua gelas es kopi susu menemani obrolan kami. Aku dan Herry Abdi Gusti, seorang penulis sastra jawa cum perupa. Tempat kami ngobrol boleh saja modern, tapi apa yang kami obrolkan lebih banyak tentang masa lalu, ketika ia mulai berproses menulis hingga menghasilkan beberapa karya buku, lalu melangkah ke dunia rupa, melukis dan menggambar sampul buku.
Herry Abdi Gusti aktif di sosial media. Namun ia tak sekedar numpang eksis saja, melainkan unjuk karya yang mengundang banyak komentar positif. Akhir-akhir ini ia sedang menulis tentang situs Sumur Nganten yang ada di Desa Straturejo, Kecamatan Baureno.
“Bahuwarno, 1222 M. Keadaan kerajaan Kadiri porak-poranda, untuk sementara waktu pemerintahan kosong setelah sang prabu Kertajaya mangkat di tangan sang akuwu Tumapel, Ken Arok. Tindakan pengambilalihan kekuasaan ini didukung oleh golongan brahmana yang merasa terusik oleh perilaku sang prabu dalam menjalankan kekuasaannya.” Begitu ia memulai kisahnya tentang Sumur Nganten dan Misteri Rondokuning yang diunggah di Faceboook pada Jumat (18/9/2020).
Kisah itu tentu akan sangat panjang di tangan Herry Abdi Gusti lantaran kepiawaiannya merangkai kata, mengulik makna dan menelisik masa lalu. Dan tulisan ini hendak mengungkap proses kreatifnya dan mengenal lebih dekat sosok Herry Abdi Gusti yang kini beraktivitas sebagai PNS di Sekretariat Satpol PP Pemkab Bojonegoro. Sekilas, pekerjaannya tak berhubungan langsung dengan dunia sastra, namun kreativitas memang tak pernah ada batas.
“Saya sedang menyiapkan novel bahasa jawa. Semacam novel sejarah masa runtuhnya Majapahit dan berdirinya Demak. Ide cerita sudah ada,” tuturnya.
Keterampilannya menulis bukan datang tiba-tiba. Penulis kelahiran 14 Agustus 1968 tersebut sudah mengenal dunia sastra, terutama sastra jawa sejak kecil. Bapaknya sebagai carik atau sekretaris desa Straturejo dan berlangganan Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Jadi, tiap hari ia dicekoki bahan bacaan bahasa jawa.
Hingga akhirnya semasa belajar di bangku SMAN 1 Sumberrejo, sekitar tahun 1985 ia memberanikan diri mengirim tulisan ke Panjebar Semangat berupa cerita cekak (cerkak) dan dimuat. “Kemudian geguritan juga dimuat di Jaya Baya,” terangnya.
Lulus SMA, ia melanjutkan studi Fakultas Hukum di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Masa-masa kuliah ia masih melanjutkan kegemarannya membaca sastra jawa. Ia pernah menghadiri pertemuan sastrawan Jawa dan menulis antologi geguritan yang diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) dengan judul Tes.
Hingga akhirnya ia lulus dan menyandang titel sarjana tahun 1992. Lalu ia menjadi Carik tahun 1995. Sewaktu menjadi carik hingga 2010 kreativitasnya seperti mati suri. Praktis selama 25 tahun ia tak menulis. Hingga akhirnya tahun 2010, ia bertemu dengan penulis Arieyoko dan diajak terlibat dalam berbagai event kesenian, yakni KSMB (Komunitas Seniman Muda Bojonegoro). “Dari situ lalu saya mulai produktif menulis lagi. Banyak sastrawan dan seniman yang hadir dalam kehidupan saya. Lalu terbitkan Serat Daun Djati (antologi puisi),” terangnya.
Kreativitasnya makin terasah ketika bergabung ke Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB). Di komunitas ini ada nama-nama sastrawan jawa terkenal seperti JFX Hoery, Djajus Pete, Nono Warnono dan lainnya. “Waktu itu saya diajak Pak Nono ke Padangan tempat PSJB,” terangnya.
Dari situlah ia kemudian makin meunjukkan eksistensinya di dunia sastra jawa. Antologi cerkak dan geguritan satu persatu diterbitkan oleh PSJB. Salah satunya adalah Pasewakan, kumpulan geguritan karya sastrawan Jawa se-Indonesia. Lalu buku Candramawa (2012) kumpulan geguritan dan buku-buku lainnya.
“Di PSJB kalau mau nerbitkan buku semua akan diajak. PSJB itu memacu untuk terus kreatif, akses ke komunitas lain dan penghargaan-penghargaan lebih terorganisir,” terangnya.
Proses Kreatif
Tak banyak yang tahu nama Herry Abdi Gusti adalah nama pena atau nama untuk penulisan sastra. Aslinya ia bernama Haryanto Abdoellah. Abdoellah adalah bahasa Arab yang jika dijawakan berarti abdi Gusti atau hamba Allah. Nama Herry Abdi Gusti mulai disandangnya saat menulis lagi sastra jawa sejak 2010.
Karya-karya Herry dikenal dengan gaya humanisme simbolis. Yakni karya-karya yang mengedepankan kemanusiaan, potret perilaku manusia, atau menjadikan manusia sebagai pusat. Akan tetapi semua disajikan dalam bentuk simbol, dan bukan vulgar.
“Misal saya menulis cerita seseorang waktu menggali sumur ternyata menemukan minyak. Tapi ia memilih tidak bilang siapa-siapa. Ia berpikir, lalu sumur tersebut ditutup lagi. Ia prihatin, di desa tetangga, yang punya sumur serupa malah akhirnya enggak punya,” katanya.
Herry mengaku terbiasa mencari ide dengan membaca dan mengamati apa yang terjadi di sekitarnya. Ketika di daerah tempat tinggalnya ada kasus korupsi, ia menulis cerkak berjudul ‘Putih Malih Ireng’ atau Putih Berubah Hitam.
Apa yang diamati kemudian diendapkan dan dijadikan karya. Ia biasa menggunakan laptop untuk menggantikan mesin ketik yang dulu biasa ia pakai. Biasanya karyanya kemudian diendapkan untuk diedit beberapa kali pada hari kemudian. “Kadang waktu menyetir itu muncul ide-ide untuk karya. Makanya saya selalu siap pulpen dan buku. Karena kalau geguritan itu, memilih diksi, jadi ide itu seketika harus diikat. Kalau tidak, ya seringnya lupa,” terangnya.
Kini, ia tak cuma menulis sastra jawa saja, melainkan juga melukis. Beberapa kali ia mengikuti pameran lukisan. Ia juga tergabung dalam komunitas Sang Rupa dan berkumpul bersama perupa-perupa di Bojonegoro. “Saya juga kini beberapa kali membikin karya untuk sampul buku,” terangnya.
Sebagai PNS, Herry tiap hari ngantor di secretariat Satpol PP. Namun, pikiran dan kreativitasnya di dunia sastra terus diasahnya. Kini ia menyiapkan novel bahasa jawa. “Idenya sudah. Mengambil masa runtuhnya Majapahit mulainya Demak. Ada banyak orang yang kangen masa lalu. Lalu saya coba balik ke belakang dengan perspektif baru,” katanya.
Penulis: Nanang Fahudin