“Saya menulis sejak tahun 1962. Ketika itu kelas 1 SMP. Di Majalah Taman Putra. Saya tulis tangan lalu kirim lewat pos”
***
Kami disambut hangat di ruang tamu pertengahan Juni 2024 lalu. Dinding rumah hampir tertutup oleh pigura yang dipajang. Pigura-pigura itu berisi piagam pernghargaan dari berbagai pihak. Semua penghargaan itu menjadi bukti kiprahnya di dunia sastra jawa. Mulai penghargaan Rancage, Sutasoma, dan lainnya.
Ya, itulah rumah JFX Hoery di Padangan, Bojonegoro. Tak sulit menemukan rumah sang sastrawan. Karena nama JFX Hoery sudah begitu terkenal. Apalagi, baru-baru ini ia dianugerahi penghargaan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti) atas dedikasinya yang tinggi lebih dari 50 tahun berkarya dalam bidang kesusastraan.
Mbah Hoery, begitu ia biasa disapa, tinggal di rumah bersama istri. Tiga anaknya telah ‘mentas’ dan tinggal terpisah. Dua di antaranya tinggal di luar Bojonegoro. Rumah dua lantai tersebut begitu tenang, perabot dari kayu jati memenuhi ruang. Sedang di lantai 2, hampir penuh dengan rak buku koleksinya. “Ada ribuan buku. Juga majalah-majalah,” tuturnya sambil menunjukkan koleksinya.
Kami berkunjung ke rumah Mbah Hoery dalam rangka pengambilan gambar dan wawancara podcast YouTube dariNOL (Menjadi Lebih Baik). Hampir dua jam lebih kami berbincang santai, tentang perjalanan hidupnya, pengalamannya di dunia kerja bidang pengeboran minyak, pengalamannya menjadi wakil rakyat periode 1999-2004, dan tentu saja tentang dunia kepengarangannya. Obrolan begitu gayeng ditemani godoh atau ketela goreng, serta kopi hitam. Benar-benar berkesan.
***
Penghargaan dari Kemenristekdikti, hanyalah satu dari sekian banyak penghargaan yang diterima JFX Hoery. Jika dihitung dari awal berkarya tahun 1962, artinya saat ini sudah 62 tahun berkarya. Waktu yang tak sebentar.
Mbah Hoery menuturkan, karya pertamanya dimuat di majalah Taman Putra berjudul Gawe Geger tahun 1962. Waktu itu, ia masih kelas 1 SMP di Pacitan.
Mbah Hoery memang lahir di Pacitan, tepatnya 7 Agustus 1945. Ketika menginjak SMA, ia pindah ke Padangan dan sekolah di STM Cepu jurusan mesin.
Majalah Taman Putra begitu penting artinya bagi Mbah Hoery. Tulisannya yang dimuat tahun 1962 disimpannya dengan rapi. Berkat kerapian mengarsip karya-karyanya itulah Kemenristekdikti tahu akan perjalanan kepengarangannya. “Sejak tahun 1960 saya rawat, tahun 2024 membawa berkah. Trima kasih Gusti,” tulisnya di laman Facebooknya 15 Juni 2024.
Taman Putra merupakan bagian dari majalah Panjebar Semangat. Taman Putra dikhususkan bagi kalangan siswa. Para penulis dan pembacanya adalah siswa sekolah. Majalah ini cukup berhasil mengundang minat siswa untuk menulis sastra jawa. Bahkan, dulu ada Paguyuban Warga Taman Putra. Di salah satu edisinya tahun 1961, tertera tarif langganan sesasi (sebulan) Rp 1,50. Sedang langganan telung sasi (3 bulan) Rp 4,50. “Majalah ini tutup saat Gestapu 1965, karena kesulitan kertas,” tutur Mbah Hoery.
Mengenakan kaos hitam dan udeng, Mbah Hoery menceritakan perjalanan kepengarangannya. Waktu masih di Pacitan, cerita berlanjut, dulu, majalah-majalah ditempel di tempat publik seperti stasiun, pasar, dan lain. Selain membaca majalah di tempat publik, Hoery kecil juga meminjam buku dari Pendidikan Masyarakat atau Penmas (beda dengan Penerangan Masyarakat). Satu minggu dikembalikan.
Dari situlah keinginan menulis muncul. Dan orang yang dianggap paling berjasa adalah Pak Ismail, guru Bahasa jawa di SMP. “Saya masih ingat, saat masuk kelas, Pak Ismail tidak langsung mengajar. Tapi mendongeng dulu. Akhirnya anak-anak menjadi lebih suka cerita,” kenangnya.
Tahun 1964, Hoery pindah ke Bojonegoro karena masuk sekolah STM di Cepu. Masa-masa tahun 1964 hingga 1969 adalah masa produktif menulis, meski kebanyakan di majalah anak-anak. Baru tahun 1969, karangannya mulai muncul di Panjebar Semangat.
Selepas lulus SMA, ia mulai bekerja di pengeboran minyak dan panas bumi. Pertama bekerja di pengeboran di Mojokerto, pindah ke pengeboran migas di Indramayu (1975). Kemudian pindah ke Banten, Ngimbang (Lamongan), Tuban. Ia juga pernah bekerja di pengeboran panas bumi di Kamojang Garut dan Wonosobo. Saat bekerja di pengeboran, ia masih terus produktif menulis. Meski saat itu menulis baginya hanyalah pekerjaan sampingan, tapi ia merasakan kebahagiaan saat menulis.
Ketika menikah dan kemudian dikaruniai anak yang lahir tahun 1983, Mbah Hoery memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan di pengeboran. Akan tetapi menulis tetap dilanjutkan. Bahkan, ia juga terjun ke dunia jurnalistik. “Tahun 1980 di Kedaulatan Rakjat, membantu Majalah Jaya Baya, Panjebar Semangat, Mekarsari. Tahun 1990-1992 di Bernas Jogja, tahun 1992 sampai sekarang penulis lepas, masih nulis untuk media minggua Diva Cepu,” terangnya.
Menekuni sastra jawa terus dilakukannya. Hingga akhirnya, tahun 2004 ia mendapat penghargaan Rancage dari karya buku puisi jawa berjudul Pagelaran. Setelah itu, penghargaan demi penghargaan terus diterimanya sebagai pengakuan atas konsistensinya berkarya.
Bahkan, cintanya pada seni budaya jawa juga ditunjukkannya dengan aneka buku sastra hingga koleksi wayang thengul. Karya budaya lokal, baginya adalah kekayaan daerah yang perlu terus dilestarikan. Banyak mahasiswa yang kemudian datang ke kediaman Mbah Hoery untuk mencari literatur atau sekedar berdiskusi tentang karya seni budaya Bojonegoro. Diantara koleksinya adalah wayang thengul dan wayang krucil.
***
Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB) lahir tahun 1982. PSJB lahir dengan tujuan melestarikan sastra jawa. Mbah Hoery tercatat sebagai ketua sekaligus salah satu pendiri PSJB. Baru pada Minggu 21 Juli 2024, pucuk pimpinan PSJB disepakati diserahkan ke Nono Warnono, penulis sastra jawa yang tinggal di Kecamatan Baureno.
Menurut Mbah Hoery, hubungan antar penulis sastra jawa sangat baik. Sebelum PSJB lahir, sudah ada pertemuan rutin tahunan untuk para penulis sastra jawa. Pertemuan biasanya di Jogja, Solo, dan Semarang. Dari situlah kemudian tumbuh organisasi-organisasi sastra jawa di daerah. “PSJB di Bojonegoro, Triwida di Tulungagung, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya. “Di Jogja ada Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta,” tuturnya.
Pendirian PSJB diawali dengan diskusi-diskusi yang dilakukan di Bojonegoro. Mbah Hoery berkisah, waktu itu selain dirinya juga ada Djajus Pete, Pak Maklum, Pak Hadi, dan Yes Ismi, yang sepakat membentuk organisasi agar bisa sering berkumpul. “Puji Tuhan ternyata sampai sekarang masih eksis,” terangnya.
Setiap tahun, PSJB minimal menerbikan 1 buku. Dan sampai sekarang sudah ada 60 judul buku yang diterbitkan PSJB. Ada geguritan, cerkak, novel yang diterbitkan. “Kita biayai sendiri. Kebetulan kita dapat penghargaan dari Balai Bahasa, dan itu kita bikin modal,” tuturnya.
Hingga kini, tercatat sudah dua kali PSJB mendapat penghargaan dari Balai Bahasa. Yakni sebagai komunitas penggerak sastra jawa yang masih eksis. Buku-buku terbitan PSJB semua tersimpan rapi di rak buku di rumah Mbah Hoery. [nf]