Minggu 15 September 2024. Halaman Kedai Kendalisada di area Lembaga Cabang Pendidikan Kepramukaan (Lemcadika) Kalianyar Bojonegoro dipadati pengunjung sejak pukul 19.30 WIB. Beberapa penonton mengambil tempat di atas tikar yang menghadap panggung sandur atau sandiworo tekan dur (sandiwara yang dimulai setelah Magrib sampai pagi). Di samping panggung ada banner besar bertuliskan Kemah Sandur.
Panggung yang dimaksud tak lain tikar ukuran 4 meter yang dibatasi janur kuning melingkar. Panggung inilah yang disebut Blabar Janur Kuning. Blabar memiliki makna sumrambah atau menyebar ke mana-mana. Maknyanya sandur memiliki pengaruh untuk semua orang. Janur adalah sejatine nur atau cahaya, melambangkan kasih sayang Tuhan. Sedangkan kuning memiliki arti kematian akan kembali dan datang.
Di setiap pojok panggung ada beberapa ublik yang menyala. Ublik ini disebut Prutu Sewu. Prutu dalam bahasa jawa memiliki arti penerangan. Karena jumlahnya banyak, maka dinamakan Prutu Sewu atau seribu penerangan.
Sebelum sandur dimulai, Panjak Hore terlebih dahulu memasuki panggung. Mereka bertugas menyanyikan tembang saat sandur dipentaskan. Sebanyak 12 remaja berkostum serba hitam, mengenakan jarik dan udeng duduk bersila menghadap penonton.
Pukul 20.15 WIB, acara akhirnya dibuka oleh pemandu acara, Mukarom. Ia merupakan salah satu pegiat seni di Bojonegoro. Setelah menyapa penonton dari kalangan anak-anak, remaja hingga orang tua, ia mempersilakan perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk memberikan sambutan.
“Kami sangat bangga dan mengapresiasi para remaja yang ikut dalam Kemah Sandur ini,” ucap Damiyati, dari Disbudpar Bojonegoro.
Perempuan berkacamata itu berharap Kemah Sandur ke depannya akan diadakan terus setiap tahun. Hal ini selaras dengan harapan Okky selaku ketua pelaksana, “Semoga Kemah Sandur terus ada tiap tahunnya dan sandur lebih dikenal oleh generasi sekarag,” katanya.
Pentas sandur dimulai dengan tembang doa oleh Panjak Hore. Setelah itu, pemain sandur perempuan yang disebut Germo datang membawa selembar kertas dan obor. Di belakangnya, empat aktor sandur berbanjar ditutup selembar kain berwarna emas.
Germo bertugas membacakan alur cerita kepada penonton. Setiap perkataan germo selalu dijawab nggeh atau iya oleh Panjak Hore. Terkadang Panjak Hore juga menyahut dengan pertanyaan sepertinopo (apa), tapi jarang dilakukan.
Ada yang menarik perhatian di samping timur panggung. Perempuan berdiri dan menggerakkan tangannya untuk berkomunikasi lewat bahasa isyarat kepada teman tuli atau penonton yang tidak bisa mendengar. Sesuatu yang baru dalam pertunjukan sandur.
Di panggung, ada pembagian kursi untuk pemain sandur.
Petak dengan kostum jarik, penutup dada warna hijau dan penutup kepala irah wayang duduk di sebelah lor kulon (utara-barat).
Balong yang juga berjarik, mengenakan tutup dada warna merah dan penutup kepala yang senada duduk di sebelah kidul kulon (selatan-barat).
Tansil dengan baju dan celana serba merah dan topi ala prajurit Belanda duduk di sebelah kidul wetan (selatan-timur).
Cawik sebagai satu-satunya aktor perempuan yang mengenakan kemben warna hijau dan mahkota warna emas duduk di sebelah lor wetan (utara-timur).
Pembagian peran tersebut merupakan visualisasi dari papat kiblat limo pancer. Artinya, empat arah tujuan hidup manusia yang meliputi arah timur, barat, selatan, dan utara. Sedangkan pancernya adalah manusia itu sendiri. Pemain sandur yang lima ini juga seperti Pancasila dalam negara, Rukun Islam di Islam, Satya Dharma di Budha, dan Pawesa Dharma di Hindu.
Drama cerita keseharian pun disuguhkan dalam pentas sandur oleh Kelompok Casugroho. Dalam cerita ini, Petak dan Balong sama-sama dibantu Wak Tansil dalam masalah ekonomi untuk kuliah dan membuat usaha. Selain masalah pendidikan dan ekonomi, ada masalah percintaan juga. Petak dan Balong yang sama-sama menyukai Cawik.
Awalnya, saya mengira tidak ada interaksi antara para aktor dengan panjak hore maupun penabuh kendang dan gong kemodong yang duduk di sebelah barat panggung. Ternyata, banyak adegan yang melibatkan percakapan antara mereka.
“Yu, Kang,” sapa Balong.
“Piye?” sahut panjak hore dan pemain musik.
“Opo Cawik tak jak kencan nok Waduk Pancal?” tanya Balong.
“Pacalll!” seru panjak hore kompak membenarkan.
Mukarom dan Eka selalu menabuh kendang dan gong kemodong sebagai intrumen di tiap akhir percakapan, mirip seperti pertunjukan ketoprak.
Saya dan penonton dibuat tertawa terus menyaksikan pentas mereka. Nisa, salah satu pelajar SMA yang datang bersama dua temannya mengaku menikmati pentas sandur tersebut. Selain penikmat sandur, ia juga sedang mendalami sandur di Sanggar Sedhet Srepet yang diketuai oleh Okky.
Pentas sandur selanjutnya oleh Kelompok Kembang Kutho. Kelompok ini bagian dari 22 peserta Kemah Sandur. Dari 22 peserta, dibagi menjadi dua kelompok untuk pentas. 2 sebagai germo, 8 sebagai aktor dan sisanya menjadi Panjak Hore. Cerita yang disuguhkan kelompok kedua juga mengusung tema yang sama, tentang pendidikan, ekonomi dan romansa.
“Karena cerita ini relate dengan kehidupan sekarang,” ungkap Karna yang berperan sebagai Petak.
Persiapan Pentas Sandur di Kemah Sandur
Sehari sebelum pentas, Sabtu 14 September 2024 pukul 16.30 WIB, para peserta Kemah Sandur melakukan casting atau pemilihan peran untuk pentas sandur.
Kemah Sandur sendiri dimulai pada Sabtu pagi. Kegiatan ini merupakan program dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bojonegoro, dan juga ExxonMobil Oil Indonesia yang turut mensupport fasilitas dalam kemah tersebut.
Kemah Sandur ini ditangani oleh Sanggar Sedhet Srepet sebanyak 15 orang yang rata-rata masih mahasiswa. Mereka berharap ada regenerasi yang akan meneruskan budaya sandur. Kemah ini pun tidak sebatas pelatihan sandur belaka, tapi ada tindak lanjut usai kemah berakhir. Mereka memfasilitasi peserta untuk gabung di Sanggar Sedhet Srepet bagi yang ingin terus mendalami sandur.
Zaman yang terus berubah membuat Okky, ketua Sanggar Sedhet Srepet tertantang untuk mengenalkan sandur dengan cara modern. Bahkan untuk pertama kalinya sandur dikenalkan menggunakan layar monitor seperti di sekolah. Pelatihan ini dirancang dengan metode pembelajaran yang berbeda setiap materinya.
Usai registrasi, peserta diberi materi sejarah sandur. Dilanjut belajar menyanyikan tembang bersama-sama dan cara-cara menjadi aktor dengan banyak mimic wajah, ekspresi dan lain-lain.
Saat casting, Okky menjelaskan peran dari Petak, Balong, Tansil dan Cawik. Panitia lainnya yakni Luthfi, Diki dan Bagus langsung memberikan contoh peran beserta nada bicara dari masing-masing tokoh. Petak, Balong dan Cawik memiliki aksen nada memanjang di akhir bicaranya.
“Kowe arep naaaang ndi?”
Sedangkan Tansil tidak memiliki pakem nada dalam bicara. Ia berbicara layaknya orang berkomunikasi pada umumnya.
Guna menghilangkan jenuh, mereka bermain bola usai belajar casting sebelum masuk pada pembuatan dan penulisan naskah cerita.
“Aku pikir materinya akan spaneng, tapi ternyata seru banget,” ungkap Karna, salah satu peserta.
Meski terbilang persiapan pentas sangat singkat, para peserta tetap semangat dan merasa senang bisa belajar tentang sandur. Salsa Nisaul yang berperan sebagai germo di Kelompok Casugroho mengaku baru belajar tembang saat Kemah Sandur.
“Insyaallah langsung bisa (nembang), hehe,” ucapnya sebelum pentas.
Berbeda dengan Lucky yang menjadi cawik di Kelompok Kembang Kutho, ia mengaku sudah 3,5 tahun mempelajari sandur. Meski begitu, ia tetap grogi saat akan pentas.
“Lucky yang sudah lama saja grogi, apalagi yang belum pernah seperti aku,” kata Arfian yang berperan sebagai Balong dari Kelompok Kembang Kutho.
Namun, Arfian merasa senang dapat mempelajari sandur dari sejarah, cara nembang, cara menjadi aktor dan pemilihan peran hingga membuat naskah sendiri sampai bisa pentas. Bahkan ia merasa bertanggungjawab mengenalkan sandur pada teman-teman sekolahnya di SMAN 1 Sumberrejo.
“Kemarin ada yang tanya sandur itu apa? Akhirnya saya jelaskan sandur itu gini-gini,” ujarnya.
***
Minggu sore sebelum pentas, peserta kemah sudah sibuk merias diri yang dimilai pukul 17.00 WIB. Karena sudah kebiasaan sehari-hari, merias wajah bagi peserta perempuan cukup mudah. Sedangkan yang laki-laki dibantu teman perempuan dan panitia. Aula Lemcadika menjadi riuh. Kostum yang digunakan pun aset pribadi Sanggar Sedhet Srepet, tidak perlu menyewa.
“Ini termasuk cepat make up-nya, biasanya 4 anak saja membutuhkan waktu berjam-jam,” ujar Munir, salah satu panitia yang merias.
Ada ritual doa yang harus dijalankan sebelum pentas sandur dimulai. Usai make up, semua peserta dan panitia berkumpul di pendopo untuk melakukan tumpengan. Sebelum tumpeng dipotong, ada sedikit pembuka dari Damiyati selaku perwakilan dari Dinas Kedudayaan dan Pariwisata Bojonegoro.
Doa dipimpin oleh Ahmad Bayhaqi, salah satu panitia yang tinggal di pondok pesantren. Terakhir pemotongan tumpeng oleh Okky untuk Damiyati. Ditutup dengan makan bersama sebelum pentas.
“Selain wajib melakukan doa, sebelum pentas para pemain juga harus bersih. Bagi perempuan yang menstruasi tidak boleh ikut pentas,” papar Mukarom.
Selain itu, pantangan lainnya adalah sandur tidak boleh dilakukan pada hari Jumat Legi karena merupakan geblak Mbah Pahing dan para leluhur dari Sanggar Sekar Sari, sanggar sandur yang dijadikan pusat oleh para pelaku sandur saat ini.
Sejarah Singkat Sandur
Menurut Mukarom, salah satu seniman sandur Bojonegoro, tidak ada literatur yang menjelaskan dengan pasti kapan sandur berdiri. Namun, sandur berkembang dan berjalan secara masif sudah sejak masa kolonialisme Belanda.
Nama sandur sendiri belum pasti berasal dari mana. Sedangkan secara pertunjukan, Sandur Bojonegoro telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 2018.
“Dulu hampir di setiap kecamatan di Bojonegoro ada sandur, seperti di Dander, Karangsono, Karangtinoto, Jono, Temayang, dan lainnya,” ujarnya.
Peristiwa pembantaian yang terjadi pada tahun 1965-1966 terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pendukung komunisme (PKI) menyeret-nyeret sandur. Hal itu kemudian menjadi sebab hilangnya sandur untuk beberapa waktu. Sandur yang merupakan seni pertunjukan rakyat ikut dinyatakan dilarang ketika Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dibubarkan oleh pemerintah orde baru.
Sandur kembali muncul pada tahun 1984 dengan mengalami islamisasi. Islamisasi ini juga dialami oleh Sanggar Sekar Sari, pusat sandur yang terletak di Ledok Bojonegoro. Sekar memiliki arti kembang atau bunga. Sedang Sari bermakna murni. Sebenarnya sanggar tersebut didirikan oleh leluhur Mbah Pahing, tapi tidak ada yang mengetahui nama pasti sebab tidak ada catatan yang diwariskan. Karena itu, Mbah Pahing lah yang terkenal menjadi pendiri Sanggar Sekar Sari.
Dari Mbah Pahing, ia mewariskan Sanggar Sekar Sari kepada Mbah Kadi. Dari Mbah Kadi diwariskan kepada Pak Masnun, Pak Agus Sigro, Pak Impong, Pak Jagad Pramudjito, dan lain-lain. Generasi selanjutnya yakni generasi sekarang, sanggar diurus oleh Takim, Tulus, Surono, Mukarom, Okky dan lain-lain.
Sebab islamisasi sandur, beberapa ritual sandur tidak dijalankan saat ini. Hanya sebatas diajarkan sebagai pengetahuan, tidak untuk dipraktikkan. Hal ini mencegah hilangnya budaya sandur seperti yang terjadi dengan salah satu sanggar di Dander.
“Sanggar itu bubar karena dikafirkan,” terang Mukarom bercerita tentang sanggar yang anggotanya semua perempuan.
Konsep dasar terciptanya sandur adalah untuk bermain. Sedangkan dalam konsep pertunjukan, sandur sebagai ritual. Dalam konsep pertunjukan yang masif, sandur berfungsi sebagai hiburan.
Dulu, lanjut Mukarom, sandur dipentaskan ketika musim panen tiba dengan tema cerita kehidupan para petani. Sandur merupakan pentas seni yang paling bersih. Ketika sandur dipentaskan, tidak ada budaya mabuk, berkelahi dan sebagainya meskipun pada saat itu judi dan mabuk adalah rutinitas keseharian.
“Dulu sandur dipercaya sebagai ritual penyembuhan. Makanya sandur selalu ramai,” kata Mukarom.
Ia menyaksikan sendiri bagaimana jaranan ndadi dan menjilati area yang sakit dari beberapa orang yang datang. Karena itu, jaranan yang ndadi sangat banyak. Salah satu pasien yang lumpuh selama 13 tahun bisa sembuh dan berjalan normal akibat kakinya dijilat jaranan saat sandur setelah tembang “Suwuk sembur” dinyanyikan.
Saat ini tembang yang dinyanyikan sudah menggunakan bismillah di awalnya. Ada beberapa tembang yang tidak lagi digunakan seperti Gula Batu, Dadi-dadi, Sesaji Putra, Sesaji Putri, Kakang Kawah Ari-ari dan lain sebagainya.
Tembang yang tidak tercatat pada literasi jawa tidak diketahui nama penulisnya. Ketika Mbah Kadi ditanya terkait penulis tembang, ia hanya menjawab tidak tahu, sudah dari sananya seperti itu.
Ndadi saat ini pun tidak diajarkan dalam sandur, hanya dijelaskan sebagai pengetahuan. Begitu halnya dengan ngerumat demit(memelihara bangsa halus) dan ngerumat sesajen (memelihara sesaji). Ritual memandikan para pemain sebelum pentas pun tidak dijalankan lagi, yang penting bersih dari hajat besar.
Dari pengalam pribadi, dua hari sebelum pentas sandur, Mukarom harus melakukan beberapa ritual seperti tirakat, ngetrekno jaranan, ngetrekno tali dadung yang dibuat kalongking (berjalan di seutas tali), dan membakar menyan di bambu. Ritual ini dilakukan di punden yang akan dijadikan tempat pentas. Semisal akan pentas di Ledok, maka ritualnya dilakukan di Balong.
Untuk sekarang, cukup melakukan doa saja sebelum pentas sandur. Sandur terus hidup. Terus menghibur. [nf]