Penulis: Kajar Djati
Kuda Anjampiani, anak Adipati Tuban Ranggalawe yang juga seorang Senopati Majapahit tak banyak disinggung oleh sejarah. Anjampiani masih kecil ketika Ranggalawe harus berperang dengan prajurit Majapahit. Peperangan yang dipicu oleh kekecewaan Ranggalawe atas diangkatnya Nambi sebagai Patih Majapahit.
Salah satu buku yang menceritakan Kuda Anjampiani ditulis oleh Bre Redana. Novel sejarah berjudul Kidang Anjampiani tersebut boleh dibilang sebagai biografi sang putra Ranggalawe. Tentang buku ini, sudah pernah saya ulas sebelumnya.
Nah, di kesempatan ini, saya hendak menyuguhkan sebuah potongan cerita yang menggambarkan bagaimana Ranggalawe menyayangi keluarganya, menyayangi sang buah hatinya, sebelum akhirnya mengangkat senjata berperang melawan Raden Wijaya yang sejak awal dibantunya mendirikan Majapahit.
Kisah ini saya ambil dari buku berjudul “Ranggalawe Cerita Kepahlawanan Sang Pemberontak” yang ditulis oleh Alexander Putra Fajar terbitan Perpusnas Press tahun 2020. Buku ini sebenarnya berkisah tentang Ranggalawe, namun menyinggung juga tentang Anjampiani.
Dikisahkan, ketika Ranggalawe hendak berangkat menghadap Raja Majapahit, ia berpamitan dengan dua istrinya, Martaraga dan Tirtawati. Setelah keluar dari pendopo, Adipati berhenti. Seorang inang pengasuh yang menggendong seorang anak laki-laki kecil segera maju menghadap sang Adipati Ranggalawe. Cepat-cepat Sang Adipati meraih anak itu, dipeluk dan diciuminya dengan penuh kasih mesra.
“Ngger Kuda Anjampiani, ayah akan ke Majapahit menghadap raja. Engkau minta apa,?”
Anjampiani kecil menjawab: “Belikan mainan kereta perang, yah. Aku ingin jadi senopati seperti ayah.”
Sang Adipati Ranggalawe terkejut. Dibelainya kepala Kuda Anjampiani, “Syukur ngger, engkau dapat mewarisi darah kakek dah ayahmu. Eyang buyut, eyang, ayahmu, semuanya prajurit. Dan kelak engkaupun harus jadi.”
Tapi, tiba-tiba Ranggalawe berdiam. Ia termenung. Terlintas dalam benaknya, dalam kehidupan yang dihayati ayah dan dirinya selama ini. Ia merasa ayahnya, Adipati Wiraraja, dan ia sendiri, tak pernah mengenyam ketenteraman hidup.
“Ah” tiba-tiba terdengarlah rasa kecewa dalam hatinya mengenang peristiwa yang dihadapi saat itu, “Akhirnya hanya beginilah nasib yang kuderita. Baginda yang telah kubela dengan segenap jiwa raga menganggap diriku sebagai seorang pemberontak.” keluh Ranggalawe dalam hatinya.
Pandang matanya menatap Kuda Anjampiani. Ia merasa bangga
karena puteranya mewarisi darah keprajuritan. Tetapi bila teringat akan nasib dirinya, serentak timbullah rasa kecemasan.
Ranggalawe, senopati yang gagah berani dan entah sudah berapa puluh kali selalu menghancurkan musuh di medan perang. Pada hari itu, telah menderita dua kali getaran jiwa. Pertama persembahan kata dari Dyah Mertaraga tentang mimpinya yang buruk. Dan kedua kali, dari ucapan puteranya kecil yang menyatakan ingin jadi prajurit.
Sepanjang sejarah kehidupannya sebagai seorang
senopati, belum pernah ia mengalami getaran jiwa seperti saat itu.
“Ah, puteraku Anjampiani,” katanya mesra,” prajurit itu berat penderitaannya dan tak pernah mengenyam ketenangan.”
“Lalu ayah suruh aku jadi apa kelak?” tiba-tiba Kuda
Anjampiani berseru menukas. Ranggalawe gelagapan menyahut.
“Anjampiani, puteraku, ah… engkau masih kecil. Kajilah dulu ilmu dari eyangmu Palandongan.”
Ranggalawe segera mencium pula puteranya dengan penuh
kasih sayang.
“Nah, puteraku, ayah segera akan berangkat.”
Ia serahkan Kuda Anjampiani kepada inang pengasuh. Ranggalawe ayunkan langkah perlahan-lahan
Sebagian cerita mengatakan, di kemudian hari, Anjampiani tak menjadi seorang senopati, dan memilih jalan hidup sebagai seorang pujangga, seorang pemikir. Kuda Anjampiani kelak tidak memiliki keturunan, sehingga terputuskan keturunan Adipati Tuban Ranggalawe.
Namun, di buku terbitan Perpusnas Press tersebut, disebutkan, Arya Wiraraja yang tak lain kakek dari Anjampiani menghadap Raja Kertarajasa Jayawardhana dan menagih tanah yang dijanjikan. Dan Sang Raja memberinya wilayah timur untuk Arya Wiraraja, membentang dari Tuban hingga Sumenep. Anjampiani disebutkan, menetap di Tuban dan menggantikan posisi Ranggalawe menjadi Adipati Tuban.
SIMAK YOUTUBE PUSTAKASUARA