KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur boleh dibilang satu-satunya orang yang rutin melakukan ziarah ke makam. Banyak kesaksian menyebut Gus Dur sering tiba-tiba datang ke makam di kampung pelosok yang sebetulnya jarang orang mengetahuinya. Ketika suatu ketika ditanya, kenapa Gus Dur suka ziarah ke makam? Beliau selalu punya jawaban yang makjleb.
Kirun, pelawak yang kemudian banyak memberi ceramah agama punya cerita. Dulu, ia sering diajak Gus Dur berziarah ke makam wali-wali Allah. Diantaranya makam Kebo Kenongo di Alas Purwo Banyuwangi, Joko Tingkir di lereng Gunung Sindoro Sumbing dan tempat-tempa lain
“Gus, kita ini kenapa toh kok sering datang ke tempat-tempat seperti ini. Kita ini cari apa to, Gus? Iya njenengan bisa berkomunikasi dengan mereka. Lha aku?” tanya Kirun.
Gus Dur pun menjawab: “Cari teman. Teman yang sudah mati itu kadang bisa jadi teman yang lebih baik daripada dengan yang sudah hidup. Orang mati tidak membahas politik, tidak menjelekkan orang lain.”
Jawaban Gus Dur tentu saja bernada guyonan. Tapi bukan berarti ziarah makam tak punya tujuan filosofis. Apalagi, tradisi ziarah ke makam memang punya sejarah Panjang, terutama bagi masyarakat jawa.
Di Babad Tanah Jawa disebutkan, makam Adilangu dan Masjid Demak adalah pusaka tanah jawa. Dalam konteks lain, tradisi ziarah makam juga membuka putaran ekonomi sekaligus memunculkan kajian sejarah yang tak pernah habis.
Bagi masyarakat jawa, tentu termasuk Bojonegoro, makam tidak sekedar tempat penguburan jasad manusia yang sudah meninggal. Akan tetapi makam punya makna cukup mendalam. Tradisi ziarah Wali Sanga adalah salah satu tradisi yang sudah lama ada. Selain itu, ziarah ke makam orangtua atau lelulur menjelang bulan suci Ramadhan
Tradisi ziarah ke makam leluhur juga dilakukan para bupati Bojonegoro dalam rangkaian hari ulang tahun atau Hari Jadi Bojonegoro. Makam yang diziarahi diantaranya makam Raden Bagus Lanching Kusumo, makam Adipati Haryo Matahun.
Ziarah ke makam tentu tak sekedar menjalankan rutinitas. Akan tetapi ada makna kesejarahan yang selalu mengiringi. Makam Haryo Matahun selalu diziarahi. Ia mempunyai nama asli Pangeran Sasongko atau Raden Songko. Ia merupakan keturunan Raden Wijaya, penguasa Kerajaan Majapahit. Saat itu, Bojonegoro masih bernama Rajekwesi. Sedang Raden Bagus Lanching Kusumo disebut sebagai ulama penyebar agama Islam di wilayah selatan Kabupaten Bojonegoro. Haryo Matahun dan Bagus Lanching Kusumo boleh dibilang mewakili sosok ulama dan umara.
Makna Nyekar Bagi Orang Jawa
Dalam tradisi jawa-islam, ziarah ternyata mempunyai makna berbeda dengan nyekar. Jika ziarah lebih bermakna mengunjungi makam orang-orang yang dikemaratkan atau ‘orang besar’. Sementara nyekar mempunyai makna datang ke makam orangtua, kerabat atau sanak keluarga.
Nyekar biasanya dilakukan oleh masyarakat jawa menjelang Ramadhan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri. Sambil mendoakan, masyarakat jawa juga membawa aneka kembang untuk wewangian. Kembang tersebut ditaburkan di atas makam.
Lalu, apakah tradisi ziarah adalah tradisi yang punya makna khusus bagi orang yang berziarah saja? Kembali ke kisah Gus Dur. Seperti penuturan Kirun, Gus Dur menjelaskan sebenarnya tradisi ziarah makam tak cuma sebagai penghormatan kepada orang yang meninggal, melainkan juga sebagai upaya syiar islam. Karena ketika peziarah di satu makam jumlahnya banyak, maka pengelola pasti akan membuatkan musholla lantaran kebutuhan orang banyak. Selain itu akan muncul penjual makanan, souvenir dan lain sebagainya yang bisa mengangkat ekonomi sekitar makam.