Angin berhembus pelan membawa kesejukan musim kemarau. Menenami langkah bapak-bapak bersarung yang membawa tampah berisi tumpeng menuju musholla At-Taubah. Tumpeng itu berupa nasi berbentuk kerucut dengan aneka lauk-pauk dan ditutup daun pisang. Di atasnya diberi uang pecahan Rp 2.000 guna mengisi kotak amal. Jamaah sholat maghrib baru saja usai.
Musholla At-Taubah yang berdiri tahun 1992 berada di Desa Sidobandung Kecamatan Balen Kabupaten Bojonegoro. Sudah bertahun-tahun, warga RT 30 dan 32 yang menjadi jamaah musholla mengadakan acara tampane tahun setiap malam 1 Suro atau tanggal 1 Muharram tahun hijriyah.
Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, usai sholat maghrib, Sabtu (6/7/2024), warga berkumpul. Mereka terbagi menjadi dua kelompok, jamaah perempuan dan jamaah laki-laki. Jamaah perempuan terdiri dari delapan anak-anak dan 11 orang dewasa berada di sebelah kanan musholla. Mereka membentuk formasi huruf U. Di tengah mereka sudah ada nasi tumpeng satu tampah, jajan pasar dua tampah, dan ketan towo satu nampan yang disusun memanjang.
Sedangkan di emper musholla, sembilan anak laki-laki dan tiga pria dewasa duduk berhadap-hadapan. Dua tumpeng, ketan towo satu nampan dan jajan pasar satu tampah juga sudah berjejer rapi di tengah mereka. Di halaman rumah kiai musholla, yang bersebelahan dengan musholla, sebanyak 17 orang dewasa laki-laki duduk melingkar dengan lima tumpeng, empat nampan jajan pasar dan dua nampan ketan towo.
“Dinamakan tampane tahun karena ada pergantian tahun,” ucap Yadiran, sang kiai musholla.
Tradisi memperingati malam 1 Suro, atau warga setempat menamakan tradisi tampane tahun, dibuka dengan sedikit tausiyah dari Yadiran. Menurut dia, sebagaimana cerita tutur yang didengarnya, tradisi semacam ini sudah ada sejak Syekh Subakir datang ke tanah Jawa, sebelum adanya Wali Songo.
“1 Suro ini mengingatkan kita bahwa kehidupan yang paling lama itu di akhirat. Semoga dengan ini, hormat malam satu suro, anak-anak kita menjadi anak salih dan salihah. Semoga ibadah kita diterima,” paparnya yang dijawab amiin oleh jamaah.
Acara kemudian dilanjutkan dengan membaca bersama-sama surat al-fatihah dan ayat kursi. Terdengar kalam-kalam Allah dibaca secara berirama dan serentak. Sebagai penutup, kiai Yadiran membaca doa dengan khusyuk.
Usai doa, nasi putih berbentuk kerucut yang disebut tumpeng atau bucu itu langsung diserbu jamaah, terutama anak-anak. Bentuk kerucut dan nasi putih melambangkan keinginan yang tinggi, yang luhur atau suci. Di atasnya, aneka macam lauk, polo pendem dan polo gemandul tersaji. Salah satunya urap dari tujuh macam daun.
“Urap itu ibaratnya urup-urup kebaikan,” terang Yadiran. Dalam bahasa jawa, urup berarti nyala. Urup-urup kebaikan bisa dimaknai menyalakan kebaikan.
Sedangkan tujuh macam daun yang dijadikan urap memiliki makna tahun J atau bermakna pitu. Tumis pepaya yang melengkapi urapan merupakan gambaran bahwa yang penting dari hidup itu daging buahnya atau ibadahnya, bukan kulitnya atau pakaian, bukan jabatan.
“Jadi kulit pepaya yang cantik merah itu sebenarnya nggak dibutuhkan. Yang dimakan kan daging buahnya atau ibadahnya,” ujar laki-laki usia 59 tahun itu.
Polo pendem yang terdiri dari singkong dan ketela memiliki arti kesalahan di tahun sebelumnya dikubur atau dipendem. “Setelah dipendem, tukul dadi polo gemandul utowo perkoro sing becik, yo kui maeng, jeruk, salak lan liyane,” jelas Parman, salah satu warga menambahkan. Artinya, kesalahan di masa lalu dikubur atau dilupakan, dan dari yang dikubur akan tumbuh tunas baru yang buahnya menggantung.
Makan bersama menjadi acara yang ditunggu-tunggu. Para jamaah makan nasi di atas daun pisang. Tradisi ini mempererat hubungan antar tetangga. Mereka juga antusias mengambil jajan pasar yang mengajarkan untuk selalu bersyukur di tiap keadaan.
“Dadi dikon mertopo ing sak tengahe pasar, makane gowone jajan pasar,” sambung laki-laki yang bekerja sebagai buruh tani itu.
Menurut dia, mengingat Tuhan, bersyukur, tidak hanya ketika beribadah. Namun, bisa dilakukan di tengah pasar atau keramaian. Dalam kondisi apapun selalu ingat kepada sang pemberi kehidupan. Itulah makna jajanan pasar digunakan dalam setiap tradisi di Jawa.
Selain ketan towo yang bermakna kalis ing sambikolo (terhindari dari malapetaka), juga ada jenang sengkolo. Namun, tahun ini tidak ada jenang tersebut.
Pembuatan ketan towo tidak menggunakan garam. Towo bermakna tawar. Sebagai pelengkap rasa, ketan towo disajikan dengan parutan kelapa. Jenang sengkolo sendiri sebenarnya terbuat dari bubur beras dengan gula merah yang diberi sedikit bubur beras tanpa warna di atasnya. Biasanya juga disajikan dengan parutan kelapa.
“Filosofi ketan towo kaleh jenang sengkolo sami mawon. Nggeh niku nolak rubedo, sengkolo lan sejolo. Kan kantun slamete,” papar Parman.
Rubedo memiliki arti orang yang menghalangi niat baik atau rintangan. Sengkolo merupakan kemalangan atau musibah. Sedangkan sejolo, orang yang ingin membuat keributan.
“Jenang sengkolo utowo jenang tolak sakdurunge teko wes ditolak. Masio wes melbu ndah, wes towo utowo tumowo ko gone ketan towo maeng,” imbuhnya.
Usai menikmati santapan, acara ditutup dengan bacaan sholawat bersama. Jamaah pulang ke rumah membawa sisa berkat masing-masing. Beberapa anak tinggal untuk bermain, menunggu kumandang azan isya.[nf]