Sore yang basah, hujan masih deras saat saya dalam perjalanan menuju kebun kopi Tlogohaji di Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro, Sabtu (14/12/2024). Dari terminal Rajegwesi Bojonegoro, kebun itu berjarak sekitar 21 kilometer ke arah timur. Dari pasar Sumberrejo, perjalanan lanjut ke selatan sejauh 9,2 kilometer.
Sesampai di kebun kopi, saya bertemu Lilik Budi Witoyo, pemilik kebun sekaligus Inisiator Kokobo Dander Forest. Budi juga dikenal sebagai peneliti kopi dataran rendah Bojonegoro. Pepohonan tumbuh subur di sepanjang jalan kecil menuju kebun kopi.
“Merawat kopi itu seperti merawat anak. Harus penuh kasih,” kata Budi memulai perbincangan tentang kebun kopi.
Tanaman kopi biasanya tumbuh di dataran tinggi. Namun, Kabupaten Bojonegoro dengan ketinggian 25-500 m dari permukaan laut, menggelitik Budi untuk melakukan riset dan mencoba menanam kopi.
Memasuki kebun kopi, rimbun tanaman kopi terasa menyejukkan. Ada papan nama hijau toska dengan logo tanaman kopi yang bertuliskan ‘Kebun Kopi’. Kebun ini memiliki luas sekitar 520 meter persegi.
Memasuki halaman depan kebun, saya disuguhi tanaman kopi setinggi 1,5 m jenis liberika dan excelsa. Daun-daun kopi itu basah oleh sisa rintik hujan. Pohon mangga dan pule tumbuh gagah menjadi penaung tanaman kopi itu.
Kami lantas memasuki rumah joglo yang diterangi temaram lampu kuning. Mutohar Hadib, salah satu petani yang mengelola kebun kopi menyambut kami dengan hangat. Kami langsung disuguhi cempedak dari pohon naungan tanaman kopi.
Sambil menghirup aroma kopi selepas hujan, Budi bercerita awal mula kebun kopi Tlogohaji dikembangkan. Ia memulai semua pada tahun 2019. Dengan dibantu beberapa kawan, diantaranya Ngadi, Agus Salim, Jack dan Jumali yang merupakan petani kopi Gunung Ringgit Pasuruan. Dari Jumali bibit-bibit kopi tersebut didapat.
Ia ingin “menguji” pengetahuan bidang pertanian dan perkebunan, apakan kopi bisa tumbuh bagus di dataran rendah? Budi berangan-angan, jika di Desa Tlogohaji yang selama ini identik dengan tanah yang tidak subur, bisa ditanami kopi, pasti akan memberi dampak positif bagi warga.
“Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang pertanian dan perkebunan sangat pesat. Menanam kopi di dataran rendah memberikan kemungkinan masyarakat menanam jenis tanaman yang tidak biasa ditanam di daerah tertentu,” ungkap Budi.
Merawat kopi, kata Budi, seperti merawat anak. Harus berdasarkan kasih yang tumpah-ruah seperti hujan bulan Desember. Kopi yang ditanam dengan jarak 2,5 x 2,5 meter itu diberikan tanaman peneduh seperti pepaya, sengon, duren, kelor, cempedak dan mangga agar tidak mendapat sinar matahari secara berlebihan yang bisa mengakibatkan daun kopi terbakar. Apalagi mengingat Bojonegoro memiliki suhu panas rata-rata 34˚C.
Pemupukan dilakukan secara rutin dan memaksimalkan bahan-bahan organik yang tersedia di desa, seperti kotoran kambing dan sapi, brambut (kulit padi), gedebok pisang ditambah daun-daun tanaman peneduh yang membusuk dan difermentasi.
“Ini robusta, daunnya bertekstur dan lebih kecil dari liberika. Yang daunnya lebih kecil lagi dan tidak begitu bertekstur namanya arabika. Sedangkan daun yang lebarnya hampir sama dengan robusta, tapi tidak bertekstur ini jenis excelsa. Daun yang paling lebar, tebal dan tidak bertekstur ini milik liberika,” papar Adib bak pemandu wisata menunjukkan buah dan ciri khas masing-masing jenis kopi yang ditanam di Tlogohaji. Adib memang lama bergelut dengan tanaman kopi.
Secara teori, menurut Adib, kopi robusta harusnya ditanam di tanah 100-600 Mdpl, kopi arabika di tanah 1.000-2.000 Mdpl, kopi liberika di tanah 0-900 Mdpl, sedangkan kopi excelsa di tanah 0-600 Mdpl. Namun, ketinggian tanah Tlogohaji yang hanya 40 Mdpl, nyatanya mampu membuahkan 4 jenis kopi pada tahun 2022, 2023 dan sekarang pada tahun 2024.
Merujuk hasil riset dari Tenaga Ahli Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PUSLITKOKA) PT. RPN, Dr. Pujiyanto, kopi arabica, robusta dan liberika merupakan 3 jenis spesies kopi utama di Indonesia. Dilansir dari laman resmi Kehati pada opini berjudul Ayo Cerita tentang Kopi, Sebelum Kopi Tinggal Cerita, Indonesia menjadi satu-satunya negara penghasil kopi yang berada di kawasan cincin api (ring of fire).
Dengan keistimewaan tersebut, Indonesia memiliki jumlah kopi khas suatu daerah (single origin) yang paling banyak dan beragam dibanding negara-negara penghasil kopi lainnya.
Dan ternyata, keberagaman asal ekosistem kopi Indonesia salah satunya berasal dari daerah dataran rendah Bojonegoro yang memberikan paduan rasa dan aroma yang berbeda pula.
“Arabika ini memiliki rasa dominan asam. Sedangkan robusta dominan pahit. Liberika rasa pahitnya sangat dominan, dan excelsa memiliki aroma buah nangka. Rasa yang dihasilkan kebun kopi ini juga sama enaknya dengan yang ditanam di dataran tinggi,” terang Adib menjelaskan dengan detail sambil menunjukkan kopi yang dimaksud.
Dengan riset dan bukti di Kebun Kopi Tlogohaji, Adib berharap dapat mengubah stigma masyarakat bahwa tanaman kopi tidak hanya tumbuh di dataran tinggi, tapi juga dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah. Masyarakat dapat memanfaatkan pekarangan sekitar rumah atau kebun yang tidak produktif untuk menanam kopi. Bahwa menanam tidak harus di kebun yang luas dan di tanah yang subur. Bahwa menanam bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja untuk alam yang lebih lestari.
Kebun Kopi Tlogohaji sudah beberapa kali memanen kopi. Namun, hingga saat ini, belum sampai dijual dałam jumlah besar. Kopi hasil dari kebun diolah sendiri untuk dicicipi bersama. Tim pengelola kemudian melakukan riset dari rasa kopi tersebut.
Dari beberapa kali uji coba, akhirnya kopi dari kebun kopi Tlogohaji Bojonegoro bisa dinikmati pada tahun 2022. Panen pertama di Tlogohaji disambut meriah oleh Budi beserta tim, dan beberapa petani dari luar Tlogohaji. Mereka beramai-ramai melakukan cupping atau icip kopi untuk menganalisa kualitas kopi, mulai dari aroma, rasa, keasaman, hingga keseimbangan rasa. Pada panen tahun 2023, cupping kopi Bojonegoro juga diadakan dari hasil panen tahun itu.
Edukasi Lingkungan dengan Menanam Kopi
Menanam kopi tidak berhenti di Desa Tlogohaji saja. Pada tahun 2023, Budi Witoyo bersama timnya ingin menggalangkan aksi cinta lingkungan melalui kerjasama dengan Perhutani. Hasilnya, didirikanlah wanawisata bernama Kokobo Dander Forest di Kecamatan Dander. Luas lahannya mencapai 12,7 hektare.
Menurut Adib yang juga menjadi ketua Yayasan Daya Tumbuh Indonesia (YDTI), ia dan timnya aktif menggalangkan edukasi lingkungan baik kepada masyarakat, pemuda sampai anak-anak melalui kolaborasi dengan Kokobo.
“YDTI memiliki tujuan yang sama dengan Kokobo, yaitu ingin melakukan perbaikan lingkungan dan ekonomi masyarakat lokal,” papar Adib.
YDTI dan Kokobo sangat sering melakukan edukasi lingkungan melalui penanaman kopi. Menurut Adib, jika seseorang ingin menanam kopi, maka harus menanam pohon peneduh yang fungsinya untuk mencegah bencana alam seperti banjir yang sering melanda Bojonegoro.
Tidak hanya pohon peneduh, kata Budi, ternyata kopi juga bisa mencegah erosi karena memliliki perakaran yang dangkal, terlebih kopi jenis liberika yang memiliki akar lebih kuat.
Dengan gerakan menanam kopi, Kokobo telah mengubah wajah hutan Bojonegoro semakin bervariatif. Hutan tidak hanya ditumbuhi pohon jati. Bersama pemuda sekitar dan Lembaga Masyarakat Hutan (LMDH), Kokobo telah menanam 400 pohon alpukat, 500 pohon durian dan 1.500 pohon kopi. Selain itu, YDTI dan Kokobo juga memberikan pelatihan pembuatan pupuk organik serta bibit kopi untuk kelompok petani hutan Guyup Rukun di Ndeling Njonoporo.
“Agar nantinya petani hutan juga bisa menikmati hasil dari kopi yang mereka budidaya sendiri. Juga agar lebih hemat dengan membuat pupuk sendiri dari bahan-bahan organik. Ini menjadi sikap lebih bijak dalam mengolah sampah,” papar Adib.
Tidak hanya pemuda, dan para petani, ternyata anak-anak sekolah sampai mahasiswa juga melakukan penanaman dan pembuatan kompos di Kokobo. Baru-baru ini Kokobo dan YDTI melakukan edukasi lingkungan melalui penanaman kopi kepada Toyota Kijang Super Community Indonesia (TKSCI) Chapter Anglingdharma Bojonegoro, mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Bojonegoro (FP Unigoro), dan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Insan Permata Bojonegoro.
“Kami turut serta menjaga kelestarian alam yang juga adanya keterlibatan dengan pembelarajan dari matakuliah serta menjadi promosi bahwa tanaman kopi bisa dibudidayakan di daratan rendah,” ucap Yusdiantara selaku Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) FP Kabinet Amrita Unigoro.
Yusdiantara bersama anggota BEM lainnya yang melakukan Masa Keakraban (Makrab) berharap tanaman kopi menjadi peluang budidaya baru dalam perkebunan di daerah Bojonegoro. Melalui kegiatan penanaman bersama, BEM FP berharap bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk terus menjaga serta melestarikan lingkungan.
Bagi mereka, suasana di Kokobo yang asri dengan banyaknya tanaman bermanfaat sebagai kelestarian lingkungan. Edukasi tentang lingkungan, kata Yusdiantara, tidak hanya bisa dilakukan di Kokobo, melainkan di semua daerah Bojonegoro dengan pendekatan yang tersruktur, inovatif, dan keberlanjutan.
Kiswanto, Wakil Kepala Administratur Perhutani KPH Bojonegoro, mengungkapkan Perhutani terbuka dengan inovasi masyarakat terkait kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, Perhutani memfasilitasi lahan kepada Kokobo untuk dikembangkan menjadi kawasan hutan pariwisata yang berfokus pada edukasi dan kelestarian lingkungan.
“Dulu Pak Administratur pernah mencoba menanam kopi di Krawak Tuban, tapi gagal,” ungkap Kiswanto.
Menurut laki-laki berkacamata itu, permasalahan lingkungan di Bojonegoro memang sepatutnya ditangani bersama semua pihak termasuk masyarakat. Meski belum sempurna sebagai wanawisata dan baru dikenal sebagai kafe dengan nuansa alam yang khas, edukasi lingkungan massif dilakukan di Kokobo.[nf]