Penulis: M. Kafhaya Ainshod
Dusun Mbarangan dikenal sebagai kampung keramat. Sebab, lokasinya berbaur secara langsung dengan pemakaman. Pemukiman berada di tengah pemakaman ini terletak di Desa Kuncen, Padangan, Bojonegoro.
Dusun Mbarangan tergolong unik, bahkan sejak dari nama. Istilah “Mbarangan” menjadi satu-satunya nama dusun yang pernah ada di Indonesia. Mbarangan juga satu-satunya pemukiman masyarakat yang kehidupan warganya berbaur dengan lokasi pemakaman.
Konon, Mbarangan berasal dari kata “Ojo Sembarangan!” (jangan berbuat semena-mena!). Kata berbau sabda ini, diucap seorang kiai dengan tujuan agar para penjajah tak memasuki lokasi itu. Masyhur, penjajah Belanda dan Jepang sangat sulit memasuki kawasan tersebut.
Secara ilmiah, wilayah yang pernah jadi basis para pejuang islam itu, memang berada di lokasi yang cukup sulit dicari. Yakni, menjorok ke arah sungai, tertutup pemakaman, dipagari kali dan semak belukar. Sehingga membuatnya cukup sulit terdeteksi dari intaian penjajah.
Keramat Mbarangan
Dusun Mbarangan dikenal sebagai Pulung Desa. Tiap kali Desa Kuncen Padangan menggelar pemilihan kepala desa (Pilkades), calon kepala desa seperti wajib berangkat menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan berjalan kaki dari Dusun Mbarangan. Hal ini sudah jadi tradisi turun temurun di Desa Kuncen.
Calon Kades yang berangkat dengan cara berjalan kaki dari Dusun Mbarangan, mayoritas khasil maqsud (menang dalam pemilihan Kades). Fakta ini dikenal secara masyhur dan konsensus bagi warga di wilayah Desa Kuncen Padangan.
Dusun Mbarangan tergolong unik dan tidak biasa. Ia sangat mengerikan bagi orang-orang luar, tapi menentramkan bagi mereka yang lahir di sana. Kegiatan masyarakatnya, dilakukan di dalam lokasi pemakaman. Kuburan jadi tempat yang tak mengerikan. Sebuah kewajaran ketika acara pernikahan, tempat mempelai berdampingan dengan nisan kuburan.
Di Dusun Mbarangan, kijing kuburan dijadikan tempat mengeringkan kerupuk (di sana banyak pabrik kerupuk). Orang-orang di Dusun Mbarangan melihat pemakaman seperti bagian dari ornamen rumah mereka sendiri.
Pemakaman juga jadi taman bermain bagi anak-anak dan tempat berkumpul warga. Bahkan, ada sebuah makam yang berada di teras dan ruang dalam rumah. Pemakaman, jadi bagian tak terpisah dari denyut nadi kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Dusun Mbarangan sesungguhnya mengaplikasikan dawuh hadits Kanjeng Nabi Muhammad SAW tentang Dzikrul Maut, bahwa “orang cerdas adalah mereka yang paling banyak mengingat mati”. Bermukim di tengah pemakaman, membuat masyarakat terbiasa akrab dengan hadits tersebut.
Historiografi Dusun Mbarangan
Secara historiografis, Dusun Mbarangan sudah ada sejak periode 1800 M, sebagai salah satu dusun di Desa Kuncen Kecamatan Padangan. Nama Mbarangan tertulis dalam peta Belanda yang di-publish pada 1887 M, sebagai basis wilayah para pejuang islam, dengan ditandai adanya simbol bulan sabit.
Informasi tentang peta dan gambaran demografi masa silam Dusun Mbarangan, sampai saat ini masih tersimpan rapi di dalam Digital Collection of Leiden University, sebagai bagian dari Dutch Colonial Maps — peta wilayah koloni (yang diawasi) pemerintahan Hindia Belanda.
Dusun Mbarangan semula hanya pemakaman dan savana semak belukar. Pemakaman sudah lebih dulu ada, jauh sebelum adanya pemukiman warga. Savana belukar melingkari pemakaman itulah, yang dibabat Mbah Buyut Mbarangan dengan mendirikan pondokan tempat mengaji — tempat yang dikenal dengan Peguron Mbarangan.
Kiai Buyut Mbarangan
Pembuka Dusun Mbarangan yang dikenal dengan Mbah Buyut Mbarangan, bernama asli Kiai Sanusi Mbarangan. Nama lengkapnya Kiai Sanusi bin Syahid bin Syihabuddin. Beliau membuka Dusun Mbarangan dengan mendirikan Peguron Mbarangan (Pondok Mbarangan) yang dikenal sebagai tempat pengajaran islam dan ilmu jadug-kanuragan.
Mbah Sanusi bagian dari keluarga besar FiddariNur Padangan. Ia lahir dari keluarga Bani Syihabuddin Padangan. Mbah Sanusi berada di Dusun Mbarangan sekitar periode (1840 – 1920 M). Ia berdakwah dengan mendirikan peguron yang berlokasi di dekat jurang bantaran sungai Bengawan Solo.
Mbah Sanusi terkenal sebagai kiai anti penjajahan. Ini alasan beliau mengucap kata “Ojo Sembarangan” pada para penjajah. Ia tak hanya mengajar ngaji, tapi juga ilmu jadug-kanuragan. Santri-santri Mbah Sanusi masyhur memiliki keahlian dalam berduel. Ini alasan Dusun Mbarangan dikenal sebagai basis para pejuang islam yang kebal bedil dan anti bacok, khas Tarekat Rifaiyyah.
Peguron Mbarangan masyhur sebagai tempat belajar ngaji sekaligus ilmu jadug-kanuragan. Konon, tiap kali ada longsor bantaran sungai, peguron yang didirikan Mbah Sanusi itu selalu bergeser menjauh dari lokasi longsor. Sampai saat ini pun, bekas Peguron Mbarangan masih ada dan berubah menjadi sebuah musola.