Mudah sekali menemukan greenhouse itu. Bangunannya mencolok di tengah area persawahan. Minggu sore, 4 Agustus 2024, saya mengunjunginya hendak ikut berpesta petik melok. Juga ngobrol panjang dengan Fatkul Ilma, sang pemilik greenhouse.
Berlokasi di Desa Bendo Kecamatan Kapas Kabupaten Bojonegoro, ada dua greenhouse. Bagian kanan seluas 500 meter persegi dengan kapasitas 2.000 tanaman. Sedang bagian kiri seluas 500 meter persegi yang baru akan ditanami melon dengan sistem hidroponik (budidaya tanaman menggunakan air tanpa menggunakan tanah).
Greenhouse itu dikelola oleh Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Djoyo Tani. Fatkul Ilma mendirikan greenhouse pada 2020. Dan sejak 3 Agustus, digelar Pesta Wisata Petik Melon, cara promosi unik untuk menjual melon segar langsung dari kebun.
Di salah satu greenhouse, di depan saya, beberapa gulutan memanjang dan berbaris rapi menampung tanaman melon yang menjulur ke atas. Penanaman ini menggunakan media tanam cocopeat yang harus diganti setahun sekali. Sistem ini membuat Fatkul kemudian berinovasi akan menggunakan sistem hidroponik untuk penanaman selanjutnya agar tidak perlu perlu mengganti media tanam setiap setahun sekali.
Daun-daun kering berwarna coklat dibiarkan berjatuhan. Daun kering akan berfungsi sebagai pupuk organik untuk tanaman. Satu pohon umumnya hanya berbuah satu melon, tapi Fatkul sedang melakukan uji coba satu pohon bisa berbuah tiga.
“Melon paling manis adalah dari hasil pembuahan pertama. Ciri-cirinya bentuk bagus, warna kulit kekuningan dan lebih manis jika langsung putus dari dahannya tanpa perlu digunting,” tutur pria berusia 27 tahun itu.
Mata saya langsung fokus mencari melon yang sudah putus. Tapi sepanjang berjalan, tak juga menemukan. Sambil berjalan melihat melon, dia juga mengajari cara memanen melon agar tidak cepat busuk: tangkai melon yang dipotong adalah ruas kedua dan ketiga dari buah.
Tidak sabar ingin mencicipi, melon itu langsung dibelah dan saya merasakan sensasi manis-segarnya melon yang baru dipetik. Melon grade C ini dijual dengan harga Rp 10 ribu – Rp 15 ribu perkilogram. Sedangkan grade A dan B langsung didistribusikan ke supermarket ketika musim panen mulai, seperti ke Surabaya dan Malang. Dalam satu kali panen atau dua bulan sekali, rata-rata melon yang diperoleh sekitar 2 ton lebih.
Sistem pertanian yang digunakan Fatkul termasuk modern. Pengairan, pemberian pupuk, dan pengatur suhu sudah otomatis. Setiap tiga kali sehari, tanaman-tanaman melon sudah tersiram secara otomatis. Ia belajar sistem ini saat magang bersama ahli pertanian Korea Selatan ketika pelatihan di Malang yang diadakan Kementerian Pertanian Indonesia yang bekerja sama dengan Kementerian Pertanian Korea.
“Alhamdulillah, dari Provinsi Jawa Timur ada 6 (orang) yang terpilih melalui seleksi, termasuk saya,” ujarnya.
Fatkul menunjukkan rangkaian mesin pertanian yang ia rancang. Katanya, sistem tersebut yang paling murah, sederhana dan mudah pengaplikasiannya. Jika mesin yang diajarkan ahli Korea membutuhkan dana sekitar Rp 150 juta, maka mesin yang ia rangkai cukup dengan dana 5-10 juta.
Inovasi dan uji coba yang terus ia lakukan bertujuan memudahkan pekerjaan petani dengan hasil yang lebih maksimal. Melihat realita generasi muda yang banyak tidak tertarik pada pertanian sebab dianggap sulit dan membutuhkan tenaga besar, Fatkul membuktikannya dengan sistem pertanian modern yang ia buat.
Terbukti, ada beberapa mahasiswa fakultas pertanian dari Universitas Bojonegoro (Unigoro) melaksanakan magang di greenhouse milik Fatkul Ilma ini. “Selain dari Unigoro, juga ada dari kampus lain biasanya. Bahkan dari SMK juga ada,” katanya.
Sejak 2023, ia sudah melakukan kerjasama dengan Dinas Pertanian dan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dinpora) guna mengenalkan, mengajari dan melakukan regenerasi pertanian kepada kaum muda maupun tua. Karena itulah greenhouse-nya diberi nama Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Djoyo Tani. [nf]