Senin 29 Juli 2024. Sinar matahari terasa hangat di pagi yang berangin pelan. Para nelayan tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Tak jauh dari sudetan sungai Bengawan Solo yang mengarah ke laut, Agus Santoso (38) sibuk menyirami bibit mangrove.
Agus bersama para nelayan lain di Rukun Nelayan (RN) Desa Sedayu Lawas, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, sejak 2023 ikut menjadi bagian dari program pembibitan dan penanaman mangrove. Di lahan pembibitan, Agus dan teman-temannya merawat 10.000 bibit mangrove. Kini sudah berusia 3 bulan.
Mengenakan kaos hitam panjang, celana pendek motif loreng dan topi bertuliskan ‘nelayan’, ia menyapa ramah. Setelah Agus membasahi bibit setinggi 80 cm itu, kami duduk santai di gubuk kecil pinggir sudetan bantaran Bengawan Solo yang bermuara di lautan Sedayu Lawas.
Agus Santoso adalah satu gambaran nelayan Indonesia saat ini. Ia terjepit di antara perubahan-perubahan yang berdampak pada kehidupan nelayan.
Sejak kecil Agus sudah menjadi nelayan. Dunia masa kecilnya adalah pantai dan laut di pesisir Tuban-Lamongan. Tahun 1994, ketika Agus masih kecil sudah membantu bapaknya berternak ayam dan kambing. Setiap matahari muncul di langit timur, ia sudah ‘membaur’ dengan ternaknya untuk memberi pakan. Lantas membersihkan kandang.
Malamnya, ia melaut, ikut menangkap ikan bersama si bapak dan pulang ketika subuh. Ia mengaku, saat itu, tidak harus mencari ikan sampai ke tengah laut. Berbeda dengan sekarang, pendapatan ikan turun hingga 30% akibat limbah pabrik lokal maupun non lokal yang mencemari perairan.
Di tahun 2008, ia mencoba terjun ke bisnis garam. Ia mengelola tambak garam dengan luas 50 x 100 meter. Lepas melaut, pagi harinya ia mengalirkan air laut ke tempat pembuatan garam dengan sistem pasang-surut.
“Setelah itu dijemur sampai 30 hari dan berubah jadi kristal,” ujarnya bercerita. Sama dengan mencari ikan, membuat garam bagi Agus juga melatih kesabaran. Sesabar menghadapi omelan istri, katanya sambil tersenyum.
Tahun 2012, Agus memutuskan berhenti mengelola tambak garam. Sejak tahun itulah, ia fokus beternak dan menjadi nelayan.
Bagaimana masa depan nelayan? Ia menjawab pelan. Menurut dia, sebagai nelayan tulen tidak ingin anaknya menjadi nelayan. Karena risiko yang begitu besar, minimnya keamanan, dan minimnya pendapatan.
Agus bercerita, sekitar pukul 10 malam, ia melaut dan pulang ketika subuh. Jika waktu along atau timuran yakni ketika musim keberuntungan, ia mendapat lumayan banyak, sekitar 15 kg rajungan. Atau di lain waktu bisa mendapat 40 – 50 kg ikan. Rajungan biasa dijual Rp 50 ribu, dan ikan Rp 35 ribu per kg. Hasil tangkapan itu langsung dibeli oleh tengkulak tanpa harus ia setorkan ke pasar. Namun jika sepi tangkapan, ia hanya mendapat ikan 5 – 10 kg. Atau terkadang hanya membawa pulang 1 – 2 kg rajungan. Padahal, dapat sedikit atau banyak tangkapan, biaya operasional tetap sama: beli 20 liter solar dan biaya lain total sekitar Rp 250 ribu.
Ketika luang, Agus membuat bubu atau perangkap rajungan yang terbuat dari kawat dan senar. Sekali buat, ia mampu menghasilkan hingga 5 bubu. Bubu itu kemudian dijual dengan harga Rp 15.000 dengan bahan besi dan Rp 20.000 dengan bahan dari stainless.
Di tengah kondisi demikian itulah, Agus bersyukur ada program pembibitan mangrove. Program diawali pelatihan pembibitan dan penanaman mangrove yang diadakan oleh Lembaga Informasi Masyarakat Banyuruip Bangkit (Lima2B) yang bekerja sama dengan ExxonMobil Cepu Limited (EMCL).
Dari mengurus pembibitan inilah, Agus mendapatkan biaya tambahan untuk menghidupi istri dan dua anaknya. Setiap pukul 6 pagi dan 4 sore, ia menyirami bibit-bibit mangrove di nursery yang letaknya di bawah jembatan Brondong Lamongan. Di sampingnya, banyak perahu nelayan yang bersandar. Angin yang hilir-mudik menjadikan tempat ini begitu sejuk.
Bibit-bibit yang disemai pada tahun 2023 sudah ditanam semuanya. Lalu, dimulai pembibitan lagi pada 16 Mei 2024 dengan jenis Rizophora Mucronata.
“Harapannya dengan adanya program ini, ekonomi masyarakat di pesisir bisa semakin maju, dan bisa memanfaatkan sumber daya yang tersedia,” paparnya.
Mangrove sendiri sebenarnya bukan nama tumbuhan, melainkan sebutan untuk vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang-surut.
Agus Salim, salah satu anggota Lima2B menuturkan, mangrove memiliki banyak manfaat. Diantaranya bisa mencegah abrasi, menambah oksigen, akan menjadi kail untuk pengolahan hasil dari mangrove bila sudah berbuah. “Hutan mangrove bila sudah terjadi, biota laut akan hidup kembali,” paparnya.
Selain itu, lanjut dia, pembibitan juga berfungsi menghemat pengeluaran. Sebab biasanya nelayan harus membeli bibit mangrove di Cirebon, Surabaya, dan Bangil. Bahkan selain ditanam, bibit mangrove ini juga dijual kepada lembaga-lembaga yang membuat Ruang Terbuka Hijau (RTH).[nf]