Malam yang sejuk selesai hujan membasahi bumi. Sekitar pukul 18.30 WIB pada Kamis (30/1/2025), warga dari beberapa Rukun Tetangga (RT) di Dusun Dureg, Desa Sidobandung, Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro berkumpul. Mereka duduk melingkar di rumah Kepala Dusun Dureg.
Malam itu, warga dari RT 25, RT 30, RT 31 dan RT 32 berbondong-bondong membawa berkat (nasi lauk pauk) ke rumah Kasun atau biasa disebut Kamituwo.
Menurut Kamituwo Jiran (59), warga sedang menggelar tradisi Keleman. Yakni tradisi selametan menyambut datangnya masa panen padi. Keleman dihadiri kurang lebih 100 warga, baik warga yang memiliki sawah maupun tidak. Malam itu, lurah atau kepala desa juga ikut hadir memberikan sambutan.
Tradisi Keleman diawali warga duduk melingkar di ruang tamu rumah Kamituwo Jiran yang secara formal membuka acara. Selanjutnya Lurah Sukijan (61) kepala desa memberikan sambutan.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada para warga karena sudah melestarikan budaya,” ucapnya.
Menurut Lurah Sukijan, 90% warga dari 5.000 penduduk termasuk anak-anak berprofesi sebagai petani. Ia berharap, panen padi yang terjadi 2-3 kali dalam setahun di Desa Sidobandung bisa lancar dan membuahkan hasil yang maksimal.
Acara dilanjut tausiyah oleh Kiai Yadiran. Dalam kesempatan tersebut, Kiai Yadiran mengajak para warga untuk selalu bersyukur atas kemurahan Tuhan sehingga mereka bisa merawat padi hingga memasuki musim panen. Ia juga memimpin doa agar panen di tahun 2025 membawa hasil yang berkah dan turah-turah.
Tepat pukul 19.30 WIB, tradisi Keleman usai dan para warga segera mengerumuni berkat yang berjajar di tengah-tengah. Ada yang dari nampan, dari ember dan bak kecil. Mereka saling membagi nasi dengan lauk yang beragam. Mulai urap, mie goreng, dadar, ayam, tumis kacang, kering tempe, rempeyek, dan lainnya.
Sebelum pulang, mereka makan bersama beralas daun pisang dan ngobrol ngalur-ngidul. Tak ketinggalan, saya pun ikut menyantap menu enak tersebut. Pemandangan yang sangat jarang ditemukan di kehidupan kota kini.
Asal Usul Tradisi Keleman
![](https://mastumapel.com/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-01-at-08.25.02-scaled.jpeg)
Tradisi Keleman sendiri menurut Kamituwo Jiran berasal dari bahasa jawa kelem atau tenggelam. Keleman berarti menenggelamkan. Maknanya, ngelemno sekabehane homo atau menenggelamkan semua hama yang merusak padi.
Keleman dilakukan setiap padi berumur 50-60 hari. Jika dulu yang diundang hanya warga yang memiliki sawah, sejak kepengurusan Kamituwo Jiran pada tahun 2020, warga yang tidak mempunyai sawah juga turut diundang.
“Untuk mengeratkan tali silaturrahmi antar warga. Jadi yang tidak punya sawah juga bisa merasakan Keleman,” terang Jiran.
Tradisi Keleman ini seperti resepsi pernikahan pada masyarakat jawa. Diantaranya harus menggunakan hitungan hari baik dan hari buruk. Juga membawa polo pendem atau umbi-umbian sebagai simbol semua sengkalan atau sengkolo atau malapetaka ini dipendem atau dikubur.
Uniknya, polo pendem berupa singkong, ubi jalar, kacang tanah, gembili dan lain-lain, kulitnya disimpan selama semalam. Pagi hari usai Subuh, warga membuka kulit-kulit tersebut ke sawah masing-masing sebagai simbol membuang sengkalan.
Warga memang selalu antusias saat menggelar Keleman. Salah satunya Anjar. Ia sudah belanja dari hari Rabu, lalu memasak di Kamis sore setelah pulang kerja. “Di sini tradisi-tradisi masih terus dilakukan,” ungkapnya.
Ia senang bisa merasakan Keleman, tapi agak sedih karena tidak dapat gembili. “Padahal gembili ini sudah jarang,” pungkasnya.