Penulis: Kajar Djati
Cerita tutur ini sudah ada turun temurun. Meski tidak bisa dibuktikan kebenaran faktanya, namun cerita ini menjadi kekayaan tersendiri dalam khazanah cerita rakyat Jawa Timur.
Yakni cerita mitos warga Bojonegoro dan Cepu yang dilarang mendaki gunung lawu. Jika kamu penasaran dengan awal cerita kenapa mitos itu muncul, berikut kami suguhkan cerita rakyat tersebut. Cerita ini menjadi salah satu bagian dari buku ‘Cerita Rakyat Jawa Timur’ yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1981. Cerita tersebut berjudul “Dongeng Puncak Lawu” hal: 71-75.
Begini kisahnya:
Alkisah Raja Brawijaya VII, yang merupakan raja terakhir kerajaan Majapahit, memiliki beberapa putra. Putra nomor 5 bernama Bondan Gugur. Raja Brawijaya VII juga memiliki putra yang lain bernama Raden Patah yang di kemudian hari menjadi raja Demak Bintoro yang memiliki gelar Raden Jimbuningrat.
Bondan Gugur inilah yang dipercaya hingga kini membayangi puncak gunung lawu. Ceritanya, Majapahit di bawah Raja Brawijaya VII bertempur melawan Adipati Bojonegara dan Cepu. (Mungkin yang di maksud di sini, perang Demak dengan Majapahit, dan adipati di Bojonegara dan Cepu memihak Demak).
Putra Majapahit Bondan Gugur pun terusir dari istana dan menjadi pelarian karena dikejar-kejar perajurit Bojonegara. Saat itu Bondan Gugur masih kanak-kanak. Dan baru berusia 15 tahun. Sesampai di Sragen, ia kebingungan tak tahu arah jalan. Lantaran terus dikejar, Bondan akhirnya mendaki gunung lawu. Ia mendaki terus hingga sampai di Banyu Urip, lereng gunung lawu sebelah timur. Lantaran sudah tidak kuat, Bondan pun pingsan.
Sementara di Penggik, yang juga di lereng gunung lawu bagian timur, masuk wilayah Cemara Lawang, tinggal seorang Begawan sakti bernama Jamba Loka. Melihat ada anak yang pingsan, ditolonglah ia dan diberi minum air. Bondan pun sadar dan sendang, tempat air yang diberikan kepada Bondan itu kemudian dikenal dengan Sendang Kauripan.
Sang Begawan pun bertanya tentang dirinya. Bondan lalu menceritakan siapa dirinya dan bagaimana bisa sampai ke tempat itu. Sang Begawan tersentuh dengan ceritanya yang dikejar-kejar prajurit Bojonegara.
Lalu, di puncak gunung lawu itulah sang Begawan mengajarkan semua ilmu kanuragan dan kebatinan. Lengkap sudah ilmu yang diberikan. Dan ketika semua ilmu telah diturunkan, sang Begawan mengatakan bahwa sudah saatnya ia pergi dari dunia dan menyatu dengan diri Bondan Gugur. Bondan diberitahu bahwa dirinya akan menjadi raja di puncak gunung lawu.
Sang Begawan pun kemudian menikahkan Bondan Gugur dengan seorang putri cantik yang menjadi permaisurinya. Bondan pun bergelar Hyang Sunan Lawu. Sedang permaisurinya tak lain penjelmaan almarhum Ratu Putri yang mendirikan Majapahit. Ia juga disebut Dewi Angin-angin dan juga Nyi Rara Kidul penguasa laut selatan.
Dikisahkan, Hyang Sunan Lawu memiliki dua senopati. Yakni Hyang Turunggajati dan Kyai Pradhah. Hyang Turunggajati berada di Gunung Tiling dan bertugas menerima tamu sebelum menghadap Hyang Sunan Lawu. Sedang Kyai Pradhah berada di sebelah timur dekat kawah. Ia bertugas menjaga dan mengawasi ketentraman rakyat kecil.
Sehingga, dalam mitos ini, setiap ada orang Bojonegara atau Cepu yang akan naik gunung lawu tidak akan berhasil. Namun, ada yang mempercayai bahwa yang tidak bisa naik gunung lawu hanyalah keturunan Adipati Bojonegoro dan Cepu saja. Sedang warga biasa tidak ada masalah.
Nah, begitulah kisah yang berkaitan dengan mitos orang Bojonogaro dan Cepu dilarang naik gunung lawu. Tapi, saat ini semua kembali kepada diri si pendaki. Apakah ia mempercayai mitos tersebut atau tidak.