Penulis: Kajar Djati
Berawal dari kebutuhan mengangkut hasil kayu jati, dibangunlah sepur, kereta yang menggunakan bahan besi. Sebelumnya, hasil kayu jati diangkut lewat jalur air, yakni sungai Bengawan Solo. Aliran sungai yang berkelok-kelok dan arus air yang tak menentu menjadi salah satu faktor pembangunan rel kereta api (KA) sebagai alternatif jalur pengangkutan kayu jati.
Cara mengirim kayu jati lewat sungai bukanlah dengan dinaikkan kapal atau perahu. Melainkan kayu-kayu dirakit lalu dihanyutkan melalui Bengawan Solo menuju laut dan untuk selanjutnya diangkut menggunakan kapal besar menuju tempat pemasaran.
Warto, sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mencatat pada abad ke-20, tepatnya 1912, jalur KA melintasi wilayah Rembang – Blora – jalur Juana – Rembang – Lasem dibangun. Lalu dilanjutkan pembangunan jalur Rembang – Blora – Padangan dan bertemu dengan jalur Wirosari – Blora dan Kradenan – Randublatung – Padangan – Bojonegoro – Babat – Surabaya. Pada 1915 mulai membuka jalur Lasem – Pamotan – Jatirogo – Bojonegoro, juga jalur Jenu – Tuban – Babat, dan jalur Ngidon – Rengel – Ponco.
Tulisan lengkapnya bisa dibaca di Sasdaya, Gadjah Mada Journal of Humanities, Vol 1, No 2, Mei 2017. Artikel ilmiah tersebut berjudul Hutan Jati Berkalung Besi: Pengakutan Kayu Jati di Jawa pada Akhir Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20.
Pembangunan jalur rel KA bukan tanpa perdebatan. Profesor Warto mencatat, perhitungan untung rugi menjadi salah satu pertimbangan dibangun atau tidaknya rel KA tersebut. Semisal SJS (De Semarang Joana Stoomtrem Maatschappij) yang rencananya membangun rel jalur Pamotan – Jatirogo menghentikan pekerjaannya karena secara ekonomi tidak menguntungkan. (Hal:195).
Sedang Pada 1917 NIS (Nederlandsch-Indische spoor- en tremweg Maatschappijen) merencanakan membangun rel KA Bojonegoro – Babat dan jalur trem Bojonegoro – Jatirogo. Tapi tak langsung terealisasi. Hingga akhirnya NIS mulai membangun jalur Bojonegoro – Jatirogo tahun 1919 dengan panjang 48,9 km.
Kenangan KA Jalur Bojonegoro – Jatirogo
Jalur KA Bojonegoro – Jatirogo pernah menjadi alat transportasi umum favorit masyarakat. Beberapa orang yang pernah naik sepur ini menuturkan, pada era tahun 1980 hingga 1990 an, KA ini menjadi jalur favorit anak-anak sekolah. Karena banyak anak-anak wilayah Tuban seperti Parengan, Bangilan, Rengel, Soko bersekolah di sekolah-sekolah di Bojonegoro.
Gatot Sugiantoro, yang kini berusia 55 tahun mengenang saat masih sekolah dulu, sering naik sepur ini. Gatot tinggal di Kelurahan Kauman, Bojonegoro. Namun, beberapa temannya berasal dari Jatirogo. Sehingga ia kerap bolak balik naik kereta ini.
“Kalau tarifnya lupa-lupa ingat. Mungkin 100 rupiah ya. Dapat kertas kecil, lalu saat di atas kereta nanti dilobangi oleh kondektur,” terangnya di pertengahan November 2023.
KA Bojonegoro – Jatirogo adalah jenis KA ekonomi. Era 1980 an, kereta ini melewati beberapa stasiun. Selepas Bojonegoro, berhenti di stasiun Sembung, lalu Bangilan, dan terakhir Jatirogo. Di stasiun, terkadang kereta berhenti cukup lama. Penumpang bisa turun dan membeli makanan atau minuman.
Isi gerbong kereta tidak seperti sekarang dengan kursi menghadap ke depan atau belakang. Namun, kursi panjang di sisi kanan dan kiri. Sedang di tengah-tengah kebanyakan diisi oleh barang-barang milik para pedagang. Sepanjang KA berjalan, banyak pedagang asongan menjajakan barang dagangannya.
“Bahkan, kalau ada penumpang rombongan yang melambaikan tangan, dan kelihatan, sepur bisa berhenti mengambil penumpang tersebut,” tutur Gatot.
Namun, keasyikan naik sepur Bojonegoro – Jatirogo tersebut berakhir setelah pada 1999, pemerintah menghentikan kereta itu beroperasi. Dan lama kelamaan, jalur tersebut hilang dan beralih fungsi menjadi jalan raya. Sedang di samping kanan-kiri telah berdiri rumah-rumah yang dihuni warga.
Jalur KA Bojonegoro – Jatirogo Sempat Akan Diaktifkan
Kabar jalur KA Bojonegoro – Jatirogo akan diaktifkan kembali oleh PT KAI sudah lama santer terdengar. Namun, awal 2023, kabar itu makin santer terdengar dan mengusik warga yang banyak menempati eks jalur KA tersebut.
Ratusan keluarga di Kabupaten Bojonegoro telah membangun rumah dan fasilitas umum di sepanjang jalur tersebut. Setidaknya ada lima desa di wilayah Kabupaten Bojonegoro yang dilintasi rel jalur ini. Desa Sukorejo, Kelurahan Ngrowo, Kelurahan Karangpacar, Kelurahan Banjarejo yang masuk Kecamatan Bojonegoro, serta Desa Banjarsari Kecamatan Trucuk.
Warga yang khawatir akan terkena dampak pengaktifan kembali rute KA tersebut, kemudian membentuk Paguyuban Pewaris Bangsa yang terus berusaha membatalkan rencana pengaktifan jalur itu.