Matahari siang begitu menyengat. Sabtu 19 Oktober 2024. Saya melihat langsung prosesi pengambilan api dari Kayangan Api, di Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro. Pengambilan api-yang kemudian dikenal dengan Api Abadi-dalam rangka memperingati Hari Jadi Bojonegoro (HJB) ke-347 dengan tema “Bojonegoro Makmur, Masyarkat Sejahtera”.
“Setiap tahun diadakan pengambilan api yang kemudian disemayamkan di pendopo,” ujar Parlan, sang juru kunci Kayangan Api sejak tahun 2018.
Menurut laki-laki berusia 54 tahun tersebut, pengambilan Api Abadi punya makna doa. Yakni agar di Bojonegoro tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atau sebagai simbol tolak-balak. Juga semoga Bojonegoro lohjinawi, toto, titi, tentrem, kerto raharjo. “Agar semuanya tenteram, tidak ada halangan, hasil petani melimpah ruah,” paparnya.
Prosesi pengambilan Api Abadi penuh nuansa seni pertunjukan. Sebanyak 18 penari atau waranggono mulai dari kaum muda hingga dewasa asal Bojonegoro menyajikan tari pembuka Gambyong Wani-wani di depan gapura Api Abadi. Di kanan-kirinya ada pasukan pembawa bendera merah dan putih. Di belakang pasukan bendera, para warga turut serta menyaksikan rangkaian acara pengambilan Api Abadi.
Selain sebagai pembuka, tari tersebut juga bertujuan sebagai penghormatan kepada Empu Kriyo Kusumo, pembuat Api Abadi pada 500 tahun yang lalu, masa Kerajaan Majapahit.
Ada tiga gending wajib yang disajikan oleh beberapa sinden asal Bojonegoro. Gending tersebut adalah Iling-iling, Wani-wani, dan Gunung Sari.
Menurut sang juru kunci, gending Iling-iling memiliki makna untuk selalu iling atau mengingat kepada Yang Maha Kuasa. Sedangkan gending Wani-wani mengajarkan agar selalu wani atau berani dalam mengahadapi segala hal, seperti memberantas kejahatan, ketidak adilan, dan lain-lain. Adapun gending Gunung Sari merupakan simbol dari alam semesta agar Bojonegoro senantiasa gemah ripah lohjinawi.
Di depan para penari, ada cucuk lampah menggunakan beskap hijau, celana pendek hitam, blangkon hitam dan selendang kuning yang memimpin barisan pengambil Api Abadi. Para perempuan mengenakan kebaya hitam dan jarik batik motif atas angin. Sedangkan para laki-laki mengenakan beskap hitam, jarik batik motif atas angin juga dan udeng yang melingkar di kepala khas Suku Samin.
Barisan tersebut terdiri dari Iwan Sopyan selaku Camat Kecamatan Ngasem bersama istri yang membawa bucket bunga. Di belakang mereka berdua ada pembawa payung berbaju garis-garis hitam dan abu-abu. Disusul anggota Tentara Negara Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) dengan baju dinas masing-masing. Selanjutnya ada gadis pembawa nampan berisi keris dan satu gadis lagi membawa sesaji.
Empat pemuda memikul tumpeng ombyong di belakang gadis pembawa keris dan sesaji. Di belakang mereka berbaris rapi anggota pegawai pemerintahan Desa Sendangharjo dan pegawai Kecamatan Ngasem serta Kange dan Yune Bojonegoro. Usai penari membawa bokor (wadah kecil warna emas sebagai tempat bunga untuk ritual) masing-masing, mereka memberikan jalan kepada cucuk lampah beserta rombongan untuk menuju tempat Api Abadi menyala, api tersebut adalah yang paling besar se-Asia Tenggara.
Mereka mengitari Api Abadi sebanyak tiga kali. Disusul para penari yang juga mengitari Api Abadi dengan menyebar kelopak-kelopak mawar dan kenanga dari bokor masing-masing. Prosesi tersebut dilakukan sebagai ritual tolak-balak agar Bojonegoro terhindar dari marabahaya, petaka, penyakit dam lain-lain.
Selanjutnya prosesi pengambilan Api Abadi menggunakan obor yang disulut langsung oleh Parlan. Ia menyerahkan Api Abadi tersebut kepada Yuskaryanto selaku Kepala Desa Sendangharjo. Yuskaryanto kemudian menyerahkannya kepada Iwan Sopyan.
Cucuk lampah kembali memimpin barisan Iwan Sopyan dan para pengiring menuju gapura keluar Kayangan Api. Api Abadi selanjutnya diserahkan kepada punggawa penjaga nyala yang menaiki jeep bersama sopir, Kange dan Yune Bojonegoro menuju jalan raya.
Baru ketika sampai di jalan raya, Api Abadi diserahkan kepada tim pelari untuk dibawa secara estafet menuju kota Kabupaten Bojonegoro yang berjarak sekitar 20 km.
Prosesi pengambilan Api Abadi tersebut memberikan dampak bahagia bagi para warga. Salah satunya Angel yang membawa sesaji. “Seneng banget pastinya, dan semoga acara tahun berikutnya bisa lebih meriah,” ujar siswi SMPN 1 Ngasem tersebut.
Sebagai juru kunci, Parlan juga turut senang sebab di prosesi pengambilan Api Abadi ada begitu banyak macam budaya dan adat yang terus dilestarikan. Ia berharap, di ulang tahun Bojonegoro tersebut, siapapun yang akan menjadi pemimpin baru dapat melalukan tugas dengan baik, bertanggung jawab dan amanah.
“Harapan kita di hari ulang tahun Bojonegoro yang bertepatan menghadapi pilkada, siapapun pimpinannya, itulah yang terbaik. Yang bisa memimpin Bojonegoro, dan semoga bisa amanah dan bertanggung jawab,” harapnya.
Ia juga berpesan kepada para generasi muda Bojonegoro agar terus melestarikan budaya warisan dan tidak terpengaruh oleh budaya asing.
Asal-usul Api Abadi
Dirangkum dari penjelasan Parlan, 500 tahun yang lalu Empu Kriyo Kusumo masuk ke dalam hutan di mana Kayangan Api ada. Ia melakukan pertapaan dan membuat perapian yang berfungsi sebagai pembuatan pusaka seperti keris.
Ketika sudah jadi, pusaka tersebut dimasukkan ke dalam air mendidih atau air blukutuk. Proses tersebutlah yang dinamakan penyepuhan pusaka. Mitos yang beredar, penyepuhan pusaka dipercaya dapat menyembuhkan penyakit, seperti penyakit gatal.
Api tersebut tidak pernah padam meski diguyur hujan. Karena itulah disebut Api Abadi yang menyala dari bebatuan yang disusun melingkar dan ditumpuk-tumpuk. Ada bau belerang yang menyengat ketika berada di dekat Api Abadi.
Konon, menurut cerita tutur warga, Empu Kriyo Kusumo juga moksa di Kayangan Api. Ia bisa ditemui melalui meditasi. “Kalau meditasi malam hari tergantung nyalinya. Auranya bagus, positif, tidak mengganggu, tergantung tujuannya,” terang Parlan.
Perjalanan dan Penyemayaman Api Abadi
Sepanjang jalan menuju kota, setiap sekolah yang dilewati tim pelari pembawa Api Abadi, para siswa turut memeriahkan HJB ke-347 dengan menyambut prosesi perjalanan Api Abadi tersebut. Beberapa warga ada yang membawa bendera kecil dan semua bersorak gembira. Bahkan para warga juga ikut keluar rumah demi menyaksikan api yang terus menyala.
Api Abadi dibawa menuju kantor Badan Koordinator Wilayah (Bakorwil) II Jawa Timur di selatan Alun-alun Bojonegoro untuk transit menunggu malam pelaksanaan Grebeg Berkah Bojonegoro. Perjalanan Api Abadi sampai di Bakorwil II sekitar pukul 17:00 WIB. Baru pada pukul 19:00 WIB di depan Bakorwil II, Iwan Sopyan dan punggawa Kecamatan Ngasem menyerahkan Api Abadi kepada Camat Kecamatan Bojonegoro untuk melanjutkan perjalanan memasuki pendopo Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro.
Pukul 19:30 WIB, Camat Bojonegoro menyerahkan Api Abadi kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bojonegoro sebagai pengejawantahan masyarakat di depan gerbang pendopo Pemkab. Api abadi lantas dibawa masuk ke pendopo Pemkab dan diterima oleh Pj Bupati Bojonegoro Adriyanto pada pukul 19:45 WIB.
Kemudiam Pj Bupati Bojonegoro didampingi jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) menyulut kaldron di dalam pendopo sebagai tanda penyemayaman Api Abadi. Sebagai semangat membangun praja yang tidak pernah padam di hati sanubari segenap aparat pemerintahan bersama warga masyarakat.
Pelaksanaan Grebeg Berkah
Grebeg Berkah merupakan kegiatan tahunan yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro bersama warga masyarakat sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa dan keberkahannya bagi Kabupaten Bojonegoro. Grebeg Berkah menjadi acara semacam Nyadran atau Sedekah Bumi.
“Jika di desa ada Bersih Desa atau Merti Desa sebagai upacara peringatan berdirinya desa setempat, maka Grebeg Berkah ini menandai peringatan Hari Jadi Kabupaten Bojonegoro,” terang Herry Abdi Gusti selaku salah satu panitia dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bojonegoro.
Menurut Herry, seyogyanya Grebeg Berkah diadakan setiap tahun pada tanggal 19 malam menjelang 20 Oktober, sesuai hari jadi Kabupaten Bojonegoro yakni 20 Oktober 1677. Namun terkadang tergantung kebijakan bupati, ada kalanya kegiatan budaya tradisi tersebut ditiadakan, lalu diadakan lagi.
“Grebeg Berkah ini bagus dilangsungkan sebagai tradisi, dibanding arak-arakan, dengan pemikiran untuk keterlibatan warga masyarakat secara lebih nyata manfaatnya,” ungkapnya.
Grebeg Berkah sendiri terdiri atas dua kata, yakni “Grebeg” yang bermakna gerakan serentak bersama-sama yang menggaung atau menimbulkan efek kolosal massal, memengaruhi daya pikir untuk ikut terlibat dalam gerakan dimaksud. Sementara “Berkah” bermakna hasil anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia yang membuat hidup dan kehidupannya tenteram, damai, makmur dan sejahtera.
Grebeg Berkah dimulai pukul 20:00 WIB yang diawali dengan kirab keliling alun-alun yang dipimpin oleh cucuk lampah. Acara tersebut dihadiri seluruh warga 28 kecamatan di Kabupaten Bojonegoro untuk mengarak Gunungan Kayapraja yang bermaterikan hasil bumi.
Setiap kecamatan juga mengerahkan desa masing-masing untuk membawa tumpeng ke alun-alun sejumlah 412 untuk dimakan bersama.
Para warga antusias merubung arak-arakan Gunungan Kayapraja. Di akhir arak-arakan, beberapa gunungan dikeroyok bersama. Lainnya dibawa ke tengah alun-alun.
Masyarakat berbondong-bondong masuk alun-alun dan duduk lesehan menyaksikan rangkaian acara Grebeg Berkah. Sebagian duduk menggunakan karpet yang dibawa dari rumah, sebagian lagi membeli jasa sewa karpet plastik, dan sebagian lagi duduk langsung di rumput alun-alun.
Sebagai pembuka, diadakan doa bersama yang dipimpin oleh masing-masing pemuka lintas agama. Semua berodoa agar Bojonegoro lebih makmur dan sejahtera sesuai dengan tema yang diambil dalam Grebeg Berkah.
Usai doa acara dilanjut dengan penyerahan Tali Asih atau penghargaan untuk 15 seniman dan budayawan Bojonegoro. Masing-masing mendapatkan Tali Asih sebesar Rp 2.000.000.
Seniman dan budayawan tersebut adalah Santoso dari Padangan, Suwarno dari Margomulyo, Rukini dari Padangan, Pardei dari Dander, Imam W.S. dari Kepatihan, Imam Mahdi dari Kadipaten, Sujono dari Sumbang, Supardi dari Sukosewu, Kasdam dari Kanor, Sukijah dari Temayang, Haryanto Nugroho dari Kalitidu, JMW Sunaryo dari Campurrejo, Supiyo (almarhum) dari Dander, Pramujito dari Bojonegoro, dan Suntoro (almarhum) dari Bojonegoro.
Pj Bupati Adriyanto yang mengenakan beskap hitam mengatakan bahwa setiap ulang tahun Bojonegoro pastinya ada harapan agar Bojonegoro semakin jauh maju dan bermanfaat untuk masyarakat. “Semoga Bojonegoro semakin jauh maju untuk masyarakat,” ujarnya.
Selanjutnya Gunungan Kayapraja yang paling besar dan tinggi di depan panggung dikeroyok oleh jajaran pemerintahan dan dilemparkan kepada warga yang datang. Ada yang dapat sayur mayur, buah, dan hasil pertanian seperti bawang merah dan jagung satu kresek penuh, hanya dapat beberapa dan lainnya cukup menjadi pelihat.
Acara ditutup dengan hiburan campursari dari Tomboati. Salah satu warga Dander merasa senang mengikuti Grebeg Berkah tersebut. “Senang meskipun hanya dapat satu terong,” ucap Davina.
Acara tersebut memakan waktu persiapan sebulan karena melibatkan beberapa unsur lintas sektoral, lokasi, prosesi serta properti yang berbeda-beda. Adapun panitianya secara umum terdiri dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, dengan leading-organizer Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bojonegoro.
“Pada hari jadinya yang ke-347 tahun ini kita berharap agar para pengelola praja bisa lebih meningkatkan kreativitas kinerjanya untuk memberdayakan potensi Kabupaten Bojonegoro yang sangat menjanjikan tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Sumber daya alam kabupaten ini harus diurus dan dikelola secara benar, jujur dan adil,” harap Herry selaku panitia acara.[nf]