“Mengapa penguasaan tata bahasa penting dalam praktik jurnalistik?” Itulah pertanyaan yang dilontarkan Kristanto Hadi, Direktur Eksekutif LPDS (Lembaga Pers Dr. Soetomo) saat mengawali materi workshop ‘Berkarya Jurnalistik untuk Publik’, Sabtu (3/8/2024). Workhsop diikuti oleh lebih dari 100 jurnalis dari berbagai media di Indonesia, dan digelar secara daring.
Menurut dia, ada tiga jawaban utama. Pertama, inti jurnalisme adalah akurasi dan tersampaikannya informasi secara jelas kepada khalayak. Kedua, tata bahasa yang digunakan mencerminkan siapa wartawan di hadapan khalayak. Dan ketiga, penguasaan tata bahasa yang baik menjadi bukti wartawan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Tiga jawaban itu membuat saya semakin melek akan pentingnya tata Bahasa Indonesia. Sebagai jurnalis pemula, seringkali urusan tata bahasa kurang menjadi perhatian utama.
Dalam materinya bertema “Memahami Tata Bahasa Indonesia”, Kristanto menyampaikan seringkali berita yang disajikan sudah akurat, tapi kurang jelas. Dalam kasus ini ia memberikan contoh penggalan berita yang banyak menggunakan istilah asing tanpa diberi keterangan berbahasa Indonesia. “(Padahal) berita seperti ini tidak mencerminkan ragam bahasa Indonesia jurnalistik,” tuturnya.
Berita yang merupakan proses komunikasi, menurut dia, sepatutnya disajikan menggunakan kalimat efektif agar komunikasi terjalin baik sehingga dapat mencapai tujuan. Kris-begitu ia biasa disapa-mengatakan bahwa wartawan sekarang sudah banyak yang tidak menggunakan kalimat efektif yang tersusun atas Subyek-Predikat-Obyek-Keterangan (SPOK).
Ada rumus sederhana, yakni lima pertanyaan sebelum menulis berita. Yakni tujuan, sasaran pembaca, kebutuhan pembaca, pesan, serta visi-misi organisasi. Lima pertanyaan itu juga sering dilupakan. Biasanya, wartawan cukup menulis draft pertanyaan tanpa mempertimbangkan lima pertanyaan tersebut.
Menurut Kris, hal ini berakibat berita yang disajikan kurang memenuhi kebutuhan public dan tujuannya tidak terpenuhi. Oleh karena itu, Kris menekankan agar para wartawan mencari jawaban dari lima pertanyaan tersebut yang akan membantu menentukan isi dan struktur pesan yang akan ditulis.
Tidak hanya memberikan materi, Kris juga menyajikan contoh dari penggalan karya jurnalistik milik beberapa media. Diskusi ‘bahasa jurnalistik’ pun menjadi lebih aktif sebab audiens dilibatkan untuk menganalisis apakah berita di contoh sudah memenuhi tata Bahasa Indonesia.
Workshop jurnalistik yang digelar LPDS bersama SKK Migas Jabanusa, selanjutnya tentang teknik menulis berita siber. Materi ini disampaikan oleh Aloysius Arena Ariwibowo, pengajar LPDS. Penulis Maniak Bola ini menekankan agar wartawan selalu membuat kerangka kerja liputan. Selain itu, ia juga menjelaskan secara rinci mengenai nilai berita, fungsi pasak berita, fokus berita dan lain sebagainya.
“Berita siber tidak sekedar terdiri atas rentetan fakta, tapi wartawan juga harus menambahkan dan memperkayanya dengan perspektif,” terangnya.
Melibatkan emosi atau perasaan yang subyektif, lanjut Ari, juga diperlukan. Hal ini harus dilakukan secara tepat dengan cermat mewawancarai narasumber. Ari juga menyinggung tren penggunaan Artificial Intelligence (AI) di dalam industri media saat ini. Menurut dia, sebelum menggunakan AI, wartawan terlebih dulu harus menentukan tujuan dari penggunaan AI tersebut.
“AI mungkin bisa menulis berita dalam kurun waktu 2 menit atau bahkan bisa kebih cepat dari itu. Namun, AI tidak bisa menggambarkan secara detail. Semisal, laut itu luas. Maka AI hanya akan menyebutkan laut itu luas, atau warna biru, sesuai data yang dia rangkus dari berbagai sumber,” terangnya.
Tetapi, ketika wartawan (manusia), bisa menulis lebih dari itu. Seperti laut luas dengan deburan ombaknya, tekstur pasirnya, dan lain-lain. AI tidak bisa menulis secara jurnalisme sastrawi sebab AI tidak memiliki perasaan. AI dirancang untuk membantu manusia, bukan manusia yang untuk AI.
Workshop yang diikuti sekitar 100 lebih jurnalis dari berbagai media di Indonesia ini kemudian mendiskusikan tentang ‘Kode Etik sebagai Sikap Wartawan’. Workshop ini merupakan syarat untuk lomba “Berkarya Jurnalistik untuk Publik, Mendukung 22 Tahun Pengelolaan Industri Hulu Migas”.
Workshop yang diikuti sekitar 100 lebih jurnalis dari berbagai media di Indonesia ini kemudian mendiskusikan tentang ‘Kode Etik sebagai Sikap Wartawan’. Workshop ini merupakan syarat untuk lomba “Berkarya Jurnalistik untuk Publik, Mendukung 22 Tahun Pengelolaan Industri Hulu Migas”.
Materi kode etik ini disampaikan oleh Lestantya R. Baskoro selaku pengajar LPDS dan di Tempo Institute. Baskoro menekankan pentingnya verifikasi dan keberimbangan berita. Ia mencontohkan ada seorang wartawan yang digugat sebab menulis berita dari keputusan hakim tanpa melakukan verifikasi kembali. “Wartawan bukan tempat penampungan lidah maupun ludah dari siapapun,” tegasnya menggambarkan betapa pentingnya verifikasi.
Bas-begitu ia akrab disapa- menerangkan kode etik jurnalistik dari pasal 1 hingga pasal 10 beserta kesalahan yang sering terjadi di dunia wartawan. Beberapa wartawan terkadang menyajikan berita yang tidak berimbang dan memiliki tujuan buruk terhadap suatu oknum. Hal ini tentunya melanggar Kode Etik Jurnaslitik pasal 1 yang berbunyi, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk”.
Menambahkan opini pribadi dalam berita juga menjadi masalah yang sering terjadi. Seperti terlalu melebihkan sebutan untuk pelaku kejahatan, menakut-nakuti pembaca dengan redaksi yang didramatisir dan lain sebagainya.[nf]