“Seruuu! Seperti nonton serial komedi”
***
Selasa, 23 Juli 2024. Sekitar pukul 20.00 WIB, alun-alun kota Bojonegoro sudah ramai pengunjung. Malam itu merupakan hari ketiga rangkain acara B-TIFF atau Bojonegoro Thengul International Folklore Festival, sebuah event tahunan yang melibatkan delegasi 8 negara. Malam itu, pengunjung menunggu pertunjukan ludruk Sarip Tambak Oso Pendekar Lor Kali dimulai.
Kemeriahan sudah tampak dari tata desain panggung yang menghadap selatan. Dua janur melengkung di sisi kiri dan kanan. Pemain musik campursari duduk bersahaja menyuguhkan lagu demi lagu. Penonton memenuhi kursi, lainnya duduk lesehan menggunakan karpet maupun langsung beralas rumput alun-alun.
Ini pertama kalinya saya menonton ludruk. Apa itu ludruk? Saya sempat membatin. Saya berkeliling sebentar, melihat stand-stand yang berjajar rapi menawarkan aneka makanan, kerajinan tangan hingga batik motif Jonegoroan.
Usai membeli es tape, saya mengambil posisi paling depan panggung dan duduk di atas rumput, siap menikmati pentas ludruk bersama ratusan penonton.
Pukul 21.00 WIB ditemani bulan terang, pementasan ludruk berjudul Sarip Tambak Oso Pendekar Lor Kali dibuka dengan sedikit sambutan dari Cak Yanto Munyuk. Ia mengatakan aktor ludruk kali ini 95% generasi muda. Ia mencoba menghidupkan ludruk yang pernah jaya di era tahun 70 an.
“Sebenarnya mereka bukannya tidak tertarik, tapi hanya saja tidak dikenalkan sama ludruk. Adanya Sanggar Seni Teater Tradisi “Abdi Dalem” ini salah satunya untuk mengenalkan budaya-budaya warisan kepada generasi muda,” papar Suyanto atau biasa dikenal dengan Cak Yanto Munyuk, founder Sanggar Abdi Dalem.
Suara gamelan jawa dimainkan dengan cukup bagus oleh pemain yang didominasi anak-anak. Seorang sinden berkebaya cokelat yang rambutnya tergerai terlihat ayu.
Tarian pembuka ludruk pun disajikan oleh tujuh penari perempuan remaja. Rambut mereka disanggul dengan hiasan bunga mawar di kiri dan kanan, mahkota kecil bertengger di tengah. Kebaya hitam, jarik cokelat dan selendang hijau berpadu menambah aura kecantikan mereka.
Tari remo tunggal yang bermakna kepahlawanan sebagaimana lakon cerita ludruk kali ini juga disajikan tak kalah epik dari tarian pembuka. Lalu, tari-tari lainnya terus disuguhkan, seperti tari jaranan dengan kostum serba hitam dan pernak-pernik warna emas. Lonceng kaki yang melingkar di setiap pergelangan kaki penari bikin takjub karena kemampuan penari menyelaraskan dengan irama.
Setelah rangkaian pembuka, ludruk pun dimulai…
***
Ludruk merupakan kesenian tradisional jawa timur yang banyak digemari masyarakat kalangan bawah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui situsnya mendefinisikan ludruk sebagai suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang digelar di sebuah panggung. Ludruk mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya. Kesenian ini identik dengan pertunjukan rakyat karena diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.
Sebelum lakon Sarip Tambak Oso dimulai, adegan pembuka sukses membuat penonton tertawa. Diceritakan, laki-laki bongsor dengan baju abu-abu bergaris, celana pink sampai atas perut dan boneka di dada kirinya sedang mencari temannya, seorang laki-laki tua, berkopyah dan berbaju batik.
“Aku meng nggolek i koe nok omah, Bet. Lawangmu ora ono, bojomu bukaan. (Aku tadi mencarimu di rumah. Pintu tidak ada, istrimu terbuka)”.
Gerrrrrrr….penonton langsung tertawa. Kesalahan berkata-kata yang disengaja dibolak-balik itu membuat penonton semakin fokus pada apa yang ada di panggung. Bagi saya yang pengalaman pertama, menonton ludruk ternyata lebih seru daripada menonton serial komedi melalui ponsel.
Adegan berlanjut. Dua pemain berencana mengganggu Konyil, temannya yang sudah sukses. Konyil sendiri diceritakan laki-laki kaya yang pelit kepada istri. Uang belanja Rp 10.000 sehari, tapi uang sawer penari bisa sampai Rp 100.000. Cerita rumah tangga sehari-hari dikemas lucu dan sederhana tampil cukup menarik di panggung ludruk.
Sebagai ‘pertunjukan pembuka’ Konyil lalu menyampaikan pesan dari panggung, agar semua pihak untuk berkesenian dengan sungguh-sungguh. Bojonegoro memiliki banyak sanggar sebagai wadah belajar, seperti Sanggar Anglingdharma, Sanggar Abdi Dalem dan lain sebagainya.
Lalu, cerita Sarip Tambak Oso Pendekar Lor Kali yang ditunggu-tunggu pun dimulai. Cerita perlawanan pribumi melawan pemerintah Hindia-Belanda masa penjajahan. Adegan pembuka dipentaskan Sarip berkelahi dengan pasukan Belanda dan Paidi, pribumi yang menjadi antek-antek Belanda.
Menurut Paidi (diperankan Purwicaksono atau Novan Fajar Yulianto) ia menjadi antek Belanda sebab sudah lelah dengan pemerintahan dari pihak pribumi yang justru bersekongkol dengan pemerintah Belanda demi kekayaan pribadi.
Adegan lain menunjukkan seorang perempuan tua yang dipanggil Tini (ibu dari Sarip) berjalan lesu menuju meja makan. Ia hanya membawa daun singkong dari kebun tetangga. Hatinya bimbang, pikirannya kacau-balau. Tetangganya, orang-orang desa, mencibir Sarip tukang maling. Namun, nuraninya menolak. Jika Sarip tukang maling, mengapa ia selalu kesusahan untuk makan?
Sarip merupakan anak dari Jaka Muda yang kala itu juga menjadi pahlawan dan jarang pulang sebab ikut perang. Jaka Muda, mengabdi kepada Pangeran Diponegoro, sang pahlawan Perang Jawa.
Sarip kecil diberi jimat paripeh oleh tetua kampung yang diperankan Cak Munyuk. Selain jimat, ia juga mewariskan gaman (pisau) sebagai senjata Sarip di masa depan. Konon, ketika Sarip mati, ia akan hidup kembali ketika mendengar suara Tini, sang ibu.
Setelah menggendong Sarip, Joko pamit pergi berperang dan tidak pernah pulang sampai Sarip dewasa dan Tini menua. Hidup serba kekurangan membuat Tini tidak membayar pajak hingga 20 bulan.
Berawal dari pertemuan para lurah dan Ndoro Mantri yang membahas pajak, berujung kemalangan bagi Tini. Lurah Gedangan mengaku rutin menagih pajak dan menyita barang rakyat ketika mereka tidak punya uang untuk membayar. Sedang Lurah Sedati bercerita bagi yang tidak bisa membayar pajak, istrinya diambil paksa. Berbeda dengan Lurah Osowilangon, lurah dari desa Sarip tinggal. Ia justru sering memberi talangan ketika rakyatnya belum mampu membayar, salah satunya Tini.
Tidak terima ada yang belum membayar, Ndoro Mantri memerintah Lurah Gedangan untuk menagih pajak kepada Tini. Perempuan tua itu langsung tersungkur ketika Lurah Gedangan bermain tangan sebab Tini tidak mampu membayar.
Sarip yang baru datang langsung cekcok dengan Lurah Gedangan. Ia tidak takut menancapkan gaman ke perut laki-laki itu. Seketika, ia mati terkapar.
Demi menyelamatkan ibunya, Sarip segera pergi ke rumah kakaknya yang pemuka agama, Mualim namanya. Tak lama, Ndoro Mantri, para lurah dan pasukan Belanda mengetahui perbuatan Sarip. Sarip pun menjadi buronan.
Ning, kakak ipar Sarip menanggung malu ketika belanja di pasar. Umumnya istri yang cerewet, dia menggerutu kepada suaminya.
“Pokok e aku njalok pegat. Aku isin, Mas, isin. Sak pasar ngomongno adikmu Sarip. Tukang nyolong, pembunuh. Aku isin,” cerocos perempuan berkebaya dan berjilbab merah muda.
Yang jadi topik pun datang, Sarip menceritakan kemalangan yang dialami ibunya dan pengakuan telah membunuh Lurah Gedangan. Serta pengakuan telah mencuri, tapi ia mencuri di rumah pejabat-pejabat Belanda dan memberikan hasil curian kepada pribudi yang membutuhkan.
“Lo yo to bener. Sarip mateni uwong,” ucap Ning menggebu.
Malam makin larut. Penonton masih khusyuk menyimak cerita Sarip. Adegan Sarip berkelahi dengan Paidi semakin seru. Kusir delman itu juga memiliki senjata yang terkenal kesaktiannya. Tidak disangka, Sarip mati di tangan Paidi.
Keajaiban muncul, ia kembali bangkit ketika mendengar suara ibunya, Tini.
***
Founder Sanggar Abdi Dalem, Suyanto atau biasa dikenal dengan nama Cak Yanto Munyuk, mengaku sangat bangga dengan anak-anak muda yang sangat apik memainkan ludruk di alun-alun kali ini. Pementasan ini sekaligus menandakan bahwa ludruk masih terus dilestarikan di Bojonegoro.
Sanggar Abdi Dalem, lanjut dia, selalu berusaha mengenalkan dan melestarikan budaya kepada anak-anak muda. Sanggar ini beralamat di Dusun Mindi RT 25 RW 3 Desa Sugihwaras Kecamatan Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro. Tiap tahun, sanggar membina 8 kelas SMA Negeri Sugihwaras. Para siswa diajari menulis naskah, memerankan tokoh, menyutradarai, dan merias wajah.
Novan Fajar Yulianto (pemeran Paidi), mahasiswa prodi Pedalangan Seni Teater Institut Seni Indonesia ini merasa ikut memiliki tanggung jawab untuk melestarikan dan mengenalkan budaya leluhur. Sehingga, ia bergabung main ludruk bersama sanggar Abdi Dalem.
“Meski memerankan tokoh antagonis, saya tetap profesional. Jadi harus mempelajari permasalahannya dulu, apa masalahnya, apa alasannya melawan,” paparnya ketika diwawancara.
Sedang bagi penonton, pementasan ludruk adalah pengalaman yang mengesankan. Apalagi ludruk sudah jarang dimainkan. “Sebagai generasi sekarang, menonton ludruk merupakan hal baru. Biasanya orang-orang melihat film lewat HP. Ini bisa menyaksikan secara langsung. Selain menambah wawasan, ceritanya juga menarik karena mengangkat kisah sehari-hari,” ujar Kristin, salah satu penonton.[nf]
_____________
Mukaromatun Nisa adalah peserta magang jurnalis, mahasiswa PAI UNUGIRI, Bojonegoro