Sekitar 1.000 tahun lalu, saat Dyah Balitung berkuasa di Medang (Mataram kuno) pernah menetapkan sebuah desa perdikan tepi Bengawan Solo. Dalam prasasti tersebut, desa itu menjadi tempat dermaga penyeberangan sungai Bengawan Solo dan mengatur juga komoditas apa saja yang bisa diseberangkan untuk tata niaga.
Peraturan dan penetapan desa penyebrangan di Prasasti Telang itu menyebut Desa Paparahuan, Desa Tlaŋ (Telang) dan Desa Mahe. Ketiga desa tersebut masuk wilayah Huwusan, wilayah bebas pajak negara Medang.
Uniknya prasasti Telang menyebut Lna atau lenga yang bisa ditafsiri sebagai minyak tanah atau minyak bumi sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Dan wsi atau wesi, besi yang juga diperjualbelikan. Dalam beberapa prasasti, besi menjadi salah satu perlengkapan sesajian saat upacara penetapan sima atau swatantra.
Lokasi desa penyebrangan zaman Dyah Balitung raja Medang diklaim lokasinya berada di Wonogiri. Dan memang prasasti ini ditemukan di daerah tersebut. Tapi teori ini tidak seutuhnya tanpa kelemahan dengan kata lain teori yang lemah, apalagi di Wonogiri tidak ada penambangan tradisional Lna atau lenga, minyak bumi. Pun prasasti ini mudah dibawa kemana-mana karena terbuat dari lempeng tembaga tidak seperti prasasti batu yang beratnya bisa mencapai ratusan kilogram, abot nggotonge.
Penambangan Lna, Lengo atau minyak bumi tercatat berada di wilayah Bojonegoro hingga kini. Tambang minyak tradisional itu menyebar paling sedikitnya di tiga kecamatan mulai dari Kecamatan Kedewan, Kecamatan Kasiman dan Kecamatan Malo.
Minyak bumi di Desa Wonocolo dan Hargomulyo Kecamatan Kedewan dibor pada tahun 1893 lalu di konsesi Tinawun (saat ini masuk wilayah kecamatan Malo) dibor pada tahun 1894. Nama Desa Tinawun ini juga disebut dalam prasasti Adan-adan yang dibuat oleh raja pertama Majapahit Dyah Wijaya sebagai batas wilayah swatantra hadiah untuk seorang Rajarsi, tokoh agama dan ada yang berpendapat bahwa tokoh Rajarsi ini adalah nenek dari Dyah Wijaya.
Di kecamatan Malo ada lima desa yang diketahui pernah ada tambang tradisional yakni Desa Tinawun, Desa Sumberjo, Desa Kacangan, Desa Ketileng dan Desa Banaran. Artinya keberadaan tambang minyak bumi di daerah tersebut lebih dekat dengan Lna, Lengo atau masyarakat Malo, Kedewan hingga Kasiman menyebutnya lantung, minyak mentah yang belum diolah menjadi beberapa produk turunan.
Pun menurut catatan A. J. Van Der Aa dalam Beschrijving Der Nederlandsche tahun 1857 adanya pasar kuno di bantaran sungai Bengawan Solo yang memperjualbelikan Lna atau Lenga dari tambang Desa Wonocolo Kecamatan Kedewan. Selain itu di Desa Telang Malo-saat ini berubah menjadi Dusun Teleng Desa Malo-dikenal sebagai pusat pandai besi kuno, komoditas yang disebut dalam prasasti Telang.
Pun di zaman lebih muda lagi, zaman Majapahit wilayah Wonogiri tidak masuk dalam catatan prasasti Canggu tahun 1358 dibuat Hayam Wuruk yang memuat naditira pradeca atau desa-desa penyebrangan sungai sungai Brantas maupun sungai Bengawan Solo.
Hulu desa penyebrangan Bengawan Solo dalam prasasti Canggu tercatat desa Wulayu yang diperkirakan berada di Solo, enggak nyampe Wonogiri. Wulayu adalah nama kuno Bengawan Solo sebelum nama Semanggi. Toponim nama Semanggi ini masih dikenal dengan nama Kelurahan Semanggi Kecamatan pasar Kliwon Surakarta.
Rentang waktu antara prasasti Telang dan prasasti Canggu sekitar 455 tahun, atau 4,5 abad. Tapi dalam sejarah jejak peninggalan catatan masa lalu menjadi sumber primer untuk mengungkap kondisi sosial, budaya, bahasa, ekonomi maupun politik saat itu.
Dari bukti catatan di atas kecondongan bahwa yang dimaksud dari Prasasti Telang zaman Dyah Balitung raja Medang (Mataram kuno) lebih dari 1.000 tahun lalu ada di wilayah Bojonegoro. Dari rentetan prasasti terutama prasasti Canggu menyebut dengan jelas Nadira Pradeca, desa-desa pelabuhan sungai Bengawan Solo atau desa-desa penyebrangan sungai, diantaranya masuk wilayah Bojonegoro. Jejak toponim prasasti Telang sampai sekarang masih ada Dusun Teleng Desa Malo Kabupaten Bojonegoro.
Tapi catatan sejarah itu akan hilang dalam ingatan publik jika tidak dirawat dengan baik. Tidak adanya kajian sejarah maupun penelitian lebih mendalam segala potensi sejarah Bojonegoro. Yang menyedihkan sampai sekarang kita belum punya museum yang representatif sebagai ruang untuk membaca sejarah padahal begitu penting Matahun, Jipang, Rajegwesi, Padangan yang kelak dalam bahasa Kawi menjadi Boodjonegoro, memberi makan negara dan itu benar dengan adanya eksploitasi Lna, Lengo.
*) Penulis adalah penulis novel dan pencinta sejarah