Penulis: Ririz Abdurokhim
Mbah Syahid Kembangan masyhur ulama penyebar islam di wilayah Kecamatan Gayam, Malo, Ngasem, dan Kalitidu Bojonegoro yang berdakwah lewat metode debus dan ilmu kanuragan, yang kelak dikenal dengan Pencak Kembangan.
Mbah Muhammad Syahid masyhur ulama pendiri Peguron Kembangan. Beliau mendakwahkan islam dengan metode debus dan ilmu kanuragan — sebuah teknik dan metode dakwah yang sangat identik dengan Tarekat Rifaiyyah.
Tarekat Rifaiyyah merupakan tarekat yang didirikan Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i alias Imam Rifai (1118 – 1182 M). Beliau dikenal sebagai satu di antara Quthbu Arba’ah (4 Wali Quthub Dunia) yang sezaman dengan Sayyid Abdul Qadir Al Jailani.
Tarekat Rifaiyyah tumbuh pesat di Irak dan Mesir pada abad 12 M hingga 14 M. Sementara di Indonesia, Tarekat Rifaiyyah mengalami perkembangan pesat pada abad ke- 16 M hingga 19 M di wilayah Aceh, Jawa, Sumatera Barat, dan Sulawesi.
Tarekat Rifaiyah terkenal dengan dakwah debus dan rebana. Untuk diketahui, Debus berasal dari kata Ad-dabbus yang artinya sepotong besi tajam. Sedikit di antara karya Imam Ar-Rifai yang jadi identitas pengikut Tarekat Rifaiyyah adalah Ma’ani Bismillah dan Tafsiru Suratil-Qadr.
Tarekat Rifaiyyah menyebarkan islam menggunakan metode pencak debus. Pengikut Tarekat Rifaiyyah sering menggelar atraksi debus dengan menikam diri menggunakan benda tajam, sambil berzikir. Meski tubuh ditikam benda tajam, mereka tidak terluka.
Snouck Hurgronje, peneliti islam asal Belanda mengatakan, debus dan rebana sangat erat kaitannya dengan Tarekat Rifaiyah. Pengikut Rifaiyyah identik orang-orang yang dikaruniai bermacam keramat seperti kebal, tidak mempan senjata, hingga tidak terbakar api.
Para penganut Tarekat Rifaiyyah percaya, atas izin Allah, dan dengan wasilah dua Wali (Sayyid Ar-Rifa‘i dan Sayyid Al-Jailani), mereka sering memperlihatkan keramat dan keajaiban-keajaiban tersebut melalui berbagai acara atraksi debus.
Di Indonesia, keberadaan Tarekat Rifaiyyah dan debus bisa ditandai melalui keberadaan Peguron Kanuragan. Melalui Peguron tersebut, sang mursyid (guru) mengajarkan konsep ilmu Fiqih, Quran, dalam kemasan ilmu kekebalan.
Tarekat Rifaiyyah punya peran penting sebagai benteng utama pergerakan dakwah dan persebaran islam di Indonesia. Baik persebaran islam era Wali Songo (abad 15 M), maupun persebaran islam sepasca Perang Jawa (1830 M).
KH Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo menyebut, dakwah Wali Songo di Nusantara sempat mengalami kesulitan, karena harus berhadapan secara head to head dengan para Ajar Pandhita yang masyhur memiliki kekuatan magus dan kesaktian luar biasa.
Sebagaimana diketahui, para Ajar Pandhita adalah para penganut ajaran Bhairawa-Tantra. Mereka yang masyhur memiliki daya sakti dan kekuatan luar biasa inilah, yang menjadi salah satu penghalang besar bagi berkembangnya dakwah Islam di tanah Nusantara.
Menurut KH Agus Sunyoto, untuk menjadi tandingan bagi para Ajar Pandhita Bhairawa-Tantra yang masyhur akan kesaktiannya itulah, para sufi yang menganut Tarekat Rifaiyyah datang ke Nusantara untuk mengembangkan dakwah islam lewat tarekatnya.
Mengingat, Tarekat Rifaiyyah dikenal sebagai tarekat yang mengajarkan ilmu debus—ilmu tahan dibakar, ditusuk benda runcing, diiris senjata tajam, dipatuk ular berbisa, dan ilmu sakti lainnya—kepada para penganutnya.
Pada era Perang Jawa (1825-1830 M) dan era setelahnya, komunitas tarekat juga memegang peranan penting dalam rangka perlawanan terhadap penjajah. Satu di antaranya adalah Tarekat Rifaiyyah.
Gerakan Tasawuf, khususnya komunitas tarekat, menurut KH Agus Sunyoto, menjadi benteng utama perlawanan masyarakat nusantara terhadap para penjajah pasca era Perang Jawa. Tak terkecuali Tarekat Rifaiyyah.
Dakwah Mbah Syahid Kembangan
Mbah Syahid Kembangan memiliki nama lengkap Muhammad Syahid bin Syihabuddin al Fadangi (1815-1910 M). Beliau ulama Hamilul Quran yang mendirikan Peguron Kembangan pada sekitar tahun 1855 M.
Tak seperti para saudaranya yang berdakwah dengan mendirikan pesantren Al Quran, Mbah Syahid mendirikan Peguron di Dusun Kembangan, Desa Sudu, Kecamatan Gayam Bojonegoro. Ini agar dakwahnya mudah diterima. Sebab, wilayah dakwah beliau masyhur sebagai tempat “orang-orang sakti”.
Peguron Kembangan, tempat berdakwah Mbah Syahid, masyhur sebagai lokasi gemblengan ilmu kanuragan. Ia menyebarkan islam dengan kemasan ilmu debus-kanuragan. Walhasil, dakwah yang dilakukan Mbah Syahid menuai hasil dan bisa diterima masyarakat sekitar.
Pada paruh kedua abad 19 M (sekitar 1860 M), Peguron Kembangan dikenal sebagai pusat peradaban islam. Masyarakat di sejumlah wilayah seperti Malo, Kalitidu, dan Ngasem, banyak yang belajar di Peguron Kembangan.
Santri-santri Mbah Syahid juga dikenal sebagai para ulama ahli jadug-kanuragan. Di antara para penerus Mbah Syahid yang cukup populer adalah Kiai Muntoho Padangan, Kiai Sanusi Mbarangan, Kiai Syarif Kedungkebo, Kiai Jayyin Pundong, Kiai Yakub Trembes, Kiai Dullah Betet dan banyak lagi yang lainnya.
Dengan melihat ciri-ciri, identitas, dan kecenderungan ilmiah yang diajarkan di Peguron Kembangan, sangat besar kemungkinan Mbah Syahid adalah guru Tarekat Rifaiyyah yang kala itu berkembang pesat di Jawa. Ini bukan tanpa alasan. Tapi dibuktikan dengan banyak pembuktian.
Di antara bukti-bukti keterhubungan Mbah Syahid Kembangan dengan Tarekat Rifaiyyah adalah;
Syekh Syihabuddin (ayah Mbah Syahid) dikenal sebagai seorang Waliyullah yang identik dengan ilmu jadug-kanuragan. Mbah Syahid (sang putra), juga masyhur sebagai ulama yang mengajarkan ilmu debus dan kanuragan.
Mbah Syahid mendirikan Peguron Kembangan, pesantren sekaligus tempat gemblengan ilmu debus-kanuragan. Santri-santri Mbah Syahid, mayoritas masyhur sebagai ulama yang mengajarkan zikir debus dan ilmu kanuragan.
Peninggalan Mbah Syahid yang masih bisa dilihat sampai saat ini, sangat identik Tarekat Rifaiyyah. Di antaranya adalah wirid Bisteguh (Bismillah tafsir Jawa), wirid Surat Qadr, hingga wirid Tiga Kul (3 surat terakhir dalam Al- Quran).
Masya allloh