Saya tiba di sanggar Batik Sekar Ayu ketika pagi membawa hangat sinar matahari awal Agustus 2024. Sanggar tempat produksi kain tenun batik gedog yang legendaris ini berada di Desa Kedungrejo, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban ini begitu tenang. Hamparan kapas yang dijemur memenuhi halaman.
Uswatun Hasanah sang pemilik sanggar tampak sibuk. Saya pun berbaur dengan para pekerja yang sedang memisahkan kapas dari bijinya. Saya pun penasaran, dari mana kapas-kapas itu diperoleh? “Ini dipanen sendiri dari kebun, karena di sini punya perkebunan kapas sendiri,” terang Sarti, salah satu pekerja.
Sanggar tenun batik gedog Sekar Ayu cukup luas. Bangunan terbagi menjadi beberapa ruangan. Ruang utama merupakan tempat untuk menerima tamu serta konsumen. Dinding ruangan tersebut dihiasi jejeran pigura. Ruang kedua merupakan ruang bak istana batik, karena seluruh dinding bergelantungan kain tenun dengan goresan lilin yang sangat indah dan menawan. Sedang ruang ketiga adalah tempat untuk belajar dan memproduksi batik gedog.
Di ruangan ketiga itulah para pekerja melakukan proses tenun dan batik. Ruangan tersebut bersifat semi outdoor sehingga memiliki udara yang semilir ditemani suara kicau burung dari taman burung yang terdapat di sisi kiri ruang. Ruangan ini juga dikelilingi pohon rindang sehingga angin bebas masuk dan memberi kenyamanan bagi pekerja.
***
Sejarah singkat sanggar Sekar Ayu
“Dulu setiap orang bisa memintal dan menenun, termasuk nenek dan ibu saya. Namun seiring berjalannya waktu semakin berkurang masyarakat yang memintal dan menenun serta membatik. Karena tidak mau budaya ini hilang, saya mengajak anak-anak SD sepulang sekolah untuk belajar membatik di rumah saya”.
Itulah sepenggal kisah Uswatun Hasanah pemilik sanggar Sekar Ayu saat merintis batik gedog. Itu terjadi sekitar tahun 1990 an. Dan para pekerja yang kini bergabung ke sanggar batiknya adalah peserta didik yang dulu pernah diajari memintal dan menenun.
Uswatun Hasanah memang dikenal sebagai wanita yang tangguh dan pekerja keras. Melihat jumlah penenun dan pemintal kapas yang makin jarang, ia pun mulai bergerak. Tenun gedog tak boleh mati, pikirnya.
Uswatun kemudian bertekad untuk kembali membangun semangat masyarakat serta meregenerasi dalam upaya pelestarian warisan budaya ini agar tidak hilang. Ia kemudian mengajak anak-anak SD sepulang sekolah untuk belajar membatik. Kegiatan it uterus dilakukannya hingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan. Melihat antusiasme anak-anak itulah yang menggerakkan Uswatun mendirikan Sanggar Batik Sekar Ayu pada tahun 1993.
“Dulu anak-anak semangat karena setiap karya yang dihasilkan selalu saya hargai, bahkan orang tuanya mendukung karena dengan belajar membatik dan mendapat sedikit tabungan bisa digunakan untuk beli perlengkapan sekolah,”kenangnya.
Menariknya anak-anak yang dulu belajar membatik di Sanggar Sekar Ayu kini masih tetap menjadi pembatik setia di Sanggar Batik Sekar Ayu.
Uswatun-biasa disapa Bunda-menuturkan cerita menarik di balik nama batik ‘Sekar Ayu’. Nama Sekar Ayu sebenarnya adalah nama yang ia gunakan saat on air di radio. “Saya dulu senang kirim lagu di radio dengan menggunakan nama samaran Sekar Ayu. Sehingga saya terbesit untuk memberi nama sanggar dan usaha batik ini dengan nama Sekar Ayu,” jelasnya.
***
Ruang Belajar Batik
Sekar Ayu tak sekedar bisnis. Akan tetapi ada nafas Pendidikannya, yakni melestarikan kebudayaan khas Tuban. Sanggar Sekar Ayu digunakan untuk belajar tentang pembuatan batik, mulai dari petik kapas hingga menjadi batik yang indah dengan nilai jual yang tinggi. Tidak heran jika Sanggar Batik Sekar Ayu selalu menjadi jujukan para mahasiswa dari seluruh Indonesia.
Sanggar Sekar Ayu memproduksi kain tenun batik sendiri mulai dari bahan baku kapas hingga menjadi batik yang bernilai jual tinggi. Pembuatan Batik Gedog dengan bahan baku kapas yang dipintal dan lanjut ditenun dengan mengajak masyarakat Desa Kedungrejo. Selain untuk melestarikan budaya juga untuk membantu perekonomian warga desanya.
“Kapas ini kita punya kebun sendiri, sehingga kapas kita panen sendiri terus dipisahkan dari biji kapas. Setelah itu kami serahkan pada pemintal. Lalu disetorkan kembali ke kami dalam bentuk benang dan dikerjakan oleh penenun. Penenun setor setiap 2 minggu sekali, karena untuk menghasilkan 1 potong membutuhkan waktu 3 hari, setelah itu disetorkan kembali ke kami dan kami proses untuk dibatik dan pewarnaan,” jelas Uswatun.
Semua tahapan dalam proses pembuatan Batik Gedog masih menggunakan cara tradisional dan masih kental dengan budaya nenek moyang. Diantaranya menenun masih menggunakan alat yang terbuat dari kayu. Selain benang dan kain yang dibuat sendiri, warna dari Batik Gedog Sekar Ayu juga diproses dengan manual, karena warna yang digunakan adalah pewarna alam.
“Semua produk kami adalah handmade, mulai dari benang hingga pewarna, kami juga mendapat penghargaan sebagai UMKM pecinta alam karena menggunakan warna alami,” terangnya.
Warna di Batik Gedog memang masih menggunakan warna alam. Warna biru misalnya, dibuat dari tumbuhan indigofera tinctoria atau tumbuhan tom dalam bahasa jawa. Tumbuhan itu direndam selama 24 jam yang dicampur dengan gula jawa. Untuk warna cokelat dari kulit kayu dicampur dengan gula jawa yang direndam selama 24 jam.
Batik Gedog Sekar Ayu memiliki 3 jenis batik. Yaitu Gedog Lurik yang berbahan dasar kain yang ditenun dengan kapas campuran yaitu kapas lowo (warnanya agak kecoklatan) dan kapas putih dengan tenunan berpola. Kedua adalah Batik Gedog polos yang berbahan dasar kain yang ditenun tanpa pola. Sedang ketiga adalah Batik Gedog batik lurik yaitu batik gedog dengan goresan lilin di atas kain tenun yang ditenun dengan berpola.
Selain tiga macam Batik Gedog, sanggar yang dikelola Uswatun juga memproduksi bermacam pola. Yaitu pola klasik kuno, pola lokcan, pola panji,pola kembang waluh, serta masih banyak macam pola yang indah. Dari batik tersebut dijadikan berbagai macam produk seperti kemeja, blazer, taplak meja, sayut, sepatu dan kaos. Selain Batik Gedog, sanggar juga menjual batik dengan kain biasa.
Batik Gedog Sekar Ayu menjadi pembuktian Uswatun dalam upaya pelestarian warisan nenek moyang. Berbagai prestasi berhasil diraih sanggar karena keindahan dan kualitas Batik Gedog Sekar Ayu yang diproduksi. Penghargaan itu diantaranya UMKM Awards pada tahun 2010, juara 1 UPPKS se-JawaTimur, penghargaan UPAKARTI, serta masih banyak lagi penghargaan. “Kami juga eksis di pameran dalam dan di luar negeri seperti di Swedia, Singaporadan Kamboja,” cerita Uswatun.
***
Tantangan Regenerasi
Pada era sekarang, menurut Uswatun Hasanah, banyak tantangan yang harus dihadapi, diantaranya: regenerasi. Karena sekarang yang menenun hanya tinggal sekitar 50 orang lansia. Paling muda berusia 40 tahun.
Meski demikian, ia tetap optimis generasi milenial akan meneruskan tradisi. Usahanya untuk melestarikan lewat sanggar, tak akan pupus. “Anak milineal harus bangga menggunakan batik dan harus memiliki rasa saling memiliki. Dengan seperti ini, kita akan menjaga warisan bangsa ini”, pesan uswatun.
Hingga kini, Batik Gedog Sekar Ayu menjual beragam jenis batik. Target pasarnya juga sangat bervariasi mulai dari kelas bawah hingga atas dengan golongan produk yang berbeda-beda. Batik Gedog memiliki target pasar kelas menengah ke atas karena memiliki harga mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.Sedangkan untuk kelas menengah ke bawah, Sanggar Sekar Ayu juga menyediakan batik tulis dan batik cap. Batik jenis ini memiliki harga mulai dariRp 100 ribu hingga Rp 500 ibu.
“Kalau Batik Gedog kebanyakan peminatnya adalah orang Jakarta, Bali, serta dari luar negeri. Karena harganya yang memang sesuai dengan proses pembuatannya. Sedangkan untuk batik biasa itu kebanyakan pesanan dari sekolah untuk seragam,” terang Uswatun.{nf]
________________
Sahra Dwi Irma Rosida adalah peserta magang jurnalis, mahasiswa Unigoro Bojonegoro