Secara historis, Kabupaten Bojonegoro memang bukan daerah pusat kerajaan, seperti Solo (Surakarta) atau Yogyakarta. Akan tetapi, bukan berarti tradisi sastra jawa tidak berkembang di Bojonegoro. Boleh dibilang, Bojonegoro menjadi salah satu pusat perkembangan sastra jawa. Banyak penulis sastra jawa dari Bojonegoro meraih penghargaan tingkat nasional.
Para penulis sastra jawa, diakui atau tidak, sebenarnya telah mengenalkan wajah Bojonegoro dalam rupa yang lain. Jika selama ini, Bojonegoro dikenal sebagai daerah kaya sumber minyak dan gas bumi, dengan suburnya sastra jawa di Bojonegoro, maka publik bisa mengenal wajah daerah ini dengan kacamata yang agak berbeda.
Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB) merupakan komunitas sastra jawa yang mempunyai andil besar dalam mengenalkan Bojonegoro sebagai pusat sastra jawa. Komunitas ini didirikan oleh beberapa penulis, diantaranya JFX Hoery, Djajus Pete (alm), Yusuf Susilo Hartono, dan beberapa penulis lain tahun 1982.
Sekedar informasi tentang PSJB, bahwa sebelum komunitas ini lahir, sudah ada pertemuan rutin tahunan untuk para penulis sastra jawa. Pertemuan-pertemuan itu biasanya digelar para penulis di Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang. Menutip laman mastumapel.com, menurut salah satu pendirinya, JFX Hoery, dari pertemuan-pertemuan itulah kemudian tumbuh organisasi-organisasi sastra jawa di daerah. PSJB di Bojonegoro, Triwida di Tulungagung, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya. Sedang di Yogyakarta ada Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta.
Langkah PSJB yang menerbitkan (minimal) 1 buku karya sastra bahasa jawa, merupakan Langkah konsisten yang telah berjalan bertahun-tahun. Tak mengherankan jika banyak para penulis yang tergabung di PSJB memperoleh penghargaan, diantaranya dari penghargaan Rancage dan Sutasoma, serta penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tercatat, hingga kini ada 60 judul buku yang diterbitkan PSJB.
Di luar PSJB, tentu saja banyak penulis maupun pembaca sastra jawa. Semisal dalam lingkup sekolah, perguruan tinggi, atau komunitas-komunitas masyarakat. Apalagi, dunia digital memudahkan para pecinta sastra jawa untuk saling bertaut dan berbagi informasi. Buku-buku sastra jawa mudah untuk diperoleh dengan banyaknya pedagang buku online. Dengan kata lain, iklim untuk mempertahankan dan mengembangkan sastra jawa cukup kondusif.
Tantangan Ke Depan
Kehidupan masyarakat yang lebih banyak bertumpu pada ‘bumi digital’ di satu sisi memungkinkan sastra jawa dikenalkan dengan mudah. Yakni melalui cara-cara keninian yang relate dengan keseharian anak muda. Akan tetapi, pada sisi yang lain, sastra jawa juga menemukan tantangan, yakni adanya keseragaman budaya akibat keseragaman informasi di dunia digital.
Oleh karena itu, menjadi tanggungjawab bersama, baik pemerintah maupun masyarakat untuk terus mengampanyekan cinta sastra jawa. Pemerintah, dari level pusat hingga daerah, perlu untuk mendorong penggunaan bahasa daerah (jawa) dalam proses kreatif bersastra. Bahasa daerah adalah cara paling efektif untuk mengungkapkan pemikiran dan imajinasi, yang dibentuk oleh lingkungan. Bahasa daerah mewakili budaya masyarakat pemiliknya. Sehingga, keberadaan sastra jawa akan mempertahankan budaya jawa, mempertahankan filsafat jawa.
Selain komunitas seperti PSJB dan lembaga sekolah yang mengajarkan sastra jawa, perlu peran semua pihak untuk mengembangkan sastra jawa di Bojonegoro. Salah satunya yang berposisi strategis adalah media. Panjebar Semangat atau Jaya Baya adalah dua media yang hingga kini menjadi rujukan para pecinta sastra jawa. Keberadaan media-media cetak seperti Panjebar Semangat dan Jaya Baya, perlu diimbangi dengan media-media online di level lokal daerah.
Media lokal memiliki audiens yang lebih jelas dibanding media nasional. Hal ini lebih dikarenakan persentase isu yang diangkat adalah isu lokal. Media bisa mendorong perkembangan sastra jawa dengan menyediakan ruang untuk pemuatan karya sastra jawa. Apalagi, media lokal juga memiliki potensi untuk mengembangkan sastra jawa dengan bahasa lokal, Bahasa Jonegoroan.
Sastra jawa Jonegoroan bisa menjadi ciri khas Bojonegoro untuk mengembangkan bahasa lokalnya. Bahasa Jonegoroan merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Bojonegoro. Pemanfaatan Bahasa Jonegoroan sudah sering dilakukan oleh beberapa penulis sastra jawa, namun gerakan ini perlu didorong agar lebih massif.
Sebagai kesimpulan, bahwa Bojonegoro tak hanya mempunyai kekayaan alam yang cukup besar. Akan tetapi juga mempunyai kekayaan budaya berupa sastra jawa yang masih dilestarikan oleh para pecinta sastra jawa. Tak hanya melestarikan, para penulis sastra jawa telah mengharumkan nama Bojonegoro di kancah sastra nasional. Dengan prestasi-prestasi yang diraih oleh para penulis sastra di Bojonegoro, maka akan bergaung tidak hanya di lokal Bojonegoro, melainkan juga di level nasional.
_______________
Kajar Alit Djati adalah pecinta sastra jawa, tinggal di Bojonegoro