Jalan berliku hidup yang dilalui, membawa Ahmad Samsul Huda menuju satu muara: tukang sol sepatu, bisnis yang diwariskan keluarga. Ia pernah mencoba keluar dan menjalani dunia lain dengan merantau ke Malang hingga Jakarta, namun pada akhirnya ia tetap harus balik ke Bojonegoro dan kembali ke dunia masa kecilnya: sol sepatu.
Sejak 2019, Pak Huda, begitu biasa ia disapa membuka lapak sol sepatu dan sandal di Jalan Panglima Polim, Kelurahan Sumbang, Kecamatan Bojonegoro. Tepatnya di depan sebelah timur Perpustakaan Umum Bojonegoro, pas setelah tikungan pertigaan sebelah selatan. Sebelumnya ia membuka lapak di pasar kota.
“Awal pindah karena covid-19. Pasar jadi sepi. Untuk tetap menyambung hidup, harus bisa inisiatif. Akhirnya pindah ke sini,” katanya.
Saya berada di lapak Pak Huda pada awal Juli 2024. Waktu itu, ia tidak sedang menjahit sepatu atau sandal. Saya mengobrol lumayan lama. Sambil duduk, ia memulai ceritanya membuka bisnis sol sepatu.
Dulu semasa kecil, katanya, ia biasa mengayuh sepeda onthel dari Ledok Kulon menuju pasar kota Bojonegoro, tempat bapaknya membuka lapak sol sepatu. Tahun 1987, ia menginjak bangku sekolah SMP. Berbekal keahlian menjahit sepatu, selepas sekolah ia membantu bapaknya menjahit sol sepatu dari pukul 13.00 WIB hingga 15.00 WIB. Dua tahun ia membantu menjahit sepatu atau sandal yang sudah putus atau yang masih baru supaya lebih kuat.
“Sebagai anak, malu ketika membantu orang tua lalu mengharap gaji atau yang lainnya. Jadi waktu itu, saya tidak pernah menerima apapun dari Bapak. Saya niati belajar,” jelasnya ketika diwawancarai Rabu (3/7/2024).
Di tahun ketiga belajar, Huda kecil sudah bisa membuka lapak sendiri bermodalkan glodok atau kotak persegi mungil yang bisa dijinjing atau dislempangkan di pundak. Di kotak itu, semua ‘alat perang’ menjahit sepatu dan sandal sudah tersedia. Seperti benang, jarum, gunting dan lem. Ia mangkal di tengah pasar kota samping kios-kios pakaian dan sandal.
Seiring berjalannya waktu, bapaknya semakin tua. Sedang, Pak Huda mempunyai dua adik. Ia pun bertekad menjadi tulang punggung keluarga. Bapaknya ‘pensiun’. Sehingga, ia kemudian menggantikan posisi bapaknya, membiayai adik-adiknya.
“Saya bersaudara enam, saya nomor empat. Yang tiga sudah menikah. Nggak mungkin meminta bantuan ke saudara yang sudah berumah tangga. Jadi mau nggak mau ya saya yang nanggung (adik),” terangnya.
Baginya, dalam bekerja adalah istiqomah dan bersyukur. Karena dengan melakoni profesi itu, ia membuktikan bisa menyekolahkan dua adiknya hingga lulus. “Yang satu lulusan SMAN 1, yang satunya lulusan SMKN 1,” terangnya.
Pak Huda yang ramah itu kini berusia 50 an tahun dan memiliki dua anak menuturkan, dulu ia pernah mencoba menekuni pekerjaan lain. Yakni buruh pabrik di perusahaan elektronik. “Beberapa kali sudah merantau. Pernah di Malang, di Jakarta juga. Tapi cocoknya jadi tukang sol. Ya sudah saya nikmati,” ujarnya.
Menurut dia, tukang sol sepatu adalah pekerjaan paling santai dan menyenangkan. Sambil menjahit sepatu, ia bisa ngobrol dengan konsumen agar semakin akrab. Selain menjahit sepatu dan sandal, ia juga menerima jahitan tas.
Dalam sehari, rata-rata ia menerima jahitan sebanyak 3-4 sepatu maupun sandal. Selain menjahit, ia juga menjual berbagai macam sandal dan sepatu bekas yang masih sangat layak pakai. Ia mengatakan membeli sepatu-sepatu itu dari beberapa orang yang menawarkan. Lapaknya buka dari pukul 09.00 WIB hingga 15.30 WIB.
“Kalau seharian nggak ada pelanggan, jam dua siang sudah pulang,” ucapnya tetap tersenyum.
Pak Huda seperti sudah menyatu dengan profesinya. Saat ramai maupun sepi konsumen, ia tetap tersenyum bersyukur. Ia selalu mampu memaknai kondisinya dengan ikhlas. “Kalau nggak ada pelanggan, ya tidur kayak tadi. Intinya apapun itu disyukuri. Ada pelanggan alhamdulillah, belum ada pelanggan bisa tidur,” sambungnya.
Dari usahanya itu, ia merasa senang bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai lulus. Anak pertama lulusan At-Tanwir, sedang yang terakhir belum lulus. Ia juga merasa bersyukur mendapat support dari PLN, yakni dibuatkan gerobak untuk membuka lapak.
Dari konsistensinya itulah, Pak Huda bertemu dengan orang-orang baik dan mendapatkan kebaikan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.[nf]