“Aku ngramban sik,” kata-kata itu sering diucapkan istriku ketika pagi menjelang sarapan. Selang beberapa menit, ditangannya diperoleh segenggam daun ketela. Atau di lain hari, setelah ngramban dan masuk rumah membawa daun kemangi untuk disantap dengan sambal terasi.
Ya, boleh jadi, ngramban adalah tradisi dari nenek moyang kita sebagai upaya memanfaatkan tumbuhan di sekitar rumah untuk dikonsumsi. Ada daun ketela, kemangi, daun singkong, cabai, daun jeruk (untuk memasak), daun pisang untuk pembungkus makanan yang dikukus, dan sebagainya. Sederhananya, banyak tumbuhan di sekitar yang bermuara ke dapur.
Ngramban adalah tradisi yang masih lestari hingga kini. Lestari katamu? Oh, begini. Maksud saya, di sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang hidup di pedesaan, seperti saya ini, ngramban tetap menjadi pilihan. Jika di perkotaan, mungkin ngramban bukan pilihan tepat, ketika sayuran tak banyak ditanam, atau setidaknya pekaran rumah diisi dengan bunga-bunga cantik nan mahal. Daun ketela ataupun kemangi, tentu berada di bawah strata kembang-kembang mahal itu.
Pada perspektif budaya, ngramban bisa dilihat pada sisi keterikatan manusia/masyarakat pada lingkungannya. Antara manusia dan alam menyatu, saling terikat, saling membutuhkan. Manusia dihidupi oleh alam, dan manusia merawat apa-apa yang tumbuh dari tanah. Kebiasaan menanam dan menggarap lahan, menjadi kebiasaan untuk bertahan hidup.
Ketika makanan dan minuman instan menggempur perut kita setiap hari, maka diperlukan sebuah jalan lain untuk membangun benteng dari gemburan itu. Salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah menanam tanaman pangan, mulai sayuran, buah, bahan pokok seperti padi, dan lainnya. Pada titik ekstremnya, ketika tak ada penjual makanan di luar, atau ada krisis pangan melanda dunia, kita tak akan sampai terguncang. Kita akan tetap bisa bertahan hidup. Dan pada sisi lain, apa-apa yang kita tanam sendiri, lebih bisa dipastikan alaminya. Sehingga, ngramban tak sekedar demi ketahanan pangan, melainkan juga demi ketahanan badan. Karena apa yang kita ngramban, tentu lebih sehat dibanding dengan makanan-makanan instan.
Di Kabupaten Gunungkidul, terdapat Sekolah Pagesangan (SP), yang mentradisikan masyarakat untuk mengakrabi alam sebagai sumber pangan. Di SP, pendidikan diarahkan untuk lebih mengenali alam, yang dekat dengan pertanian. Anak-anak dikenalkan dengan aktivitas ngramban, mengolah manakan dari hasil pertanian, dan sebagainya. (Baca aja: Sekolah Pagesangan Ajak Anak Gali Budaya Tani Subsisten di Lahan Gersang Kudungkidul, Tulisan Titah AW, 2023).
Nah, bagaimana di sekitarmu? Tradisi ngramban masih lestari? Atau sudah tidak ada sama sekali? (nanang fahrudin)