Gadget banyak memicu persoalan sosial hingga kriminal. Gadget juga banyak mengubah pola komunikasi di sekolah, keluarga, hingga di ruang publik.
Tema ini diulas mendalam oleh Dr. H. Yogi Prana Izza, Lc,MA dalam sarasehan “Mempersiapkan Generasi Z dan Alpha di Era Gadget” pada Kamis (19/12/2014) di Pendopo Malowopati Pemkab Bojonegoro. Kegiatan ini dalam rangka peringatan Hari Ibu.
Dalam pemaparannya, Ustadz Yogi, begitu biasa disapa, selaku narasumber sarasehan memaparkan bahwa permasalahan pendidikan dan pengasuhan berawal dari phubbing dan disfungsi komunikasi. Phubbing merupakan sikap seseorang yang asyik dengan gadget ketika sedang mengobrol dengan orang lain. Fenomena phubbing ini sangat sering dijumpai pada generasi Z dan Alpha.
“Bapak ibu pastinya sering ketika menyuruh anak: nduk tuku gula. Pasti jawabnya sik!” ucap Yogi mencontohkan masalah yang sering terjadi dalam keluarga.
Disfungsi komunikasi sendiri, menurut Ustadz Yogi, merupakan komunikasi yang tidak berfungsi. Komunikasi antara orang tua dan anak seringkali diabaikan. Padahal, dampak dari phubbing dan disfungsi komunikasi ini menurut dia sangat fatal.
Anak bisa merasa tidak dihargai dan cenderung menutup diri, anak merasa kurang mendapat perhatian dari orang tua, anak berisiko mendapatkan tekanan psikologis, dan anak dapat berpotensi menarik diri secara lingkungan maupun sosial.
“Pernah ada kasus gantung diri di kamarnya. Setelah ditelurusi, ternyata sebabnya disfungsi komunikasi,” ujarnya membeberkan dampak negatif dari disfungsi komunikasi.
Sumber masalah pendidikan dan pengasuhan lainnya, menurut Yogi, adalah kecanduam sosial media. Kecanduan sosial media ini tidak hanya terjadi pada kalangan anak, tetapi juga orang tua.
“Di sini ada enggak? Yang kalau makan difoto dulu, diunggah di status? Di sini ada yang apa-apa diupload di sosial media bahkan ketika itu masalah rumah tangga?” Yogi bertanya pada audiens yang semua para ibu. Dan suara serentak menjawab “iya”.
Perilaku tersebut, kata Yogi, merupakan ciri-ciri dari kecanduan media sosial. Orang cenderung pamer atau selalu mengupdate kegiatan sehari-hari yang menyebabkan tidak adanya lagi privasi, baik yang bersifat senang maupun susah.
“Contohnya, andai saja laki-laki mengerti. Atau umpomo bojoku Rafi Ahmad,” terang Wakil Rektor Unugiri Bojonegoro.
Sebenarnya memposting makanan dan kegiatan tidak apa-apa. Akan tetapi yang berbahaya jika tidak melakukan update story, seseorang menjadi gelisah sehingga bisa menjurus ke mental disorder.
Beberapa masalah juga timbul akibat dari sebuah unggahan sosial media. Banyak anak lebih memilih curhat ke sosmed, dibandingkan ke orang tua.
Anak-anak pun menjadi fomo (fear of missing out) di mana sangat bergantung pada gadget. Apabila gadgetnya tertinggal atau rusak, ia akan merasa gelisah, sikap ini disebut fomo phobia. Sehingga, anak cenderung menarik diri dari lingkungan sekitar.
Kecanduan media sosial ini, menurut Yogi dapat mengakibatkan cyber bullying, penipuan, mengundang kriminalitas dan perusakan karakter.
“Ada studi kasus di Bandung, anak-anak umur 14-20 yang ekonominya justru menengah ke atas, banyak dibawa om-om karena merasa kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang tua. Akibatnya berujung di kamar hotel. Ketika ditanya apakah orang tuanya tahu, ia menjawab kedua orang tuanya sibuk,” papar Yogi.
Solusi Keluarga
Menghadapi masalah-masalah tersebut, Yogi memberikan beberapa tips untuk diterapkan di keluarga masing-masing sebagai bentuk penyiapan generasi muda menuju Indonesia Emas 2024. Solusi pertama adalah penerimaan cinta antar anggota keluarga. “Fungsi keluarga adalah fungsi cinta,” kata Yogi.
Para anggota keluarga juga harus saling menghargai dan melakukan aktivitas bersama, orang tua perlu memberikan nilai-nilai kebajikan dan menerapkan komunikasi yang terbuka dan jujur.
“Penanaman nilai-nilai cinta, saling menghormati, memberikan kasih sayang ini tidak bisa digantikan oleh apapun. Jika ini sudah tidak ada, tidak ada lagi kebahagian di keluarga,” terang Yogi.
Sementara itu, Ika, seorang ibu dari tiga anak perempuan gen Z dan Alpha mengajukan pertanyaan dalam sarasehan ini. Sebagai ibu yang menghadapi anak perempuan usia 20 tahun, ia mengaku belum bisa menerima curhatan anak terkait lawan jenis.
“Sehingga anak saya itu bilang gini, Bunda nggak asik kalau diajak cerita topik ini,” curhat Ika.
Menanamkan kepercayaan orang tua kepada anak menjadi saran solusi dari permasalahan Ika. Orang tua harus mampu menanamkan kepada anak bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar. Dan ketika ada masalah, anak harus terbuka dan jujur kepada orang tua.
“Kadang ibu itu terlalu berlebihan melindungi, dan tidak memberikan ruang pada anak. Ini tidak baik juga. Anak harus diberi satu kepercayaan, yang mana kepercayaan ini adalah satu tanggung jawab. Sehingga ibu menjadi tempat pulang kembali,” ungkap Yogi.
Ibu yang lain bernama Umma turut bertanya tentang cara menegur anak yang melakukan kesalahan. Sebagai ibu, ia merasakan jika ditegur dengan cara halus, anak cenderung menghiraukan. Namun, jika menegur dengan keras, sang ibu takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Ustadz Yogi memaparkan bahwa ada kalanya menegur secara halus, dan menegur secara lebih tegas. Ia merekomendasikan buku bacaan “Personality Plus” agar orang tua mampu memahami dan membedakan posisi karakter anak, sehingga orang tua tahu tindakan apa yang cocok untuk buah hati.
Salah satu audiens yang merupakan bapak dari lima anak bernama Yanto memberikan pengalamannya dalam mendidik anak. Menurut Yanto, untuk menumbuhkan kepercayaan anak, oranag tua harus bisa menjadi teman sebaya.
“Saat ngobrol sama anak saya yang SMP, maka saya harus bisa berkomunikasi dengan gaya anak SMP. Begitu pula saat saya berbicara pada anak saya yang SMA,” terang Yanto.
Dihan yang merupakan ibu dari dua anak laki-laki usia 10 dan 5 tahun juga berbagi pengalamannya dalam mengasuh anak. Menegur anak untuk hal-hal tertentu, menurut Dihan, memang harus dilakukan dengan tegas.
Usai menegur, biasanya Dihan dan suami melakukan perbincangan terkait satu hari itu dengan sang anak sebelum mereka terlelap.
“Jadi ada momen ngobrol, biasanya sebelum tidur ada sharing terkait hari ini. Harus tahu kelebihan anak untuk memudahkan orang tua memberikan pengasuhan dan pengajaran,” ucapnya.
Di penghujung Sarasehan, Agus, sang moderator, memberikan kesimpulan bahwa anak perlu diberikan pendidikan bijaksana terkait penggunaan teknologi, juga tentang keterampilan sosial, emosional, dan kognitif.[nf]