Malam ditemani angin yang berhembus pelan. Halaman Stadion Letjend H. Soedirman Bojonegoro cukup ramai pengunjung. Sebuah panggung bertuliskan ‘Malam Pentas Seni Sanggar Tari Anglingdharma Tahun 2024’ menjadi pusat perhatian, Sabtu (13/7/2024) malam itu. Ada gambar gunungan wayang dan berjajar pot bunga menjadikan panggung lebih hidup.
Ya, mereka sedang asyik menyaksikan pagelaran tari oleh para siswa Sanggar Tari Anglingdharma. Mereka terdiri dari usia siswa PAUD, TK, SD, SMP, serta masyarakat. Mereka menggelar tikar dan duduk lesehan menyebar di depan dan samping panggung. Malam makin riang.
Sebanyak 206 penari naik ke panggung dan Sebagian memenuhi space di depan panggung. Ini menandai dibukanya pentas. Penari di atas panggung membuat beberapa lingkaran dan mengangkat jari-jemari tangan lalu duduk serempak. Di tengah, masih ada satu penari yang berdiri. Dan ialah ratunya.
Mata penonton lalu tertuju pada para penari ada di depan panggung. Mereka memainkan selendang merah. Disusul penari kostum hijau yang memainkan selendang warna hitam. Dengan formasi dua-dua, mereka naik panggung secara teratur dan tetap dengan gerakan menari.
“Kamu kok Latihan terus, tapi nggak pentas-pentas?”
“Kamu beneran mau jadi penari?”
Sepenggal obrolan para penari yang sepintas seperti gurauan itu mengiringi opening. Para penari ingin membuktikan bahwa sebagai jagoan harus percaya diri. Menari bukan hal yang remeh-temeh. Dengan menari bisa berkeliling daerah di Jawa Timur, bahkan keliling Indonesia. Dan lagi, melestarikan budaya itu keren.
“Biaya pentas ini murni dana swadaya dari para wali murid siswa Sanggar Tari Anglingdharma,” kata Anisa, Ketua Pelaksana Malam Pentas Seni Sanggar Tari Anglingdharma,
Anisa mengenakan blazer batik cokelat dan jilbab warna senada. Menurut dia, pentas ini merupakan evaluasi kegiatan belajar siswa selama setahun. “Juga melatih kepercayaan diri dan kemandirian, serta sebagai promosi bahwa Sanggar Anglingdharma menerima peserta didik baru setiap minggu,” terangnya. Sanggar tari yang berdiri sejak 2013 itu kini memiliki 260 siswa dari kelas A-E.
Budianto, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bojonegoro yang hadir memberi apresiasi atas digelarnya pentas tari ini. Ia senang ragam budaya dan seni Indonesia diajarkan sejak dini di Sanggar Tari Anglingdharma.
Malam pentas seni ini memang makin meriah karena ada stand-stand UMKM di sepanjang ‘jalan’ menuju panggung. Apalagi, acara dipandu oleh host yang cukup terkenal yakni Rina dan Yugho. Tak mau kalah, mereka juga mengenakan kostum bak penari. Berkostum hiasan burung mliwis putih, mahkota berbentuk burung mliwis putih melinggar gagah menghiasi kepala, lengkap dengan sayap di kepak kiri dan kanan.
Rina mengisahkan sedikit tentang kisah burung mliwis putih, jelmaan dari Prabu Anglingdharma yang dapat berbicara dengan binatang. Sebab tidak bisa menepati janji kepada Dewi Setiowati, ia berubah menjadi burung mliwis putih untuk mengelabuhi Dewi Uma dan Dewi Rati.
***
Penari makin bersemangat, dan penonton makin nyaman di tempatnya. Lagu Bagimu Negeri dan dua bendera merah putih berkibar. Dilanjut lagu Sipatokaan yang mengiringi para penari Kembang Pegon, Sun Kembang Osing dan Ksatria dengan tetap mengibarkan merah putih. Penari Gendro masuk panggung dan kembali menari diiringi lagu Sajojo.
Lagu anak-anak yang penuh keceriaan mengiringi tari kolaborasi, seperti Soleram yang dilanjut tari holiyaliyo. Suasana pentas makin ramai saat jeda tari, ada pagelaran busana yang diperagakan oleh para model dari DND Modelling Course. Mereka berjalan anggun dan menampilkan banyak pose serta senyum mengenakan kebaya kebanggaan.
Malam itu, tak hanya siswa yang penuh semangat tampil menari. Tapi, para wali murid yang kebanyakan para perempuan turut serta memberi semangat dengan meneriakkan yel-yel. Suasana malam pun makin terasa hidup.
Sebagai tari pembuka dipilih operet cita, sebuah tari Anglingdharma. Kelas A yang berisi anak-anak PAUD dan TK menampilkan tari Bermain, Beruang, Ikan, Sepur Othok dan Anak Indonesia. 12 anak perempuan dengan hiasan kepala warna ungu dan baju senada menampilkan tari bermain dengan gembira dan gemulai seperti saat mereka dolanan. Tari ini diiringi lagu yang mengungkapkan keindahan semesta.
Sekadar catatan, Tari Beruang merupakan tari seremonial penduduk asli Amerika di musim semi. Para penari satu per satu melangkah dan tangan bertolak pinggang seperti beruang. Mahkota beruang tampak menggemaskan bertengger di kepala mereka.
Sedang tari ikan membawa keriangan tersendiri. Anak-anak mengatupkan tangan di depan kepala dan berlari memasuki panggung seperti ikan. Di kepala mereka, mahkota berbentuk ikan melingkar sempurna. Tari ikan menjadi ekspresi seni dengan makna kehidupan dan kelimpahan yang diberikan oleh Dewi Sri.
Beda lagi dengan Tari Sepur Othok dibawakan dengan alat mainan bernama sepur othok yang ketika didorong mengeluarkan bunyi othok-othok. Sanggul penari yang menyerupai nasi tumpeng itu diberi hiasan emas berbentuk layang-layang.
Satu persatu tarian dipentaskan. Siswa kelas B atau kelas 1-2 SD menyajikan tari Onclang Kidang dengan hiasan kepala berbentuk kidang dan alis yang meliuk menggambarkan tanduk kidang yang cantik. Ternyata tarian ini melatih motorik halus dari sang penari.
Juga ada tarian Pitik Walik dengan kostum merah dan kepak sayap di kedua tangan. Para penari mengenakan mahkota berbentuk ayam dan terdapat pom-pom di jenggernya. Salah satu gerakannya, penari mengepakkan sayap.
Beda dari penari yang membentuk rambut dengan unik dan apik, kali ini tarian Shalawat Mantra dipentaskan mengenakan jilbab ungu yang belakangnya menjuntai seperti selendang. Mereka membawa properti kipas warna kuning. Tari ini menyajikan pujian-pujian kepada Sang Pemberi Kehidupan.
Mengenakan kostum hitam berpadu orange dan emas, penari Jumpritan tampak bersemangat saat melompat dan berlari. Tari ini memiliki pesan untuk terus melestarikan budaya tradisional.
Sementara siswa kelas B tak mau ketinggalan. Mereka menampilkan tari Caping Ayu. Sesuai namanya, masing-masing penari membawa caping berlukis bunga yang menggambarkan kehidupan petani. Gerakannya pun seperti adegan petani di sawah.
Para siswa kelas 3-4 SD, menyajikan Tari Terompet, Tari Angguk Jos (bermakna syukur atas panen padi), Tari Reog Kendang, dan Tari Garuda Nuswantara yang menjadi perlambang Bangsa Indonesia.
Kelas D yang berisi anak SD kelas 5-6 menyajikan Tari Bang-bang Wetan atau yang berarti abang-abang sisih wetan atau semburat merah di ufuk timur yang menandakan pagi. Juga mementaskan Tari Nyambih Pelteng (mengambil air di mata air dengan sukaria), Tari Holiya Liyo, dan Tari Renggong Manis yang merupakan visualisasi tradisi Betawi.
Ika Kusmawati, guru tari Sanggar Anglingdharma, mengatakan pentas ini memang menghadirkan banyak macam tari dari seluruh nusantara. Tentu dengan tambahan kreasi dan modifikasi. Ia bersama guru tari lainnya ingin terus berinovasi dengan menampilkan tari yang berbeda di pentas seni tiap tahunnya.
Di penghujung acara, ada penampilan dari kelas E yang terdiri dari siswa SMP, SMA, perguruan tinggi dan masyarakat umum. Kelas paling tua ini menyajikan tari Kembang Pegon yang terinspirasi dari Manten Pegon asal Surabaya dengan properti bunga-bunga panjang dari lidi dan kertas klobot. Juga Tari Sun Kembang Using yang memainkan selendang dengan luwes dan gemulai yang disusul Tari Gendro. Tari Ksatria membikin penonton deg-degan, karena menyuguhkan gerakan-gerakan silat.
Tak terasa, malam sudah larut. Para penonton masih setia di depan panggung. Sekitar pukul 23.00 WIB pentas diakhiri. Mereka pun pulang membawa keyakinan bahwa melestarikan budaya adalah keren.[nf]
_______
Mukaromatun Nisa adalah peserta magang jurnalis, mahasiswa UNUGIRI, Bojonegoro.
Menyala 🔥
Selalu keren Mbak Nisa’.