Nama Suyanto mungkin tak banyak yang tahu. Namun, nama Yanto Munyuk, tentu sudah dikenal luas, terutama masyarakat seni budaya di Kabupaten Bojonegoro. Apalagi, pensiunan PNS ini, sudah 39 tahun menjelajah dunia seni, terutama ludruk.
Siang itu, Jumat (29/11/2024), saya berbincang cukup lama dengan Yanto Munyuk di pendopo alun-alun Bojonegoro. “Setiap hari Rabu saya datang ke Kebun Binatang Surabaya dan selalu membawa kaca. Waktu melihat kera, saya selalu bercermin. Terus seperti itu sampai satu tahun hingga saya benar-benar bisa merias wajah yang sama persis dengan kera,” ungkap laki-laki berkacamata itu menceritakan awal mula Namanya menggunakan kata Munyuk di belakang Yanto.
Munyuk merupakan bahasa Jawa yang berarti kera atau monyet. Saat itu, ia tengah menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) pada tahun 1992. Pengamatan itu ia lakukan khusus untuk keperluan rias diri yang menjadi kebutuhan jurusan kuliahnya, yakni Rias Tata Busana.
Ilmu rias tema kera itu diterapkannya saat pulang ke Bojonegoro dan pentas di acara Hari Jadi Bojonegoro. Ia mementaskan kisah Anoman, drama romansa Dewi Shinta, Ramayana dan Rahwana. “Ketika saya berperan jadi Anoman, sebanyak 20 anak-anak ludruk saya rias menjadi kera yang sangat persis dengan aslinya. Sejak saat itulah orang-orang memberi gelar Yanto Munyuk,” paparnya.
Yanto lahir di Madiun. Setelah lulus sekolah, ia mendapat pekerjaan di Bojonegoro pada tahun 1985.
“Saya berjanji, di manapun saya bekerja, maka saya akan mengabdi di tempat itu, dan menikah dengan penduduk di situ,” terangnya.
Janji tersebut menjadi kunci semangatnya dalam berkesenian. Ia terus konsisten melestarikan seni dan budaya Bojonegoro. Ia pun menggeluti ludruk, tayub, serta seni pertunjukan tradisional lainnya. Ia pernah menampilkan tayub di Pekan Budaya Jawa Timur di Gedung Cak Durasim Surabaya tahun 1993. Ia juga membawa nama Bojonegoro untuk menjuarai Festival Teater tingkat Jatim dan nasional di tahun 2014.
Perjalanan seninya juga mengantarkannya ke Langkawi International Festival of Art (LIFA) tahun 2002. Ia berperan sebagai penulis naskah, konseptor dan penari. “Sembilan hari di Malaysia,” ujarnya.
Selain berperan aktif dalam mengenalkan seni Bojonegoro ke pihak luar, Yanto juga memiliki misi untuk terus menghidupkan seni di kalangan masyarakat Bojonegoro sendiri. Ia mencoba untuk terus dekat masyarakat agar seni senantiasa hidup dengan cara menjadi pramugari tayub, MC manten, cucuk lampah, dan MC campursari. “Cara saya agar seni terus tetap hidup, saya harus dekat masyarakat,” ucapnya penuh senyum.
Pengalamannya berorganisasi di bidang seni juga membawanya masuk di Dewan Kesenian Bojonegoro (DKB) pada tahun 1996. Melihat pawai budaya yang selalu digelar saat Hari Jadi Provinsi, ia berkeinginan agar Bojonegoro juga memiliki budaya yang khas saat hari lahirnya. Pada tahun 2008, ia mencetuskan Grebeg Berkah yang hingga saat ini terus dilakukan sebagai peringatan Hari Jadi Bojonegoro.
Yanto merasa perlu terus berkiprah di Bojonegoro. Selain mengenalkan seni, ia juga berusaha mengenalkan tokoh-tokoh hebat dari Bojonegoro. Seperti Tumenggung Aria Sasradilaga, adik ipar dari Pangeran Diponegoro. Ia merupakan pahlawan sekaligus Bupati Rajegwesi pada tahun 1827. Ia juga yang memimpin perlawanan dari Bojonegoro sampai Lasem pada Perang Jawa dari tahun 1825-1830. Dan saat proyek pembangunan jembatan Trucuk akan dilakukan pada tahun 2016, Yanto ikut mengusulkan nama Sasradilaga.
“Seperti pahlawan Sasradilaga yang menyelamatkan Suratin dan tahanan lainnya dari Kabupaten Boneka Belanda atau Rajekwesi, jembatan dengan nama Sasradilaga ini juga menyelamatkan penduduk Tulung dan Trucuk dari belenggu akses jalan,” paparnya.
Masyarakat Tulung dan Trucuk, kata Yanto, sangat dekat dengan pusat kota, tapi mereka harus melewati jalur menyeberangi Sungai Bengawan Solo dengan perahu.
Pensiun dari PNS, tak membuatnya berhenti berkarya. Bapak dari tiga anak itu, pada Oktober 2024 lalu mengikuti Bosnian Cultural Center (BKC) bersama 29 seniman lainnya mewakili Indonesia di Sarajevo Bosnia Herzegovina. “Berangkat dari Bojonegoro tanggal 7, tanggal 8 sampai Jakarta baru ketemu sama teman-teman seniman dari NTT, Kalimantan, Bandung, dan Betawi. Lalu pada tanggal 9 ke Dubai, terus Turki, baru ke Sarajevo,” katanya. Selain pentas seni, Yanto juga menjadi pemateri pencak silat Indonesia di University of Sarajevo.
Menghidupkan Ludruk yang Sempat Mati Suri
Kesenian tradisional ludruk pernah mengalami masa jaya di Bojonegoro. Ludruk merupakan drama tradisional yang dibawakan oleh kelompok seni di atas panggung. Pertunjukan ludruk biasanya mengangkat tema kehidupan sehari-hari masyarakat, kisah perjuangan, dan tema lainnya. Kesenian ini erat kaitannya dengan pertunjukan rakyat, karena seringkali diselingi dengan humor dan diiringi musik gamelan.
Tahun 1985, ludruk masih banyak dimainkan di desa-desa. Hampir setiap desa ada kelompok ludruk. Namun, ludruk mengalami mati suri untuk beberapa waktu. “Karena tercerai-berai, putusnya generasi, dan kurangnya perhatian pemerintah, menyebabkan ludruk sempat mati. Tapi tahun 1996 hingga 1997 masih ada ludruk dari luar kota seperti Madiun, Jombang, dan Mojokerto yang main di Bojonegoro,” ungkapnya.
Yanto merasa eman dengan ‘musibah’ yang menimpa ludruk. Ia mencoba menghidupkan ludruk kembali dengan mendirikan Sanggar Seni Teater Tradisi ‘Abdi Dalem’ pada tahun 2012. Sanggar itu terletak di Dusun Mindi RT 25 RW 3 Desa Sugihwaras Kecamatan Sugihwaras.
Desain Sanggar Abdi Dalem sendiri sangat nyeni. Banyak koleksi seni dan budaya yang dikumpulkan Yanto. Bahkan sanggar itu bisa dikatakan museum mini yang menyimpan koleksi-koleksi berharga.
Di sanggar yang juga rumahnya itu, mulai 2018, ia aktif mengajar ludruk setiap hari. Selain ludruk, ia juga mengajar ketoprak yang juga sempat mengalami mati suri. Jika ludruk memiliki format menggunakan tari remo, kidung Jula-Juli, lakon dan fashion show, sedangkan ketoprak memiliki format gending, gambyong, dan lakon.
“Selesai Ashar latihan, Maghrib pulang. Nanti habis Isya ada yang latihan lagi. Kalau Sabtu-Minggu, setengah 10 pagi juga ada latihan. Nanti lagi sore dan malam,” katanya.
Para anggota sanggar terdiri dari tiga generasi, ada seniman ludruk Bibit, Darminto, dan Dasim. Ada mahasiswa-mahasiswa dari Insitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta juga dan ada remaja-remaja Gen-Z yang banyak diisukan kurang dan tidak menyukai seni.
“Sebenarnya mereka itu bukan tidak suka, hanya saja tidak dikenalkan. Nyatanya ketika dikenalkan mereka suka, mau belajar dan pentas bahkan sampai lomba,” ujarnya.
Format tiga generasi itu sebagai upaya regenerasi agar ludruk dan seni lainnya tetap lestari. Para anggota sanggar dilatih membuat naskah sendiri, merias sendiri, dan bermain peran.
Yanto mengaku begitu bersyukur atas kehidupan yang ia jalani khususnya di dunia seni. Ia selalu menjalani harinya dengan ikhlas. “Saya bersyukur dengan nikmat apapun yang diberikan-Nya. Termasuk ketika dapat pekerjaan jadi guru. Walaupun di luar tanah kelahiran. Namun, tetap saya syukuri dan ketika harus memilih sisi seni budaya. Bisa mewujudkan janji hati sanubari yang saya sampaikan,” tuturnya.
Di akhir wawancara, Yanto Munyuk memberikan wejangan: “Urip iku urup, yen bisa kudu terus aweh pepadhang mring liyan, daya mring sapadha padha. Murih nalika kita wus tanpa daya bisa nunut cahya lan daya darbe liya,” katanya dalam Bahasa Jawa.
“Bahwa hidup itu adalah potensi cahaya. Hendaknya kita harus bisa memberikan jalan terang pada sesama, serta memberikan daya tenaga (memberdayakan) pada sesama. Karena kelak ketika kita sudah tidak berdaya, bisa mengikuti cahaya dan tenaga orang lain yang kita butuhkan,.
Menurut Yanto, kita ini dibutuhkan orang lain, dan suatu saat, kita membutuhkan orang lain. Maka saat kita hidup di dunia ini tidak boleh eggois. Sebagai makhluk sosial saling membutuhkan, memberi dan menerima.[nf]