Kerupuk adalah makanan ringan yang populer di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Makanan ini terbuat dari bahan-bahan seperti tepung tapioka, udang, ikan, atau daging yang diolah dan kemudian dikeringkan hingga menjadi keripik yang renyah.
Kerupuk datang dalam berbagai varian, seperti kerupuk udang, kerupuk ikan, atau kerupuk sayur, ada juga krupuk klenteng. Makanan ini sering disajikan sebagai pelengkap dalam hidangan seperti nasi goreng, soto, atau sebagai camilan.
Rasanya yang gurih dan teksturnya yang renyah membuat kerupuk menjadi favorit banyak orang. Kerupuk juga memiliki peran penting dalam budaya Indonesia, sering hadir dalam acara-acara spesial dan perayaan, seperti Hari Raya Idul Fitri.
Nah, kali ini kami akan menyampaikan informasi tentang krupuk klenteng Bojonegoro. Orang-orang di Bojonegoro menyebutnya sebagai Kerupuk Klenteng karena diproduksi di sebelah timur Klenteng Hok Swie Bio yang terletak di Jalan Jaksa Agung Suprapto, Bojonegoro.
Sejarah Singkat Krupuk Klenteng Bojonegoro
Kerupuk klenteng lebih dari sekadar produk kuliner yang melibatkan aspek ekonomi. Kerupuk klenteng mencerminkan sebuah narasi yang kaya tentang perjuangan keluarga Tionghoa di Bojonegoro, yang mencampurkan elemen budaya Jawa, Eropa, dan Tionghoa.
Kisah ini berawal pada tahun 1929, saat Bojonegoro dipimpin oleh Bupati Raden Adipati Aryo Kusumo Adinegoro dan kondisi ekonomi sedang membaik berkat politik etis yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Di tengahnya, pasangan suami-istri Tan Tjian Liem dan Oei Hay Nio memulai perjalanan usaha kerupuk tradisional dengan cita rasa gurih alami yang unik.
Sebelum merintis usaha ini, Tan Tjian Liem dan dua rekannya belajar cara membuat kerupuk di Sidoarjo, lalu mereka membuka usaha kongsi yang sayangnya tidak bertahan lama.
Dulu, alat-alat yang digunakan untuk membuat kerupuk sangat sederhana, seperti wajan tembaga sedang, guci untuk menyimpan garam, dan alat pres yang dioperasikan secara manual.
Usaha kerupuk ini dimulai oleh Tan Tjian Liem dan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Tempat produksi kerupuk berada di bagian belakang rumah bergaya arsitektur Eropa, yang dulunya adalah gudang klobot milik keluarga.
Generasi berikutnya, yaitu Tan Lan Nio dan suaminya Njoo Hong Liat, meneruskan usaha kerupuk ini dan membuat kerupuk klenteng semakin terkenal di masyarakat.
Selama Agresi Militer Belanda kedua pada tahun 1948-1949, rumah produksi kerupuk ini digunakan sebagai tempat pengungsian warga.
Pada masa itu, para pedagang kerupuk dari berbagai daerah datang dengan sepeda untuk membeli kerupuk, kebanyakan dari luar Kota Bojonegoro, dan seringkali menginap di sana.
Inovasi Pemasaran Krupuk Klenteng Bojonegoro
Dulu, cara menjual Kerupuk Klenteng memiliki keunikan tersendiri. Kerupuk tidak hanya dikemas dalam wadah plastik, melainkan direntengi dan dilengkapi dengan lubang-lubang kecil.
Kemudian, tali dari gedebok pisang kering atau daun pandan dimasukkan, dan kerupuk digantung di toko-toko untuk dijual kepada konsumen.
Pada masa itu, bungkusnya menggunakan kertas koran. Barulah pada tahun 1978, bungkusnya diganti dengan plastik, mengubah cara penjualan Kerupuk Klenteng seperti yang kita kenal sekarang.
Usaha Kerupuk Klenteng kemudian diambil alih oleh Suyanto, yang merupakan Ayah dari Anton Indarno, setelah dipegang oleh Tan Lan Nio. Suyanto, salah satu dari sembilan bersaudara, mengelola usaha kerupuk klenteng hingga tahun 2012.
Untuk menarik perhatian konsumen, saat ini packaging kerupuk dirancang semenarik mungkin, dan sebagai bukti kualitas kuliner khas Bojonegoro.
Melalui perjalanan panjang ini, di era digital dan pengaruh media sosial, Kerupuk Klenteng telah berinovasi dengan membangun branding di berbagai platform media sosial.
Saat ini, masyarakat luas bahkan dari luar Kabupaten Bojonegoro dapat dengan mudah menikmati Kerupuk Klenteng dengan rasa asli.