“Manuskrip rata-rata ditulis tahun 1820. Artinya, sebelum perang Diponegoro, kita sudah kaya literasi. Bojonegoro sudah keren sejak lama,” tutur Ahmad Wahyu Rizkiawan, peneliti manuskrip kuno, dalam acara Ngobrol Buku Nuntera, Sabtu (7/12/2024).
Dalam obrolan buku secara online ini, Wahyu Rizkiawan, menjelaskan bahwa Bojonegoro, yang waktu itu bernama Jipang, gudangnya penulis produktif. Hal itu terbukti dari banyaknya manuskrip yang ditemukannya. “Hanya saja belum banyak diulas,” terangnya.
Bagian kecil dari manuskrip yang ditemukan Rizki, diulas dalam buku Tarikh Padangan yang diterbitkan oleh Nuntera. Di situ, hanya sisi ketokohan dari penulis manuskrip saja yang banyak diulas.
Rizki menjelaskan, manuskrip kuno yang ditemukan menggunakan daluwang. Yakni kertas yang terbuat dari serat kayu. Salah satu penulis manuskrip kuno adalah Mbah Abdurrahman Klotok, dari pesantren Klotok. Banyak hal ditulis oleh Mbah Klotok, diantaranya tentang perjalanan (travelling) ke Palestina.
Dengan ditemukannya manuskrip-manuskrip tersebut, Rizki berkeyakinan, gerakan literasi di Bojonegoro sudah ada sejak lama. Warga Bojonegoro harus percaya diri dengan gerakan literasi, karena memang bersanad ke orang-orang hebat. “Komunitas literasi atau membaca itu punya sanad yang tak terputus. Dulu, Masyarakat Bojonegoro ya membaca dan menulis,” terangnya.
Sayangnya, image Bojonegoro sebagai pusat literasi memudar seiring buku CLM Panders berjudul Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java- Indonesia. Buku itulah yang kemudian banyak mempengaruhi warga Bojonegoro memandang dirinya.
Obrolan buku yang digagas oleh Penerbit Nuntera ini diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan. M Sholihin, pencinta kajian sejarah menuturkan bahwa posisi Bojonegoro yang dilalui Sungai Bengawan Solo sangat strategis. “Di masa lalu, yang dilewati sungai itu menjadi jalur tradisi keilmuan. Pusat keramaian itu menjadi pusat keilmuan,” tuturnya mengemukakan analisa.
Menurut dia, sangat mungkin Bojonegoro menjadi pusat peradaban di masa lampau. Karena posisi strategis Bengawan Solo. Bojonegoro berada di tengah antara hulu dan hilir.
Sementara itu, Bustanul Arief, warga Bojonegoro yang banyak berkecimpung di dunia pemberdayaan masyarakat mengungkapkan, wacana yang diungkapkan oleh Wahyu Rizkiawan cukup menarik. Hal ini perlu diperluas dan diketahui para stakeholkders. “Agar wacana ini bisa makin berkembang,” terangnya.
Apa yang disampaikan dalam Obrolan Buku ini, menurut Arief bisa menjadi refleksi generasi muda untuk melihat masa lalu dari pespektif lain.
Ngobrol Buku Nuntera sendiri merupakan kegiatan literasi yang digagas oleh Nuntera. Kegiatan ini rutin setiap dua minggu sekali dengan menghadirkan narasumber sesuai bidangnya. Kebanyakan mengulas buku-buku populer yang menarik.