Kini, sedang ada kirab Pataka Jer Basuki Bawa Beya dalam rangka peringatan HUT Ke-78 Provinsi Jawa Timur. Kirab akan berakhir pada 11 Oktober 2023 di Gedung Grahadi Surabaya.
Nah, di situ ada Jer Basuki Bawa Beya sebagai semboyan kirab Pataka. Tapi apa sebenarnya maknanya?
Definisi Jer Basuki Mawa Beya
Jer Basuki Mawa Beya, sebuah ungkapan Jawa yang sering kali disalahartikan, sebenarnya menyimpan makna yang dalam dan bermakna filosofis. Kata-kata ini berasal dari empat komponen Jawa yang tersusun rapi:
“JER” yang bermakna memang.
“BASUKI” yang berarti selamat berhasil, bahagia.
“MAWA” yang artinya biaya atau dana.
“BEYA” yang juga berarti biaya atau dana.
Jadi, secara harfiah, ungkapan ini berarti bahwa setiap keinginan, cita-cita, dan kebahagiaan pasti membutuhkan biaya, baik itu berupa uang, tenaga, pikiran, atau bahkan pengorbanan lainnya (Suratno & Astiyanto, 2009).
Filosofi yang terkandung dalam ungkapan “Jer Basuki Mawa Beya” sangat dalam terkait dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa yang kental akan etika dan kebenaran. Oleh karena itu, falsafah ini sangat tepat untuk dijadikan pedoman hidup, terutama bagi mereka yang akan atau sedang menjadi pemimpin atau wakil rakyat.
Mereka adalah pelayan publik yang harus memprioritaskan pelayanan optimal terhadap masyarakat, serta kesejahteraan bersama. Hal ini sejalan dengan tujuan pelayan publik sejati, yaitu mendedikasikan diri untuk kepentingan publik, bukan untuk keuntungan pribadi semata.
Untuk mencapai tujuan mulia ini, yang seharusnya dipegang teguh oleh setiap pelayan publik, dibutuhkan “BEYA” yang harus dibayar. “BEYA” dalam konteks ini mengacu pada pengutamaan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi (Ferianda, 2017).
Je Basuki Mawa Beya dalam Konteks Makna Politik: Menghalangi Ambisi yang Merugikan
Agnes Angelita Setiadi, dari Fakultas Psikologi, Program Studi Magister Psikologi SainsUniversitas Surabaya, dalam karya ilmiahnya yang dipublikasikan di JUrnal Insight Vol 15 No 1 April 2019 mencoba menganalisis penerapan Jer Basuki Mawa Beya yang sering salah kaprah.
Dalam kesimpulannya, terutama di ranah politik, memahami makna sejati dari ungkapan Jer Basuki Mawa Beya menjadi semakin penting. Hal ini karena setiap individu, terlebih lagi pemimpin dan wakil rakyat, memiliki dorongan untuk mencapai keinginannya. Namun, tanpa memperhatikan konteks dengan baik, dorongan-dorongan ini dapat menggerakkan individu ke arah yang salah.
Lebih berbahaya lagi, jika individu ini merupakan pemimpin atau wakil rakyat di negara demokratis seperti kita. Individu yang tidak mampu mengatur dirinya sendiri dapat melakukan segala cara dan mengorbankan apapun untuk mencapai tujuannya. Karakteristik bangsa Indonesia yang cenderung bersifat kolektif dapat memperparah situasi ini, terutama jika norma-norma kelompok mulai bergerak ke arah yang kurang baik.
Contohnya, jika banyak orang dalam lingkup politik terlibat dalam korupsi, hal itu dapat menciptakan anggapan bahwa korupsi adalah hal yang wajar atau bahkan halal. Oleh karena itu, penting bagi setiap pemimpin dan wakil rakyat untuk selalu mencermati, menghargai, dan menerapkan filosofi dari ungkapan “JER BASUKI MAWA BEYA” yang berasal dari nilai-nilai kebudayaan lokal.
Dengan memahami dan menghayati makna sejati dari filosofi ini, diharapkan dapat membentengi mereka dari dorongan-dorongan yang dapat membawa mereka ke arah yang merugikan. Ungkapan ini mengingatkan bahwa setiap keinginan, cita-cita, dan kebahagiaan pasti membutuhkan pengorbanan, dan harus dilakukan dengan kesadaran penuh. Dengan cara ini, para pemimpin dan wakil rakyat akan mampu menjalankan tugas mereka dengan penuh dedikasi, integritas, dan memberikan pelayanan terbaik untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.