Masyarakat jawa punya sistem kekerabatan yang kuat. Tak heran jika banyak istilah atau sebutan yang menunjukkan statusnya dalam pohon keluarga. Misal paklek, bulek, pakdhe, budhe, dan lainnya. Dan untuk menyebut sistem kekerabatan itu, biasanya menggunakan istilah bateh. Tak heran ada kata ‘kuwi batehku’ untuk menunjuk bahwa seseorang masih punya ikatan kekerabatan.
Istilah bateh memang akrab bagi masyarakat Bojonegoro. Akhiran em untuk mengganti mu bisa dipakai saat menyebut bateh. Sepeti batehem yang berarti batehmu atau kerabatmu.
Tapi ternyata, istilah bateh tak cuma milik masyarakat Bojonegoro saja. Setidaknya bateh masuk di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online. Namun bukan bateh melainkan batih. Di KBBI online, batik berarti orang seisi rumah yang menjadi tanggungan seseorang. Keluarga batih itu berarti keluarga yang berdiri sendiri secara ekonomi, punya tempat tinggal sendiri, dan tidak bersatu dengan keluarga besar. (Ihromi, 2004:287)
Batih di sejumlah literatur dimaknai sebagai keluarga mandiri yang tediri dari bapak, ibu, dan anak yang belum menikah. Batih sebagai lembaga sosial terkecil dalam masyarakat.
Nah, di Bojonegoro, kata batih berubah menjadi bateh. Huruf e diucapkan seperti saat mengeja sayur lodeh. Bateh adalah istilah yang sangat umum. Anak-anak kecil di kampung yang dalam keseharian masih menggunakan bahasa jawa, akan paham istilah bateh. Berbeda dengan anak-anak yang di kota yang dalam keseharian menggunakan bahasa Indonesia.
Batehku, batehem, atau bateh kok, sering terdengar dalam perbincangan sehari-hari.
Nah, aku batehem gak?