“Siapa orang paling paham dunia fosil di Bojonegoro?” Andai ada yang bertanya begitu, bisa dipastikan jawabannya akan sama: “Pak Harry Nugroho”.
Ya, sudah 35 tahun lebih Harry Nugroho menggeluti dunia arkeologi, blusukan ke desa, menjelajahi hutan Bojonegoro dan sekitarnya untuk berburu fosil. Hingga kini sudah ribuan fosil disimpannya. Ia pun mengelola Museum 13 yang didirikannya. Meski lokasinya kecil dan menempati satu ruangan di SDN Panjunan 2 Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, museum ini menjadi jujugan mahasiswa sejarah dari berbagai kampus di Indonesia.
“Museum 13 ini berdiri waktu masih maraknya togel. Orang banyak punya wawe. Buku togel. Penemuan kita pertama adalah kepala gajah. Dan gajah, ketika kami cek di wawe ya nomor 13. Maknanya sama dengan keris. Waktu itu tahun tahun 2009,” terangnya kepada kami di awal Juni 2024 lalu.
Akan tetapi angka 13 tersebut, kata Harry juga punya makna lain. Makna ini lebih filosofis. Cara membaca pun beda. Yakni Museum Satu Tiga. Bukan Museum Tiga Belas. Menurut dia, kehidupan ini berasal dari Yang Maha Satu, yakni Tuhan. Sedang dalam dunia ini, ada hidup dan ada mati. Jadi tiga dalam satu. “Ini lebih filosofis,” tuturnya.
***
Pertemuan dengan Harry Nugroho sebenarnya sudah lama kami rencanakan. Lewat pesan WhatsApp, kami berusaha untuk janjian bertemu. Akan tetapi, akhir-akhir ini kesehatannya agak terganggu. Hingga akhirnya di awal Juni 2024, kami bisa bersepakat untuk melakukan interview podcast chanel dariNOL. Lokasinya di Musem 13.
Sekitar pukul 13.00 WIB, kami meluncur dari kawasan kota Bojonegoro menuju ke Kalitidu, yang berjarak sekitar 25 km. Sebelum perempatan Kalitidu, kami berbelok ke kiri memasuki gerbang sekolah berwarna dominan hijau. Harry Nugroho menyambut kami di Museum 13 yang telah menjadi bagian hidupnya tersebut.
Museum 13 menempati satu ruang kelas tersendiri. Ada beberapa rak kaca yang berisi benda-benda arkeologi, tatakan memanjang untuk menata fosil-fosil, meja dan kursi, serta papan informasi yang menempel di dinding museum. Ada papan nama kecil bertuliskan “Museum 13” di atas pintu masuk. Hampir satu jam, kami mewawancarainya tentang dunia fosil dan alam Bojonegoro sebelum ada kehidupan manusia.
Harry Nugroho lalu menceritakan hobinya berburu fosil dan mengoleksinya. “Mencari fosil ini berawal dari maraknya orang mencari batu akik. Saya dikasih batu satu. Lalu saya ikut nyari, ke sungai Kalitidu dan menemukan kepala gajah. Akhirnya kami bereksplorasi, jangan-jangan di daerah lain ada,” ceritanya.
Sejak temuan itulah, Harry rutin berburu fosil. Dan kebetulan dia tak sendirian. Ada dua teman sehobi. Yakni Nardi Sate (penjual sate) dan Timun Suprapto (biro jasa). Jika dua orang temannya penghobi akik, maka dirinya lebih tertarik pada sisi keilmuan arkeologi.
***
Sudah banyak tokoh Bojonegoro di berbagai bidang menjadi narasumber podcast Chanel dariNOL. Dengan tagline ‘Menjadi Lebih Baik’, dariNOL memang menghadirkan sosok-sosok inspiratif di bidangnya masing-masing. Harry Nugroho adalah salah satu sosok inspiratif tersebut.
Ada tiga sesi interview. Di jeda sesi, Harry Nugroho menyempatkan minum air putih. Kondisi kesehatannya memang tidak sedang fit banget. Namun, ia begitu semangat menjawab tiap pertanyaan yang dilemparkan oleh Iwan Siswoyo, host dariNOL.
“Bagaimana gambaran Bojonegoro di masa lalu?” tanya Iwan.
“Ternyata Bojonegoro itu bagian dari laut purba. Pegunungan pandan, Klino (wilayah selatan), kami menemukan kerang besar. Kerang itu kan hanya ada di kehidupan perairan laut. Bisa jadi, gunung klino itu dulunya adalah laut,” jelasnya.
Tak hanya itu, Harry juga menemukan fosil tulang ikan paus di Desa Jono, Kecamatan Temayang. Artinya, jika ada paus berarti dulu Jono adalah perairan laut dalam. Karena paus hanya hidup di laut dalam. Ada kemungkinan, dalam perjalanan waktu, ada perubahan geologis, yang dulu laut menjadi daratan. Dan waktu itu, manusia belum ada.
Sejak rutin nggladak, sudah ribuan koleksi fosil dan benda arkeologi yang ditemukan dan tersimpan di Museum 13. Namun, yang sudah teridentifikasi sebanyak 400 an koleksi. Sementara temuan-temuan kecil, ditumpuk di storage. Oh ya, nggladak adalah istilah yang digukana untuk aktivitas blusukan mencari fosil.
Dari sekian banyak koleksi, fosil kepala gajah purba berusia 400 ribu tahun itu masih menjadi koleksi paling ‘mewah’. Fosil ini ditemukan di Desa Wotanngare, Kecamatan Kalitidu. Fosil ini pun pernah ditawar seorang geolog dari Ausitralia yang datang Bersama geolog dari Bandung seharga Rp 50 juta. Tapi, tidak dilepas. “Saya mikir uang mudah habis. Nyari pengganti kepala gajah itu yang sulit,” tuturnya.
Harry pun yakin, sebenarnya Bojonegoro mampu menyaingi fosil-fosil di Museum Trinil. Di daerah Prangi (Padangan), ada koleksi gading 4,2 meter. Artinya melebihi koleksi Sangiran. Di Bojonegoro ternyata juga ada kuda nil. Pusatnya ya di Prangi, Tebon, Tinggang, yang semuanya di Kecamatan Padangan.
Ya, Bojonegoro ternyata menyimpan sejarah kehidupan purba yang sangat layak untuk terus diteliti. [nanang fahrudin]