Sore itu, di awal November 2024, seorang guru membersamai empat siswanya menggambar. Kertas dan pensil sudah siap. Sebagai obyek lukisan adalah siswa berpose membawa gitar. Suasana tenang, hanyut oleh gerak pelan pensil di atas kertas.
Ya, guru tersebut adalah Yuli Zedeng bersama para siswa kelas X dan XI SMAN 2 Bojonegoro. Melukis adalah bagian mata pelajaran ekstrakurikuler. Sebelum melukis, sang guru Seni Budaya itu memberikan arahan pada anak didiknya. Tentang komposisi, angle dan lainnya.
Saya tidak ikut melukis, tapi saya menjadi bagian dari peristiwa sore itu. Lebih dari 1 jam, saya “ikut” melukis bareng Yuli yang dikenal dengan nama Yuli Zedeng. Nama itu merujuk tempat tinggalnya di sekitar Makam Sedeng, tepatnya di Jl. Dr. Sutomo Gg. Sedeng No. 23 Kepatihan Bojonegoro.
Kegiatan melukis tersebut berlangsung setiap hari Senin. Biasanya ada 15 siswa yang hadir, tapi karena bersamaan dengan ekstrakulikuler lainnya, sebagian izin. Selain ekstrakulikuler melukis, Yuli juga mengampu ekstrakulikuler teater.
Para siswa tersebut hanya membutuhkan waktu 95 menit untuk menyelesaikan satu gambar. “Ada kepuasan tersendiri saat melihat hasil lukisan,” ucap Ulfa dan Serly dari kelas X serta Fairuz dan Adit dari kelas XI secara kompak.
Yuli, boleh dikata, berada di banyak dunia seni budaya. Ia melukis dan beberapa kali menggelar pameran. Sejak kecil ia juga bermain musik dan hingga kini masih konsisten menciptakan lagu dan menyanyikannya. Perjalanan dunia seni Yuli cukup luas dan panjang berliku.
Yuli Kecil, Kertas, dan Harmonika
Yuli Zedeng memiliki nama asli Yuli Setianto. Tapi, nama aslinya mungkin kalah tenar dengan nama Yuli Zedeng. Ia lahir 49 tahun yang lalu dari keluarga pecinta seni, di Jl. Dr. Sutomo Gg. Sedeng No. 33 Kepatihan Bojonegoro. Bapaknya seorang pematung profesional. Pakdenya juga pematung dan ahli musik. Pakleknya, atau adik-adik dari ibunya, semua berkutat pada dunia seni baik lukis maupun musik.
Yuli masih ingat, waktu ia kecil, rumahnya dipenuhi keluarga Yuli dan pemuda-pemuda kampung untuk melakukan aktivitas seni. Dari kegiatan seni yang sering dilihat itulah, ia tertarik juga untuk mempelajari musik dan lukis dengan cara mengamati. Saat itu ia masih duduk di bangku TK Tunas I Bojonegoro pada tahun 1980.
“Sekali, dua kali saat belajar musik Bapak membenarkan. Selain itu ya belajar sendiri,” ujarnya.
Pada 1984, saat duduk di bangku kelas 2 SDN III Kadipaten, Yuli merasakan pertama kali manggung untuk bermain musik. Ia terus bermain musik dan menggambar menggunakan kertas sebagai media utama. Baru saat di bangku SMPN II Bojonegoro, untuk pertama kalinya ia melukis di selembar kanvas.
“Waktu itu belum ada yang menjual kanvas. Jadi, harus membuat kanvas sendiri dari blacu (kain yang sangat tipis),” terangnya. Saat itu ia menggambar burung dan pemandangan.
Saat SMP juga, ia mengamen untuk pertama kalinya. Ia pernah bolos sekolah selama satu bulan bahkan sampai dua bulan. Baik guru maupun keluarganya, tidak ada yang mencari, karena ia hanya tinggal bersama sang nenek. Baginya, musik sudah menjadi kehidupan sehari-hari.
“Ini bukan nakal, tapi kreatif. Saya tetap mendapat rangking 21 dari 45 siswa,” ungkapnya sambil tersenyum.
Berada di jalur musik jalanan, ia lakoni dari kereta satu ke kereta lainnya, dari bus satu ke bus lainnya. Dari Jatirogo, Rembang, Pati, Kudus, bahkan Pekalongan. Bahkan ia menaiki kereta yang beroperasi di Stasiun Jatirogo. Lagu-lagu yang dinyanyikan waktu itu, diantaranya Balada Orang-Orang Pedalaman karya Iwan Fals, lagu-lagu Dompak Sinaga, dan lagu-lagu Koes Plus menggunakan harmonika tujuh oktaf, hadiah dari salah satu pamannya.
“Harmonika beli di Surabaya. Hadiah dari adik Ibu seharga Rp 1.200, sekarang sekitar Rp 1.200.000. Kecil, 7 oktaf kira-kira panjangnya 15 cm,” tuturnya.
Yuli mengamen bukan untuk mencari uang, melainkan untuk berekspresi belaka. Jika lapar, maka ia akan mengamen. Saat itu, Rp 200 sudah membuatnya kenyang. Dalam satu hari, ia bisa mendapatkan uang Rp 10.000 lebih karena ia satu-satunya pengamen. Rata-rata ia mendapatkan pecahan uang 100 perak dari satu orang. “Saat itu uang seratus masih yang sangat tebal, jadinya berat,” ujarnya.
Yuli tidak pernah khawatir tentang uang maupun tempat tidur. Mengamen baginya sekadar adu mental. Ia biasa tidur di terminal, stasiun dan masjid. “Sampai akrab dengan para pedagang asongan,” ungkapnya.
Yuli terbiasa memenuhi keinginannya secara mandiri. Apapun ia beli dari hasil mengamen. Saat sudah puas, atau uang untuk membeli sesuatu sudah cukup, maka ia kembali pulang. “Beli gitar, sepatu, buku itu hasil sendiri,” ceritanya.
Dari Mesin Obras hingga Kanvas yang Terjual sampai Australia
Setelah melalui masa putih abu-abu di Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Negeri Bojonegoro, bermodalkan uang Rp 10.000, Yuli berangkat ke Solo untuk melakukan tes pendaftaran kuliah di Insitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Saat itu tahun 1995 bus Cendana jurusan Bojonegoro-Ngawi masih bertarif Rp 1.500. Sedangkan dari Ngawi ke Solo, ia harus mengeluarkan uang Rp 3.000. “Setelah lulus tes baru bingung, uang untuk masuk kuliah dapat dari mana,” ucapnya.
Yuli mencoba berdiskusi dengan sang ibu. Namun, sang ibu terkendala biaya, namun ia tetap memberikan doa. Lantaran keinginan kuliahnya cukup besar, Yuli mencoba menghubungi sang bapak dengan ibu sambungnya di Kudus. Jawabannya sama: tidak memiliki dana.
Ibu sambungnya pun akhirnya memutuskan untuk menjual mesin obras miliknya. Pada saat itu laku Rp 150.000, sedangkan biaya yang diperlukan untuk masuk jurusan Seni Rupa di ISI sebesar Rp 180.000.
“Waktu itu dapat tambahan dari keluarga Rp 50 ribu. Jadi berangkat itu bawa uang Rp 200 ribu. Cukup nggak cukup harus cukup,” kenangnya.
Hari pertama kuliah, Yuli tidur di pos keamanan lingkungan (kamling) di sekitar kawasan kampus. Meski belum mempunyai tempat tinggal tetap, ia tetap tenang dan menjalani hari-harinya dengan bahagia. Lantas pada suatu hari ada laki-laki yang iba padanya, dan memanggilnya. Namanya Mbah Harjo.
Yuli ditawari kost di rumah Mbah Harjo dengan sistem pembayaran fleksibel. Rumah tersebut terletak di Jl. Halilintar Jebres Surakarta.
“Kalau saya ada uang ya bayar. Kalau pas lagi nggak ada ya nggak bayar. Ketika itu satu bulan lima belas ribu sudah termasuk makan,” paparnya.
Meski memiliki anak delapan yang semua tinggal satu atap dengan Mbah Harjo, Yuli tetap diterima dengan sepenuh hati. Yuli menghabiskan hari-harinya selama satu tahun di rumah tersebut.
“Mangan sak enek e ya bareng-bareng,” ceritanya menirukan Mbah Harjo. Biasanya, sehabis pulang ke Bojonegoro, Yuli membawa beras untuk diberikan ke Mbah Harjo.
Hari-hari di rumah Mbah Harjo, dilakoninya dengan senang. Pagi subuh, ia mengambil air untuk mengisi kamar mandi. Selanjutnya, ia akan membantu menyapu rumah Mbah Harjo. Ia juga membantu Mbah Harjo dan isrti merancang (berjualan lauk dan sayur) di depan rumah. Ketika semua beres, ia berangkat kuliah.
Sepulang kuliah, ia memulai melukis, ikut banyak pameran dan menerima orderan. Sedikit demi sedikit ia memiliki pemasukan untuk membayar kuliah dari melukis. “Pesanan pertama itu kaligrafi seharga enam puluh ribu. Bisa untuk kost tiga bulan. Sekarang setara satu juta setengah sampai dua juta,” ucapnya.
Dari lukisan-lukisan yang dijual, pada tahun kedua hidup di Surakarta, Yuli akhirnya mampu menyewa rumah dan pindah dari rumah Mbah Harjo. Ia menyewa rumah di desa terpencil di Kalianyar. Rumah kuno dengan enam kamar yang hanya ditempatinya sendiri itu menguras uang Rp 400.000 dalam satu tahun.
“Niatnya memang untuk fokus berkarya, tapi karena itu juga kuliahnya jadi keteteran,” kisahnya.
Dalam seminggu, Yuli mampu menghasilkan satu lukisan dan maksimal lima lukisan dalam sebulan. Ia semakin banyak mengikuti pameran-pameran.
Di tahun ketiga yakni pada 1998, Yuli memiliki langganan salah satu penjual sekaligus kolektor lukisan asal Asutralia bernama Kris. Per karya dengan ukuran 30-50 cm ia membandrol harga sebesar Rp 700.000 sampai Rp 1.000.000. “Hampir setiap bulan dia (Kris) ke Indoensia dan membeli lukisan saya untuk dijual kembali di negaranya,” ceritanya.
Kris menyukai lukisan Yuli karena selalu menggambarkan nuansa Asia yang kental seperti budaya wayang dengan sentuhan modern, terutama untuk lukis kaca. Hubungan jual-belinya dengan Kris bertahan sampai 2004.
Berkarya terus menyibukannya hari demi hari. Dan pada tahun 1999, Yuli bekerjasama dengan Galeri Glori Jakarta untuk menghasilkan 12 lukisan dalam satu bulan. Ukurannya pun variatif, mulai dari 50 cm sampai 2 meter. Tiap karya ia jual dengan harga Rp 300.000-Rp 600.000. “Harga tergantung ukuran, kerumitan, kesulitan, dan keunikan,” katanya.
Konon galeri mampu menjual lagi karyanya dengan harga Rp 10 juta lebih. Pelanggannya pun dari warga lokal hingga internasional. Menurut Yuli, rata-rata yang menikmati karyanya adalah orang asing.
Tema yang dilukis Yuli juga bebas, tidak ada tema khusus. Sama seperti lukisan yang dijual kepada Kris, ia selalu memasukkan unsur atau nuansa Asia yang kental. Kerja sama tersebut berakhir pada tahun 2003.
Mendirikan Usaha Figura dan Sanggar Sedeng Art
Melukis telah menjadi keseharian Yuli. Kuliah di ISI Solo pun terlupakan. Ia memutuskan berhenti kuliah dan pulang ke Bojonegoro pada tahun 2001. Bersama perupa asal Bojonegoro bernama Muhtar, mereka berdua membuat usaha figura. Namun, Muhtar harus berhenti sebelum usaha berjalan satu tahun.
Yuli pun meneruskan usahanya sendiri di rumahnya. Ia menjual figura-figura tersebut dengan harga Rp 15.000 sampai Rp 55.000. “Terus tutup di tahun 2022 dengan harga per meter 200 ribu lebih,” ujarnya.
Yuli yang sangat menyukai seni, akhirnya memutuskan Sanggar Sedeng Art. Sanggar tersebut bukan untuk dirinya saja, melainkan wadah berkarya dan berekspresi untuk anak-anak dan para pemuda. Seluruh anak-anak dan para pemuda di Kelurahan Kepatihan berkarya di sanggar tersebut. Begitu juga dengan para siswa SMAN I Bojonegoro. Mereka berkarya dengan bermain musik, melukis dan berteater. “Tujuan sanggar didirikan untuk tempat berkreasi, mencurahkan aspirasi, dan ekspresi,” terangnya.
Sanggar cukup ramai. Kegiatan seni terus berjalan. Bahkan termasuk anak-anak dari Jetak, Madean, dan Ledok, yakni wilayah sekitar Kepatihan banyak yang datang. Dari tahun berdiri hingga tutupnya sanggar pada tahun 2020, sebanyak 200 lebih anak-anak dan para pemuda berkarya di sana.
“Sudah tidak bisa fokus di penanganan sanggar, makanya tutup. Sehingga yang dilakukan hanya berkarya sendiri. Secara energi sudah mulai menurun,” ucapnya.
Menjadi Guru Seni Budaya
Tanpa sanggar, perjalanan seni Yuli tak berhenti. Pada 2006, ia mendapat banyak tawaran mengajar Seni Budaya dari sekolah-sekolah di Bojonegoro maupun luar kota. Ia menerima tawaran tersebut dan menjadi guru di SMN 2 Bojonegoro.
“Karena lulusan Seni jarang yang masuk di pendidikan. Rata-rata idealis dan tidak mau terikat. Banyak yang nyeniman atau berkarya sendiri dan dipasarkan sendiri,” tuturnya menceritakan alasan mengapa menerima tawaran menjadi guru. Ia mendapatkan gaji pertama Rp 660 ribu.
Ia mengajar di hari Senin, Selasa, dan Rabu. Lantas pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu, ia berangkat ke Surakarta menaiki motor untuk meneruskan kuliahnya yang sempat tertunda.
Rakyat Indonesia dan Biasa Saja
Pada tahun 2007, Yuli bertemu seorang perempuan yang menggetarkan hatinya. Ia bukan seniman, tapi berada di dunia kesehatan. Namanya Indrianti Kusuma. Demi mendapatkan restu menikah dari orang tua Indri, Yuli harus mempunyai ijazah S1 sebagai syarat. “Jadi harus punya ijazah untuk ijabsah, haha,” katanya dengan tawa renyah.
Yuli memutuskan berhenti dari ISI dan pindah ke Sekolah Tinggi Kesenian Wilatikta (STKW) Surabaya mengambil jurusan Seni Rupa Murni. Ia pun menikah dengan Indri pada tahun tersebut setelah mendapat ijazah S1 pada tahun 2009.
Sebulan usai menikah, Yuli ditarik lagi masuk ke dunia seni. Dunia yang dicintainya. Ia mendapat wesel dari seorang teman asal Prancis. Padahal, mereka hanya bertemu sekali saat Yuli mengikuti pameran di Hotel Garuda Yogyakarta. Teman dari Prancis itu jatuh hati pada lukisan Yuli sejak pertama menatap dan langsung membelinya.
Wesel berbahasa Indonesia yang morat-maret tersebut berisi tawaran kerja sama sebagai pelukis untuk Yuli.
“Kamu mau kerja di Prancis nggak? Kalok oke aku jadi bapak asuhnya,” ucap Yuli menirukan isi pesan teman itu.
Yuli dengan banyak pertimbangan membalas wesel tersebut dan menolak tawaran untuk bekerja di Prancis. Salah satu alasan terbesarnya adalah keluarga yang baru saja ia bina.
Pernikahan Yuli dan Indri dikaruniai putra pertama pada tahun 2010. Anak laki-laki tersebut diberi nama Rakyat Indonesia. Yuli dan Indri berharap anaknya memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
“Agar dia (Rakyat) menjadi warga Indonesia yang tidak kebarat-baratan dan tidak ketimur-timuran,” harapnya.
Rakyat memiliki hobi yang sama dengan sang bapak. Setiap hari ia habiskan untuk belajar musik. Mulai dari gitar, drum, bahkan sampai membuat lagu. Ia bersama sang bapak beberapa kali juga membuat video klip yang diunggah di akun Youtube Yuli Zedeng ART.
“Sebenarnya buat akun Youtube sudah sejak 2005, tapi karena watu itu belum tahu cara menggunakannya, jadi saya hapus. 2020 baru buat akun baru,” terang Yuli.
Pada tahun 2015, Indri melahirkan putra kedua yang diberi nama Biasa Saja. Yuli dan Indri berharap Bia menjadi orang yang selalu biasa saja di setiap keadaan.
“Harapan saya ketika besok dia (Bia) menjadi apapun itu tetap biasa saja. Nggak punya apa-apa pun tetap biasa saja. Menjadi rakyat yang biasa saja,” tutur Yuli.
Sama seperti kakaknya, Bia juga mengikuti jejak sang bapak. Tidak hanya dalam dunia musik, Bia sering kali ikut melukis ketika bapaknya juga melukis.
“Tidak ada pengajaran secara khusus. Sama seperti saya dulu, anak-anak terinspirasi dari lingkungan rumah. Ketika saya bermain musik, melukis, anak-anak mengikuti. Paling jika tanya enaknya lagu ini bagaimana baru saya komentari,” paparnya.
Hingga saat ini, Yuli terus aktif membuat lagu, video klip, melukis, mengikuti konser dan banyak pameran. Menurut dia, semua itu merupakan panggilan-Nya dan atas petunjuk-Nya. Ia berharap, seni, budaya, tradisi dan apapun yang ada di Bojonegoro terus lestari dan berkembang maju.
“Harapannya seni harus terus maju. Apapun bentuknya, pergerakan harus tetap ada di Bojonegoro. Untuk anak-anak muda, mereka harus kreatif dan mandiri,” pungkasnya.[nf]