Penulis: Nanang Fahrudin
Pada 19 Agustus 1827 digelar perundingan antara Stavers dan Kiai Maja. Namun perundingan dari perwakilan Pangeran Diponegoro dan perwakilan Belanda tak membuahkan hasil. Sedang perundingan yang diadakan wakil Belanda Roei dan wakil perlawanan rakyat Tumenggung Mangun Pawiro juga gagal.
Akibatnya, perlawanan rakyat terus berkobar di mana-mana. Termasuk perlawanan di daerah Bojonegoro hingga Rembang yang dipimpin oleh Tumenggung Aria Sasradilaga.
Sosok Tumenggung ini, dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990), menyebut Aria Sasradilaga adalah Bupati Rembang. Namun, dalam buku itu tak disebut secara detail tentangnya. Sedang di buku Bojonegoro dari Masa ke Masa yang diterbitkan Pemkab Bojonegoro (1988), Tumenggung Aria Sasradilaga adalah Bupati Bojonegoro periode 1827-1928.
Sayang, saya belum bisa memastikan apakah Sasradilaga juga tercatat sebagai Bupati Rembang. Jika benar, maka dalam satu waktu, Aria Sasradilaga tercatat sebagai Bupati di dua tempat. Atau setidaknya, tokoh ini punya peran penting di dua tempat tersebut.
Di Buku terbitan Depdikbud tersebut, dikisahkan pertempuran di Rembang dan sekitarnya berlangsung sangat sengit. Jenderal Belanda yang memimpin pasukan Bclandu sangat kewalahan. Sehingga terpaksa meminta bantuan dari daerah lain. Bahkan, Jenderal Holsman jatuh sakit
dan diganti oleh Kolonel Roest. Belanda kemudian banyak mendirikan benteng-benteng pertahanan dengan mengeluarkan banyak biaya. Dan strategi ini berhasil memperkecil perlawanan. Perjuangan rakyat dapat digagalkan. Tumenggung Aria Sasradilaga pun menjadi buronan dan mengembara dengan menyamar sebagai rakyat biasa.
Perjuangan rakyat yang dipimpin Sasradilaga di wilayah Bojonegoro hingga Rembang terus meredup. Sang Tumenggung tak lagi diketahui keberadaannya. Namun, sejumlah sumber menyebut Sasradilaga kemudian berada di Madiun dengan nama samaran hingga meninggal dan dimakamkan di Madiun.
Di buku lain, kita juga bisa melihat bagaimana perjuangan Sasradilaga, terutama di daerah Rembang dan kemudian meluas di sekitarnya. Diantaranya buku berjudul Aku Pangeran Dipanegara karangan J.H. Tarumetor TS terbitan Gunung Agung tahun 1967. Buku setebal 377 halaman tersebut mengisahkan perjuangan Pangeran Diponegoro dan para pembantunya, termasuk Aria Sasradilaga. Buku ini ditulis dengan gaya sastra.
Dalam buku tersebut dikisahkan percakapan Pangeran Diponegoro dengan anaknya yang dikenang dengan Diponegoro Muda. Berikut gambaran percakapannya sebagaimana ada di halaman 202.
“Bagaimana Muda?” tanjanja. “Apa kabar jang kau peroleh?”
“Memang ada kabar penting ajah,” sahut Dipanegara Muda.
“Baru seminggu lalu datang seorang pesuruh dari rakjat Rembang untuk menemui ajah. Seluruh rakjat Rembang sudah mengangkat sendjata melawan Belanda, dibawah pimpinan Raden Tumenggung Aria Sasradilaga………… !”
“Raden Sasradilaga?” katuk Pangeran Dipanegara tiba-tiba.
“Bukankah dia dulu mendjadi perwira didalam pasukan kraton?”
“Benar ajah, dia adalah anak almarhum bupati Radjagwesi
dan seorang saudara perempuannja kawin dengan penghulu-kepala daerah Rembang. Dia mempunjai pengaruh besar didaerah itu. Dengan mudah Pangeran Sasradilaga sudah dapat merebut Radjagwesi dari Belanda dan berturut-turut sudah dikuasainja djuga Bawerna dan Padangan, sedang waktu pesuruh itu berangkat kesini, kota Ngawi sedang berada dalam pengepungan pasukan pasukan rakjat” (hal: 202)
Dari buku tersebut tampak betapa besar api semangat Aria Sasradilaga melawan Belanda. Terutama di wilayah Rembang dan sekitarnya. Di Kabupaten Bojonegoro sendiri, nama Sasradilaga diabadikan menjadi nama jembatan yang membelah sungai Bengawan Solo.
Comments 1