Waktu duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), saya sering menyimak pelajaran sejarah Indonesia. Guru yang mengampu pelajaran sejarah mengatakan Timor-Timur serampung melepaskan diri dengan Indonesia nasibnya menjadi sial karena alasan yang belum tentu valid yakni merosotnya ekonomi di Timor-timur. Di tahun 2002 Timor-timur memilih menentukan nasibnya sendiri menjadi bangsa yang merdeka bernama Timor Leste.
Guru sejarah tak menjelaskan tindakan-tindakan pelecehan seksual tentara terhadap orang Timor. Juga tentang jawa sentris yang membikin banyak dampak. Salah satunya kebijakan berasisasi yang menyebabkan tanaman lokal tergeser. Padahal, mereka sudah punya ketahanan pangan berupa sagu dan budaya menyuling pohon lontar menjadi minuman sopi.
Alhasil pertanyaan yang tertanam dalam benak saya kemudian, apakah betul Timor-Timur secara ekonomi merosot serampung melepaskan diri dengan Indonesia. Insiden pelepasan ini terjadi pada tahun 2002.
Setidaknya, jawabannya ada di Orang-orang Oetimu, sebuah ย novel karya Felix K Nesi. Novel etnografis ini dapat memberikan gambaran dan khazanah pengetahuan baru mengenai lika-liku kehidupan orang-orang di Oetimu, suatu wilayah di pelosok Nusa Tenggara Timur. Naskah novel Orang-orang Oetimu menjadi jawara I Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2018. Buku ini meninggalkan decak kegaguman menyenangkan saat membacanya. Penulis, Felix K Nesi, menyelipkan cerita dalam novel ini dengan humor yang sarkas khas orang dewasa.
Kecintaan orang-orang Oetimu pada minuman sopi terekam jelas. Sopi merupakan minuman khas Oetimu yang dibuat dari sulingan lontar (mungkin kalau di Tuban Toak kali ya).
Diceritakan Am Siki merupakan penyuling Sopi yang sangat terkenal di Oetimu. Selain terkenal sebagai penyuling Sopi Am Siki dikenal masyarakat sebagai orang yang suka bercerita kepada anak-anak Timor mengenai kisah-kisah perjalanannya yang dianggap heroik. Ia dikenal masyarakat sejak aksinya membebaskan para pekerja paksa dari tentara Jepang. Khususnya yangย paling ia sorot adalah penghargaan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepadanya karena dianggap sebagai pahlawan nasional, sedangkan sebetulnya Am Siki cuma ingin menyelamatkan kuda betinanya yang diperkosa secara bergiliran oleh tentara Jepang
โSaya membunuh bukan untuk menyelamatkan Bangsa, tetapi untuk menyelamatkan kuda saya,โ tegas Am Siki pada kutipan di halaman 33.
Masa orde baru muncul tokoh Maria. Maria dikisahkan sebagai seorang mahasiswi aktif dalam menentang pemerintahan Presiden Soeharto pada masanya. Ia geram dengan tindakan kesewenang-wenangan para pemegang kekuasaan dan kelicikannya dalam mengambil hak rakyat. Namun, aksinya selalu gagal dan berujung hilangnya teman-teman aktivis senasib seperjuangannya. Ia juga tidak percaya dengan gereja yang hanya membahas urusan tuhan.
Maria merupakan sosok yang sangat memberontak, hal yang paling naas dalam hidupnya ketika dua orang yang dicintainya, anak dan suaminya, meninggal terlindas mobil tentara yang uring-uringan mengendarai mobil dinas. Bukannya bersimpatik, masyarakat malah menyalahkan suami dan anaknya karena menghalangi jalan para tentara. Hingga akhirnya ia putus asa dan muak terhadap hidup. Ia memutuskan menemui anak dan suaminya lebih cepat dari yang tuhan rencanakan.
Selain itu novel ini menyibak kemunafikan pastur. Pastur yang dianggap masyarakat mempunyai moral baik, ternyata sering berbuat asusila. Agama dijadikan topeng dalam menutupi kebejatan para pastor. Ada juga kisah cinta Sersam Ipi dan Silvy (dia dikenal sebagai kembang desanya orang Timor) yang berakhir kandas karena kebejatan tentara Indonesia yang menyerbu masuk ke Timor untuk menumpas PKI di sana.
Pemerintah yang memang condong jawa sentris membuat orang Timor secara tidak langsung terkena proyek beras-isasi. Sagu menjadi makanan pokok orang Timor dituding sebagai makanan primitif yang harus disingkirkan.
“๐๐ณ๐ข๐ฏ๐จ-๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ช๐ต๐ถ ๐ต๐ฆ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฌ๐ฐ๐ณ๐ถ๐ฑ ๐ด๐ฆ๐ซ๐ข๐ฌ ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐ฑ๐ช๐ฌ๐ช๐ณ๐ข๐ฏ๐ฏ๐บ๐ข, ๐ด๐ฆ๐ฉ๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ข ๐ด๐ข๐ต๐ถ๐ฑ๐ฆ๐ซ๐ข๐ฃ๐ข๐ต ๐ฌ๐ฐ๐ณ๐ถ๐ฑ ๐ฉ๐ข๐ฏ๐บ๐ข ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐จ๐ข๐ฏ๐ต๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ ๐ฌ๐ณ๐ฐ๐ฏ๐ช๐ฏ๐บ๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ซ๐ถ๐จ๐ข ๐ฌ๐ฐ๐ณ๐ถ๐ฑ, ๐ฅ๐ช๐ญ๐ช๐ฏ๐ฅ๐ถ๐ฏ๐จ๐ช ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ ๐ณ๐ฆ๐ป๐ช๐ฎ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ซ๐ถ๐จ๐ข ๐ฌ๐ฐ๐ณ๐ถ๐ฑ, ๐ฅ๐ช๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฎ๐ถ๐ฅ๐ข๐ฉ ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ ๐ด๐ช๐ด๐ต๐ฆ๐ฎ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ๐ซ๐ถ๐จ๐ข ๐ฌ๐ฐ๐ณ๐ถ๐ฑ, ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ฅ๐ถ๐ฌ๐ถ๐ฏ๐จ ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ ๐ฃ๐ถ๐ฅ๐ข๐บ๐ข ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ต๐ข๐ฉ๐ถ ๐ฎ๐ข๐ญ๐ถ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ช๐ซ๐ช๐ฌ๐ฌ๐ข๐ฏ. ๐๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฌ๐ข ๐ต๐ข๐ฏ๐ฑ๐ข ๐ฎ๐ข๐ญ๐ถ ๐ด๐ข๐ญ๐ช๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ช๐ฏ๐ฅ๐ถ๐ฏ๐จ๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ฃ๐ถ๐ด๐ถ๐ฌ๐ข๐ฏ๐ฏ๐บ๐ข, ๐ฎ๐ฆ๐ด๐ฌ๐ช๐ฃ๐ข๐ถ๐ฏ๐บ๐ข ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ช๐ฉ ๐ฃ๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ณ ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฎ๐ข๐บ๐ข๐ต ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ-๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ช๐ด๐ฌ๐ช๐ฏ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐จ๐ฆ๐ญ๐ช๐ฎ๐ฑ๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ.”โฃ
โ๐ฉ๐ญ๐ฎ. 153โฃ