Adalah Gubernur Jenderal Deandels pada 1808 yang melakukan perombakan tata pemerintahan secara besar-besaran. Sebelumnya, penataan ala VOC mencampuradukkan antara tata praja dan bisnis menguasai. Pada tahun 1811, Deandels menukar paksa daerah-daerah yang dianggap tak produktif. Deandels kemudian memasukkan beberapa daerah yang awalnya di bawah kekuasaan Kerajaan Yogyakarta ke dalam wilayahnya. Rajegwesi adalah salah satunya.
Tapi, kolonial Inggris, Stamford Raffles masuk menggantikan kolonial Belanda. Raffles mengambil paksa untuk dikembalikan ke Yogyakarta. Hanya saja, belum lama berselang, muncul desas desus Surakarta dan Yogyakarta akan menyerbu pemerintah kolonial Inggris. Pada 1812, Rajegwesi dan daerah-daerah lain menjadi daerah kolonial Inggris. Tapi, ketika Inggris diusir dari nusantara, Rajegwesi dan lainnya kembali ke tangan Belanda.
Ketika perang Diponegoro mulai berkobar tahun 1925, Rajegwesi merupakan pemerintahan kolonial Belanda. Bupatinya bernama Djajanegara. Dan di Rajegwesi, perang Diponegoro dikobarkan oleh sosok bernama Sasradilaga. Ia merupakan anak dari Bupati Rajegwesi Sasradiningrat (1821-1823). Sebagai anak Bupati, Sasradilaga tidak mempunyai posisi jabatan karena orangtuanya anti Belanda.
Sasradilaga, yang sebelumnya merupakan prajurit pengawal Raja Yogyakarta, dengan gagah perkasa melawan Belanda. Sejumlah literarur menyebut, Sasradilaga membuat repot tentara Belanda. Ketika berhasil menguasai Rajegwesi dan sekitarnya, ia dinobatkan menjadi bupati dengan nama Raden Tumenggung Aria Sasradilaga, yakni tahun 1827.
Sepak terjang Sasradilaga cukup merepotkan Belanda. Apalagi Sasradilaga adalah orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Ia pernah diminta khusus untuk meminta bantuan ke pesantren Tegalsari di Ponorogo di bawah pimpinan Kiai Kasan Besari yang cukup terkenal. Ia juga berhasil menghimpun kekuatan rakyat dari Padangan hingga Bowerno (Baureno) untuk melawan Belanda.
Singkat kisah, Sasradilaga menjadi tokoh penting dalam perjalanan sejarah Kabupaten Bojonegoro. Ketika perlawanan pasukan Diponegoro melemah, Sasradilaga menjadi buron tantara Belanda. Di mana kemudian Sasradilaga? Hal ini masih menjadi teka-teki. Sumber yang kemudian dipakai Pemkab Bojonegoro sebagaimana buku yang diterbitkannya pada 1988, menyebut Sasradilaga meninggal dan dimakamkan di Sewulan-Madiun. Akan tetapi, ada yang menyebut ia dimakamkan di Sambirejo, Kotagede-Yogyakarta.
Terlepas dari teka-teki sejarah tersebut, Sasradilaga kini menjadi nama yang indah, terpahat di sisi jembatan yang membelah Sungai Bengawan Solo, menghubungkan kota Bojonegoro dengan Kecamatan Trucuk. Jembatan itu bernama Jembatan Sasradilaga. Ketika malam hari, cahaya dari jembatan itu berpendar warna warni, makin mempercantik wajah kota.
Sebagai warga Bojonegoro, kisah heroik Sasradilaga yang menjadi Bupati Rajegwesi tahun 1827-1828 harus terus diceritakan. Penamaan jembatan sebagai Jembatan Sasradilaga, tentu saja mempunyai makna mendalam sebagai upaya pembelajaran sejarah bagi generasi kita dan generasi yang akan datang. Jangan sampai, Sasradilaga hanya menjadi penghias nama jembatan saja, tanpa diketahui perjuangannya mengusir penjajah Belanda.