Penulis: Kajar Alit Djati
Di Alun-alun Bojonegoro terdapat batu yang cukup besar. Posisinya ada di sisi timur bedekatan dengan Jalan Mas Tumapel atau gedung Pemkab Bojonegoro. Batu apa sebenarnya itu?
Batu tersebut dikenal dengan sebutan Watu Semar. Batu: watu. Ukurannya cukup besar dan bentuknya mirip semar. Meski sebenarnya enggak mirip-mirip juga. Namun, karena ukurannya super besar itu lah masyarakat menamai sebagai watu semar.
Watu Semar awalnya berada di kaki Gunung Pandan, kawasan desa pinggir hutan di Desa Sambongrejo Kecamatan Gondang. Lalu dipindahkan ke alun-alun Kota Bojonegoro pada awal 2015. Pemindahan atas instruksi Bupati Bojonegoro Suyoto atau biasa akrab disapa Kang Yoto. Kenapa dipindahkan? Tak ada alasan sangat penting kenapa batu itu dipindahkan dari ‘sarangnya’ ke tengah kota.
Watu Semar Jelmaan Punakawan
Wilawaty dari Universitas Airlangga Surabaya pernah melakukan penelitian tentang Watu Semar. Hasilnya dipublikasikan di Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 21 No 3 tahun 2019. Titik tekannya adalah pada refleksi pemikiran dan budaya lokal masyarakat Sambongrejo, Bojonegoro. Oleh karena itu, peneliti turun ke lapangan langsung.
Dari hasil penelusuran Milawaty, mitos Watu Semar berakar dari cerita Punakawan, sekelompok tokoh dalam cerita pewayangan, termasuk di dalamnya Semar yang memiliki rencana untuk mendirikan sebuah gunung di lokasi asal Watu Semar. Dalam proses pembangunan gunung ini, konon ada kekuatan ghaib yang turut membantu menyelesaikan proyek tersebut.
Namun, para Punakawan tak berhasil menyelesaikan gunung sebelum matahari terbit. Akhirnya, untuk menghindari jejak, batuan-batuan yang seharusnya menjadi bagian dari gunung dihancurkan dan tersebar ke segala penjuru, membentuk lautan batu. Salah satu batu dalam lautan tersebut adalah Watu Semar, dinamai demikian karena bentuknya menyerupai tokoh Punakawan, Semar.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat setempat mulai mempercayai bahwa batu ini dihuni oleh Mbah Semar, sesuai dengan cerita awal dan bentuk batunya.
Watu Semar bagi masyarakat sudah dimaknai sebagai saudara atau sedulur. Sehingga, oleh masyarakat batu besar itu sangat dihormati.
Proses Pemindahan Butuh Waktu 16 Hari dan Dana Rp 300 Juta
Untuk apa batu besar itu dipindahkan? Detik melaporkan, menurut Kepala Dinas PU Bojonegoro Andy Tjandra, inisiatif pemindahan datang dari Bupati Suyoto. Menurut dia, batu tersebut melambangkan sesuatu yang kokoh, suatu tekad yang kuat. Sehingga Bupati ingin masyarakat Bojonegoro seperti batu yang kokoh.
Untuk mengangkat dan memindahkan Watu Semar dari Kecamatan Gondang ke alun-alun, diperlukan waktu 16 hari. Juga mengerahkan 6 unit alat berat, 2 crane serta dua truk trailer. Maklum, watu tersebut punya bobot 80 ton. Dana yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp 300 juta.
Mitos dan Kesakralan Watu Semar Bagi Masyarakat
Cerita kesakralan Watu Semar sebenarnya sudah turun temurun. Salah satunya, setiap ada semacam selamatan desa, dipusatkan di batu tersebut. Bahkn, dulu setiap warga yang lewat hendak ke pasar akan menaruh kembang atau lainnya di atas batu besar tersebut.
Ada satu mitos yang diceritakan tumur temurun oleh warga. Alkisah, pada zaman kerajaan Majapahit, Watu Semar tadi dibuat duduk oleh tiga Adipati, yakni Adipati Nganjuk, Adipati Madiun, Adipati Bojonegoro. Ketiga adipati itu bersidang menentukan batas wilayah.