Perjalanan menggunakan angkutan umum, pasti memiliki aneka cerita. Apalagi, saat ini banyak orang lebih memilih naik ojek online yang memberi rasa nyaman, angkutan umum makin jarang dilirik. Tapi, adakalanya, untuk perjalanan jauh, angkutan umum seperti bus atau kereta api menjadi pilihan satu-satunya, karena jarak yang jauh dan tak mau ribet bawa kendaraan pribadi. Jika kereta api kini nyaman, bagaimana dengan bus?
Bus menjadi pilihan paling masuk akal bagi saya yang sering bolak-balik Bojonegoro-Jogja. Hampir satu bulan sekali, saya melewati rute itu. Titik-titik di mana bus menurunkan penumpang, hampir semuanya saya hafal. Ya, mungkin hanya satu strip di bawah kondektur atau kenek bus aja (sok hebat aja nih).
Dari Bojonegoro, ada tiga ‘merek’ bus yang beroperasi menuju Ngawi. Jaya Mulya, Gunung Mas, dan Cendana. Yang paling sering, saya ikut Cendana. Bus ini ada dua tipe. Ada yang agak panjang, ada yang pendek. Naik bus Bojonegoro- Ngawi ini, anda perlu menata niat, menikmati perjalanan yang tak nyaman. Jadi ya enjoy dalam ketidaknyamanan.
Bagaimana tidak, jalanan yang tak rata alias banyak tambalan-tambalan, membuat laju bus sering bergetar. Belum lagi sopir yang tancap gas, membuat bus oleng kanan dan oleng kiri. Kaca-kacapun ikut bergetar dan bersuara. Jika hujan turun deras, ya Allah, anda bisa terus berdoa. Bus tetap lari kencang, sedang di dalam atap bocor tak karuan. Pernah juga wiper mati, sehingga kenek bus ekstra keras beri aba-aba.
Tapi, beruntung, pertengahan Juni 2024, cuaca panas, tak ada mendung. Bus melaju kencang tanpa hambatan. Saya naik dari halte taman Rajekwesi. Bus berlari melewati Jetak, langsung tancap gas melewati Kalitidu, Purwosari, dan singgah di terminal Padangan. Di terminal ini nih, lamaaa banget berhentinya. Sopir biasanya ngopi atau makan di warung terminal. Penumpang bebas, mau keluar bus boleh, duduk di dalam bus yang puanasss juga boleh.
Jika ada kode bahwa bus belakangnya dah dekat, bus langsung lari cepat. Melintasi Ngraho, Margomulyo, hingga terakhir Terminal Ngawi. Oh ya, tarifnya Rp 40.000 yang biasanya diminta kondektur Ketika masih berada di seputaran kota Bojonegoro.
Nyambung Bus Sugeng Rahayu
Terminal Kertonegoro Ngawi terbilang bersih, meski tak sebersih Tirtonadi Solo. Tapi, lebih mending daripada terminal Giwangan Jogja. Tempat pemberhentian bus hanya ada tiga jalur dan di lokasi sama. Jadi kita turun di situ, jika nyambung lagi, ya naiknya di situ. Kecuali arah Bojonegoro, Cepu, dan seputaran Ngawi, titik pemberangkatan berbeda, harus jalan kaki.
Turun dari bus Cendana, saya nggak langsung naik bus arah Solo-Jogja. Tapi, saya lebih suka duduk-duduk dulu dan ke toilet. Warung favorit saya, ada di paling ujung. Jual kopi, pecel, dan soto. Biasanya saya cuma pesan kopi hitam cangkir. Kopi hitam itu berarti bukan kopi sasetan. Setelah menyeruput kopi, lanjut ke toitel dan musholla. Toilet dulu bayar, tapi sekarang gratis.
Tak lama duduk menunggu, bus Sugeng Rayayu muncul. Saya dan penumpang lainpun segera melompat naik. Khas dari bus ini, larinya kencang dan suara dangdutannya tak kalah kencang. AC juga dingin. Tarif Ngawi-Solo Rp 27.000. Bus ini sebenarnya bisa langsung ke Jogja, tapi, ya itu tadi, saya enggak betah lama-lama duduk di bus. Biasanya lebih memilih turun Solo, lalu bersantai bentar (ke toilet, makan cemilan), baru lanjut naik bus lagi ke Jogja.
Bus Sugeng Rahayu terkenal larinya yang kencang. Guyonannya, sopir jarang injak rem, gassspol terus. Sambil liyer-liyer tidur, bus melaju kencang melintasi Gendingan, Mantingan, Sragen, Palur, hingga masuk terminal Tirtonadi.
Setelah bersantai sejenak, bus Sugeng Rahayu lainnya muncul. Saya pun naik. Tarif Solo-Jogja Rp 22.000. Tak ada yang saya nikmati sepanjang perjalanan, selain aktivitas orang di atas motor yang kebetulan memang terlihat dari atas bus. Perjalanan terasa lamaaa banget, karena sudah lumayan capek, perjalanan dari Bojonegoro.
Oh ya, sebenarnya dari Ngawi ke Jogja ada dua pilihan bus. Yakni patas dan ekonomi. Tapi saya lebih suka naik bus ekonomi. Yakni Sugeng Rahayu atau Mira. Lebih murah, dan …. lebih kencang juga. (diakui atau tidak, kita nih berada di dua kaki. Pengennya bus lari kencang, tapi juga pengen nyaman dan tenang).
Setelah ketiduran sebentar, kondektur bus berteriak “Giwangan terakhir, Giwangan terakhir,”. Saya ambil tas, bersiap turun.(nanang fahrudin)