Malam selepas maghrib, Makde Lami pergi ke dokter. Ada rasa gatal menyengat di tangan dan tengkuknya. “Duh, aku takut kalo ini herpes,” katanya mengeluh.
Trimo, cucunya yang masih duduk di SMP kebagian mengantar. Motor Beat hitam digeber kecepatan tinggi (30 km/jam saja ding). Melintasi jalanan nglenyer yang baru selesai pengerjaan cornya.
Kartu KIS dan balsem tak lupa dibawanya. Maklum, Makde juga sering encok, diolesinya balsem di pinggangnya sesering mungkin. Lumayang bisa mengurangi sakit. Trimo sudah hafal, jika ada bau balsem, pasti ada Makde Lami.
“Ini nanti obatnya diminum ya. Ini bukan herpes, tapi serangga. Wes nggak usah ngrusuk-ngrusuk,” pesan pak Dokter.
Makde Lami pun digandeng Trimo keluar dari ruang periksa. Sampai di luar, Makde tolah toleh, ada yang aneh dengan sandalnya. Karena kanan dan kiri kok beda jenis. Kiri jepit, kanan sandal cantik.
Makde pun menggerutu “sopo seng sandal e keliru iki?”
Tapi tak ada jawaban dari para pasien lain yang antre menunggu. Trimo sudah menasehati, mbok dibawa saja to Mbah, wong adanya itu.
Tapi Makde tetap menolak. Ia bikin ribut sambil terus saja mengomel. Sampai Pak Dokter yang pendiam itupun keluar dan menasehati: dibawa dulu saja mbah, nanti jika ketemu biar diantar ke rumah njenengan.
Makde Lami baru mau pulang. Ia tentu enggak berani dengan Pak Dokter. Sejak kecil, ia sebenarnya sangat takut dengan dokter.
Motor Beat pun melaju pelan. Makde masih terus mengomel. Dan sampailah keduanya di rumah.
Trimo yang masuk lebih dulu tersadar, ada sandal yang juga beda kiri-kanan di rumah. “Oalah mbah, lha mbah seng keliru sandal. Budal maeng berarti yo wes keliru sandale.”
Makde Lami pun tertawa. Ia sudah melupakan marah-marah tadi saat di rumah dokter.